Cita Rasa Korean Street Food yang Populer Only One di Aceh Tamiang

Ketika Anda bepergian ke Korea, apakah itu ke kota-kota metropolitan seperti Seoul dan Incheon atau beberapa tujuan yang lebih sepi, satu hal yang akan selalu Anda lihat di mana pun Anda pergi, yaitu kelompok warung makanan jalanan yang selalu sibuk. Biasanya dijalankan oleh ajusshi atau ajumma atau pria dan wanita yang lebih tua, warung-warung populer ini telah menjadi bagian integral dari budaya makanan terkenal Korea dan kami menganggapnya sebagai sedikit “dosa perjalanan” jika Anda mengunjungi Korea tanpa makan di warung setidaknya sekali.

Tradisi warung makan jalanan Korea berawal sejak lebih dari enam ratus tahun, hingga masa Dinasti Joseon, di mana para pedagang akan menjual makanan mereka di pasar. Vendor kuno ini membentuk bagi diri mereka sendiri basis kegiatan ekonomi, yang membantu mereka di kelas bawah. 

Maju cepat ke 1953, setelah Perang Korea, pedagang kaki lima sekali lagi membuat dampak besar pada penduduk berpenghasilan rendah dengan memberi makan masuknya para pengungsi kelaparan, yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada warung-warung makanan ini.

Sejak itu, warung makan jalanan telah menjadi jantung dan jiwa budaya makanan Korea, dan terlepas dari oposisi tertentu, kedai makanan masih terus berkembang melestarikan fragmen penting dari sejarah Korea.

Berbicara soal makanan jalanan Korea atau biasa disebut Korean Street Food, tentunya yang terngiang adalah makanan jalanan di Korea, tapi tenang saja bagi pecinta kuliner terutama korean food, Anda tidak perlu jauh-jauh ke Korea untuk menikmati makanan jalanan khas Korea karena di Indonesia sudah banyak yang menjual makanan jalanan Korea terutama bisa Anda rasakan di Aceh Tamiang ini. 

Bagi Anda pecinta kuliner dan ingin mencoba merasakan makanan jalanan korea, Anda bisa mampir ke Kede’ Hafsah tepatnya di Desa Bundar Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang. Hanya butuh waktu 10 menit atau sekitar 3,5 km dari Kantor Bupati Aceh Tamiang, Anda telah tiba di sebuah kedai sederhana namun memiliki pelayanan prima dan terpenting bercita rasa tinggi yang tentunya menggugah selera.

Dijamin, Anda akan ketagihan menikmati sajian makanan jalanan Korea yang belum pernah Anda rasakan sebelumnya. Terdapat berbagai sajian seperti Tteobokki, Rabokki, Enokki, Tokkebi, Mosel, dan Kebab. Kede’ Hafsah yang baru dirintis pada tahun 2019 hingga saat ini yang tak sepi dari pengunjung terutama remaja milineal sekarang yang ingin mencoba rasa baru dengan mencicipi makanan khas negeri Lee Min Ho tersebut. Mengingat usaha Korean Street Food ini hanya satu-satunya di Aceh Tamiang.

Zaskia, pemilik kedai menuturkan bahwa usaha Korean Street Food ini baru dimulai pada tahun 2019. Usaha ini merupakan usaha yang benar-benar ingin dicoba pemilik Kede’ Hafsah, mengingat remaja sekarang banyak tertarik tentang Korea, termasuk cita rasa makanan jalanan nya.

Kede’ Hafsah awalnya hanya memiliki sebuah bangunan berukuran 3×4 meter saja. Perlahan tapi pasti, usahanya berkembang dan hingga saat ini telah memiliki luas bangunan sekitar 5 x 6 meter persegi dilengkapi pula dengan halaman yang luas untuk tempat pengunjung bisa duduk makan di sana.

“Ini usaha sederhana, kami rintis dari nol hingga kini alhamdulillah sudah maju dan ramai pelangganannya. Pelanggan yang datang bukan hanya dari daerah Kuala Simpang  saja, melainkan dari beberapa daerah yang ada di Aceh Tamiang, karena seperti yang adek tahu sendiri usaha Korean Street Food ini satu-satunya yang ada di Aceh Tamiang, sehingga banyak pelanggan yang datang. Soal harga masih standar dan sangat terjangkau,” tutur Kak Zaskia, biasa dipanggil Kak Kia didampinggi sang pegawai Maulana.

Setiap pagi, ia bersama sang suami berangkat ke pasar kota Kuala Simpang untuk berbelanja bahan baku usahanya. Mereka memilih waktu jam 8 karena bahan baku masih segar dan tempat langganan belanja mereka telah paham betul keinginan Kak Kia dan Suami untuk mendapatkan daging dengan kualitas terbaik.

Pukul 10 pagi mereka sudah kembali ke rumah dan langsung mengolah bahan baku tersebut agar tidak berubah rasanya. Seperti halnya makanan yang paling laris di Kede’ Hafsah yaitu Tteobokki. Tteokbokki adalah salah satu camilan Korea yang terbuat dari tteok (kue beras) yang dibuat dari tepung beras. Makanan ini dimasak menggunakan bumbu gochujang dengan cita rasa pedas dan manis. Berbeda dengan tteokbokki yang identik dengan saus pedas manis, tteokbokki ini dibuat dari kecap asin dengan daging sapi, kecambah kacang hijau, peterseli, jamur shiitake, wortel, dan bawang bombay. Tteok yang dipakai berbentuk seperti batang dan memanjang, termasuk Korean street food yang paling populer di Kede’ Hafsah.

