Resiliensi Masyarakat pada Masa Covid-19

Wabah virus Corona (COVID-19) secara resmi dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Wabah ini menjadi penyakit global yang telah menyebar ke setiap negara dan merupakan bencana baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Adanya pandemi menimbulkan rasa khawatir bagi masyarakat. Sebagai salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan Covid-19 ini yaitu pembatasan sosial, pembatasan fisik, penggunaan alat pelindung diri, menjaga kebersihan, melakukan pekerjaan dan pembelajaran di rumah serta menunda kegiatan yang mengumpulkan banyak orang.

Dalam penanggulanangan Covid -19 juga menimbulkan dampak seperti dalam sektor ekonomi dan aktivitas harian. Dampak pandemi dapat menjadi serius baik dalam jangka waktu panjang maupun jangka waktu pendek. Beberapa dampak pandemi yang dialami oleh masyarakat adalah pemutusan kerja secara sepihak karena adanya PSBB, krisis kemiskinan yang disebabkan oleh masyarakat tidak dapat berkerja, krisis pembelajaran yang disebabkan oleh adanya pembatasan dalam aktivitas bekerja dan belajar, meningkatnya kasus kejahatan, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.

Dampak terparah adalah meningkatkan kasus kematian yang disebabkan oleh virus Covis-19.

Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik namun juga kesehatan mental. Masyarakat dihadapkan oleh perubahan tatanan kehidupan sosial yang signifikan seperti pembatasan sosial, pemotongan jumlah karyawan, kewajiban bekerja dari rumah, hingga mengajar anak sekolah online.

Berbagai hal ini menjadi penyebab masyarakat mengalami permasalahan kesehatan mental seperti peningkatan kecemasan dan stres yang berefek pada perilaku tidak produktif.

Tidak hanya itu, banyak orang terpaksa untuk beradaptasi dengan realitas baru yang didominasi oleh ketakutan akan penyebaran dan penularan virus.

Meskipun masyarakat telah menunjukkan kemampuan mereka dalam menghadapi ketakutan yang terjadi akibat Covid-19, namun virus ini berpeluang untuk menimbulkan berbagai permasalahan yang menimbulkan stres bagi setiap individu.

Oleh karena itu, kemampuan resiliensi masyarakat untuk bertahan di tengah kondisi pandemi global saat ini perlu untuk ditingkatkan. Resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi secara positif dan efektif sebagai strategi dalam menghadapi kesulitan.

Dalam meningkatkan relisiensi pada masa Covid-19 masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal seperti menjaga rutinitas harian, tetap menyempatkan diri melakukan aktivitas fisik, Pilah dan pilih berita-berita positif, kemudian stay up to update dan waspada serta patuhi protokol kesehatan, menjaga komunikasi dengan orang terdekat dan mencari dukungan sosial dalam menjalankan aktivitas

Salah satu faktor pendukung tingginya resiliensi yaitu dukungan sosial yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lainya. Dukungan sosial adalah salah satu cara meningkatkan resiliensi sehingga individu dapat merasakan emosi positif. Dukungan sosial juga merupakan faktor protektif terhadap beban  dalam resiliensi.

Pemberian dukungan sosial kepada masyarakat di masa pandemi dapat meningkatkan kesejahteraan dan resiliensi individu ketika menghadapi masalah.

Resiliensi menjadi hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap masyarakat, karena dampak dari pandemi Covid-19 telah dirasakan pada seluruh aspek kehidupan manusia sehingga diperlukan suatu kapasitas dalam diri manusia untuk mampu melalui berbagai kondisi tersebut.

Selain itu kondisi pandemi Covid-19 ini mempengaruhi kesehatan mental individu karena setiap individu dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi yang terus berubah.

Resiliensi yang tinggi dapat menjadi faktor protektif stres, sehingga individu yang resilien mampu beradaptasi dan menghadapi tantangan-tantangan yang dialami.

Editor: Khairil Miswar

Baca Juga

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.

Penyebaran Modern Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Bahasa Melayu Pasai yang telah luas penyebarannya telah menjadi sarana komunikasi efektif dalam menyatukan masyarakat Nusantara. Penguasaan bahasa Melayu Pasai yang sangat luas juga menyebabkan terjadinya penyerapan berbagai kosakata lokal masing-masing. Sehingga membuat bahasa Melayu Pasai itu terus mengalami penyempurnaan sebagai bahasa persatuan.

Transformasi Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Dalam pengantar karyanya Mir’at Al-Tullab Abdurrauf Al-Singkili menegaskan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Seri Sulthanah Taj Al-‘Alam Safiat Al-Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat qadi pada pekerjaan hukmi daripada segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radhuallahu ‘anhu”  :