Isu hangat soal kudeta menjadi headline news dan jadi perbincangan di setiap sudut warung kopi. Tapi bedanya ini bukanlah kudeta yang terjadi dalam sebuah negara seperti yang terjadi di Myanmar. Isu kudeta yang hangat sedang terjadi di partai Demokrat yang diduga dilakukan oleh Pak Moeldoko yang notabenenya adalah seorang pejabat negara, kepala staf Presiden dan beberapa petinggi kader Demokrat. Tapi beliau membantah kalau pertemuan yang dilakukannya hanya sekadar ngopi-ngopi.
Akhirnya karena kejadian tersebut, media sosial menjadi ramai membahas soal tersebut dan menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Ada yang menganggap ini tidak mungkin terjadi dan sebagian menganggap kudeta itu bisa saja terjadi.
Lalu beberapa hari kemudian peristiwa politik ini mengalir dengan cepat. Pak Moeldoko terpilih menjadi ketua partai Demokrat versi KLB yang diadakan di Sibolangit, Sumatera Utara.
Kopi di warung semakin hangat, perbincangan tentang Demokrat pun semakin hangat. Berbagai argumentasi pun berkeliaran dari masyarakat. Bahkan ada meme, kita bisa mengambil hikmah dalam peristiwa partai Demokrat: kawan yang paling dekat adalah orang yang paling berbahaya. Karena kita ketahui Pak Moeldoko adalah panglima TNI pada masa pemerintahan Pak SBY.
Bila kita melihat kisruh yang terjadi pada partai Demokrat ini, itu sebenarnya adalah hal biasa terjadi dan ini bukan yang pertama. Dulu Partai PPP juga pernah mengalami dualisme pada pemerintahan.
Partai politik sejatinya adalah salah satu wadah yang dipercayai untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Seharusnya menjadi perpanjangan tangan masyarakat dan mengurusi kepentingan masyarakat. Namun realitanya, partai politik disibukkan dengan kepentingan partai dan kepentingan beberapa orang saja.
Misalkan kasus pengambil alihan pimpinan partai Demokrat yang dilakukan oleh Pak Moeldoko melalui KLB. Itu tidak ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat.
Namun entah apa yang dipikirkan oleh Pak Moeldoko sehingga tanpa angin tiba-tiba beliau mengambil alih Demokrat. Bahkan bila kita cermati pidato pertama beliau dengan berapi-api, poin pentingnya adalah ingin memenangkan partai di pemilu 2024. Itu tidak sedikitpun menyinggung kepentingan rakyat.
Hal ini mengindikasikan pergantian kepemimpinan di partai tidak didasari oleh kepentingan masyarakat.
Karena itu, masyakarat seharusnya tidak perlu memasukan permasalahan ini ke dalam ruang publik. Kita harus mengurangi kebisingan-kebisingan ini. Karena realitanya, nyaris tidak ada partai politik yang mengakomodir kepentingan masyarakat.
Publik harus lebih cerdas dalam menyikapi setiap hiruk-pikuk perpolitikan. Sering kali masyarakat hanya sebagai korban dari sebuah peristiwa politik. Bahkan karena permasalahan perbedaan pandangan politik, kita sering bersitegang dengan teman bahkan saudara sendiri.
Mereka yang menunjukkan teladan kurang baik dalam partai politik perlu diawasi agar ke depan orang-orang seperti ini tidak lagi muncul dalam politik Indonesia. Masyarakat benar-benar harus menjadi pengawas setiap gerak-gerik elite politik. Maka perlu adanya reaksi yang pas dengan cara mengacuhkan orang-orang yang terlibat dalam kisruh politik yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat. Sehingga munculnya rasa malu pada elite politik Indonesia.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: sindonews.com