Tak hanya bahan baku yang diperhatikan, layanan juga diutamakan di Kede’ Hafsah ini. Ini merupakan salah satu hal mendasar yang mendukung kelancaran usahanya hingga saat ini. Kebersihan tempat dan juga para karyawan tak luput dari perhatian Kak Kia agar pelanggannya merasa nyaman. Ramah tamahnya pemilik Kede’ Hafsah dan para karyawannya menjadikan pelanggan merasa sangat dihormati di tempat ini.

Ada beberapa menu makanan di Kede’ Hafsah ini , diantaranya yang paling populer seperti tteobokki yang dibandrol Rp 20 ribu saja. Bila tambah keju mozarella menjadi Rp 25 ribu. Kemudian ada rabokki juga seharga Rp 20 ribu dan butuh Rp 5 ribu rupiah lagi jika Anda menikmatinya dengan keju mozarella. 

Harga Korean Street Food di Kede’ Hafsah ini termasuk sangat murah dikarenakan mereka satu satunya usaha yang menjual Korean Street Food di Aceh Tamiang. Untuk menu makanan lain seperti kebab, tokkebi dan mosel sendiri hanya dibandrol seharga Rp 10 ribu saja dengan berbagai topping seperti cokelat, mese, saos maupun mayones. Enoki dan Tomyam dibandrol seharga Rp 20 ribu, Sangat murah, bukan?

Kedatangan orang luar Kuala Simpang tidak hanya untuk sekadar mampir mengopi di warung kopi saja. Namun mereka mampir di Kede’ Hafsah untuk mencicipi cita rasa Korean Street Food, juga pelanggan tetap Kede’ Hafsah cukup ramai. Setiap harinya, Kede’ Hafsah beroperasi dari pukul 3 sore hingga malam hari. Dengan dua orang karyawan dan sang suami yang ikut membantu, mereka kerap kewalahan melayani pengunjung yang datang, terlebih saat masuknya waktu matahari mulai menyembunyikan sinarnya hingga malam, karena banyak remaja yang akan datang di Kede’ Hafsah dan duduk di sana, berbeda halnya dengan pelanggan yang lebih tua biasanya membeli untuk di bawa pulang bukan duduk makan di sana.

Tak hanya itu, para mahasiswa maupun anak sekolah dari Aceh Tamiang pun sering berkunjung. Selain untuk bersantap ria, mereka juga melakukan diskusi, rapat, belajar kelompok hingga penyusunan laporan perkuliahan. 

Kak Kia berujar, bahan pembuatan Korean Street Food di tempatnya terbuat dari tepung beras, mie serta rempah-rempah kuah murni. Tidak ada campuran bahan lain yang bisa membuat makanan ini tidak halal. Seperti yang ditakutkan banyak orang, mengingat makanan ini terinspirasi dari mkanan jalanan yang ada di Korea Selatan. Ini dilakukan untuk menjaga cita rasa dan kepercayaan pelanggan setia yang senantiasa mengunjungi Kede’ Hafsah tersebut. Selain itu, penggunaan bahan yang kurang baik juga dapat mempengaruhi kualitas makanan yang disuguhkan dan tentunya sangat berisiko untuk kelangsungan bisnisnya ini.

‘”Insya Allah ini terjamin halalnya, Dik. Kakak menggunakan tepung beras asli untuk pembuatan tteok nya dan rempah-rempah yang ada di kuahnya kami olah sendiri dengan bahan-bahan yang halal, sayurannya juga kita menggunakan sayuran yang masih segar. Jika ada yang takut makanan kami tidak halal karena terinspirasi makanan dari korea tidak apa-apa, mereka  tidak usah membeli.” papar Kak Kia miris. 

Dia menegaskan bahwa masyarakat Aceh Tamiang dan sekitarnya tidak perlu ragu dengan kehalalan bahan makanannya yang digunakan sebagai menu di Kede’ Hafsah. ”Jangan ragu, Insya Allah 100 persen halal,” tegasnya.

Sementara, beberapa pelanggan Kak Kia yang coba dikonfirmasi menyatakan bahwa mereka sedikit pun tidak terpengaruh dengan ketidak halalan makanan di Kede’ Hafsah, karena mereka yakin apa yang disajikan Kak Kia adalah makanan yang halal yang layak untuk dimakan.

“Itu tidak benar. Ini saya pesan Tomyam. Dagingnya empuk, kuahnya juga segar. Dari rasa keseluruhannya tak ada berubah.” tutur Rika, seorang pelanggan tetap warga Desa Bundar Karang Baru Kecamatan Aceh Tamiang itu sambil melahap hidangan kesukaannya.

Nah, bagi Anda yang belum pernah mencicipi makanan jalanan khas Korea Selatan, dan ingin mencobanya, silakan berkunjung ke Desa Bundar Karang Baru Kecamatan Aceh tamiang. Tapi ingat jangan terlalu pagi karena mereka buka saat sore di mana matahari mulai meredup.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya