Pada zaman Orde Baru, pengelolaan keragaman budaya tampaknya dilakukan dengan tangan besi, serta dipaksakan oleh penguasa. Itulah sebabnya mengapa dengan lengsernya Pak Harto, maka dalam era reformasi, tiba-tiba bangsa ini jadi kehilangan kendali, semua menjadi serba boleh dan serba sesukanya. Tidaklah mengherankan jika kita terlatih hanya untuk mendengarkan kepentingan diri sendiri.
Bahkan dalam menuntut pemenuhan kebutuhan diri sendiri dilakukan tanpa mempedulikan hak orang lain sehingga kita kehilangan rasa empati dan cenderung menggunakan bahasa kekerasan, dan yang lebih parah lagi, tidak mau mempertanggung jawabkan apapun yang kita katakan dan yang kita lakukan.
Apapun yang dikatakan oleh penguasa, termasuk larangan untuk mencederai hak milik, bahkan hak hidup orang yang kebetulan berbeda dari kita, selalu hanya terlontar sebagai retorika sehingga secara tidak sengaja mengajarkan kepada kita untuk menjadi munafik.
Merebaknya krisis sosio-kultural dalam masyarakat dapat dilihat dalam berbagai bentuk, misalnya; disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia yang nyaris kebablasan, hilangnya kesabaran sosial dalam menghadapi sulitnya kehidupan menyebabkan masyarakat mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan anarkis. Masyarakat mulai kehilangan kemampuan untuk berempati, bersopan santun, saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan keragaman.
Bangsa kita mulai kehilangan identitas kultural nasional dan lokal, padahal identitas nasional dan lokal sangat diperlukan untuk mewujudkan integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dalam negara-bangsa Indonesia.
Untuk dapat mewujudkan dan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang multikultural, maka harus ada upaya yang sistematis, terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan. Langkah strategis yang dapat dilakukan salah satunya adalah melalui penanaman pemahaman tentang multikultural kepada segenap lapisan masyarakat, baik melalui lembaga pendidikan formal, informal maupun non-formal.
Multikulturalisme dalam agama maupun budaya merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibantah. Orang yang mengajak agar melestarikan lingkungannya, mencintai dan menyayangi sesama manusia, saling menghargai dan menghormati, kompetisi sehat dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya ternyata bukan hanya monopoli khotbah sang Pastor di gereja-gereja, nasehat-nasehat mubaligh di podium, para politisi dalam kampanye pemilu atau sikap biksu dan pendeta bijak dalam keyakinan dan ajaran-ajaran agama yang berbeda.
Sikap saling membela dalam mempertahankan budaya dan tradisi suatu masyarakat tidak hanya monopoli kaum primitif yang hidup di hutan nan jauh dari keramaian kota seperti suku-suku di Papua dan Kalimantan, tetapi hampir setiap masyarakat menyatu dengan budayanya dan berhak untuk melestarikannya.
Apalagi di era teknologi informasi sekarang, batas-batas budaya, baik secara sosiologis maupun geografi sudah sulit untuk dibatasi dan memudahkan untuk berkomunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Fakta dan kenyataan ini jelas dapat menimbulkan situasi dan suasana tidak menentu bahkan membingungkan bagi sebagian orang, terutama yang mengandalkan mental interaksi hidupnya pada tradisi hegemoni mayoritas.
Konflik kepribadian, konflik individu maupun konflik kelompok dengan latar belakang budaya dan kepentingan yang berbeda-beda terjadi tak terelakkan. Salah satu jalan untuk menyikapinya atas kenyataan pluralitas ini adalah dengan cara dan sikap yang mengakui kenyataan tersebut. Kemudian saling mengenal dan bekerjasama dalam memelihara kehidupannya.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama. Keragaman seperti ini rawan terjadi konflik dan perpecahan. Oleh karena itu harus ada upaya yang sistematis, terprogram, terintegrasi dan berkesinambungan untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negara yang multikultural.
Langkah yang dilakukan adalah penanaman pemahaman tentang multikultural pada masyarakat. Penanaman pemahaman tentang multikultural tidak bertujuan menghilangkan perbedaan, tetapi untuk menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog dan mengenal perbedaan sehingga saling menghormati dan menghargai.
Wujud dari penanaman pemahaman multikultural adalah dengan aktivitas dakwah dengan pendekatan budaya yang berpijak pada nilai-nilai universal kemanusiaan.
Editor: Khairil Miswar