Dua Meja

Setelah pulang dari sekolah di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Apa Cantoi lebih suka di rumah aja. Dia tidak sanggup melihat Matangglumpangdua yang sudah banyak berubah. Toko semakin banyak. Tetapi aroma modernitas hilang. Tidak ada lagi bioskop gajah. Tidak ada lagi warung kopi yang gelap, banyak pelanggan, tivi tidak terlihat keluar, dan anak-anak diharamkan dekat-dekat.

Kalau keluar rumah hendak ke pasar, sepanjang jalan Matang-Tanjong tidak ada lagi orang tua yang naik sepeda saling memberi salam sambil mengangkat sebelah tangan saat berpapasan atau bertemu sekelompok orang di pos kamling dan warung pinggir jalan.

Tidak ada lagi anak sekolah beramai-ramai berangkat dengan sepeda. Tidak ada lagi angkutan umum Chevrolet pickup yang melintas untuk mengangkut manusia pulang-pergi pasar. Tidak ada lagi pemutaran layar tancap di lapangan. Tidak ada lagi dakwah agama di malam hari beserta penjual kacang dan jagung rebus.

Sejak pulang sekolah yang terletak antara Medan dan Binjai, Apa Cantoi lebih suka mengambil sepeda tuanya yang telah diperbaiki untuk pergi ke pinggir sungai. Di sana dia duduk berjam-jam untuk mengenang masa kecilnya ketika dia dan teman-temannya berlarian di pinggir sungai. Mereka mencari udang di balik bebatuan. Membakar dan menyantapnya di pinggir sungai. Setelah kenyang mereka bermain sembunyi batu sambil menyelam. Mereka juga suka berlomba menyeberangi sungai.

Tetapi apa yang ditemukan Apa Cantoi sekarang sudah berubah. Pantai sungai entah ke mana. Sungainya juga sudah kuning. Seingat Cantoi, dulu sekali pun air sungai sedang meluap, airnya tetap bersih.

Karena sangat merindukan minum kopi, Apa Cantoi meraih sepedanya menuju pasar Matangglumpangdua. Nyaris tidak ada lagi warung kopi seperti dulu. Apa Cantoi terpaksa singgah di warung kopi yang temanya tampak aneh.

Dulu di warung kopi mejanya agak besar dengan permukaan rata dari tripleks padat. Ada yang berwarna kebiruan dan ada yang berwarna putih. Dulu kopinya sangat kental. Sekarang rasanya menjadi aneh. Kata barista, kopi sekarang murni. “Dulu Apa tidak benar-benar minum kopi. Ada jagung, ada beras, ada gula merah, dan setumpuk benda-benda lainnya. Sekarang murni hanya bubuk kopi asli,” kata barista muda yang baru lulus kursus membuat kopi di Bandung. Katanya dia kursus tiga bulan dan punya sertifikat.

Apa Cantoi tersinggung. Baru kursus tiga bulan sudah merasa diri paling pintar. Cantoi sendiri sudah minum kopi puluhan tahun. Cantoi sakit hati. Baginya kopi dulu adalah segalanya. Dengan pembuat kopinya, dengan canda tawa bersama. Dulu warung kopi tidak ekslusif. Bertegur sapa dan saling mengobrol tidak hanya dengan rekan semeja saja. Di meja paling depan bisa bercengkrama intensif dengan meja paling belakang. Suasananya sangat cair.

Sekarang dilihat Cantoi orang-orang terlalu serius. Bahkan ada yang tidak bicara sejak datang hingga pulang. Sekeliling dilihat Cantoi banyak anak muda. Sebagian sedang mengobrol dengan rekan semejanya. Sebagian lainnya sibuk sendiri dengan gawai masing-masing.

Yang paling unik baginya adalah di warung kopi banyak perempuan muda. Dulu jangankan anak gadis, ibu-ibu saja tidak berani mendekat ke warung kopi.
Kali ini, bahkan beberapa meja hanya diisi sepasang laki-laki dan perempuan. Di satu sudut ada sepasang mahasiswa yang entah sedang membahas apa. Di sudut lainnya ada perempuan dengan pakaian seragam putih-putih dengan seorang pria dengan seragam berwarna khaki. Di sebelah meja mereka ada dua perempuan dan tiga laki-laki sedang mengobrol di satu meja yang agak lebar.

Hal ini membuat Apa Cantoi menjadi semakin heran. Dulu di warung kopi mejanya seragam. Ukurannya sama. Sekarang ada meja yang sangat lebar. Ada yang sedang. Ada juga mejanya sangat kecil. Hanya seukuran dudukan sebuah kursi.

Saat sedang menyesap kopi, seorang perempuan berpakaian batik menyapanya. Apa Cantoi sangat tajam ingatannya. Tapi dia ragu. “Ratna, ya?”.
Perempuan itu senyum. Mereka berbincang sejenak. Lalu perempuan itu menyusul rekannya yang telah ambil tempat. Apa Cantoi kembali kepada dirinya sendiri.

Setelah beberapa menit Ratna menyapanya kembali. Kali ini perempuan itu duduk di kursi seberang meja. Cantoi bercerita tentang pengalamannya sekolah di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan latar belakang hingga dia melanjutkan pendidikan ke sana. Ratna bercerita bahwa dia bekerja di sebuah lembaga advokasi hukum dan sedang menyelesaikan magister hukum di Lhokseumawe.

Mereka menemukan kesamaan. Sama-sama punya pengalaman bergelut di bidang hukum. Ratna meminta nomor ponsel Cantoi. Mereka bertukar nomor. Lalu perempuan itu pergi bersama rekannya. Apagam Cantoi masih sangat mengenal teman sekelasnya selama enam tahun di MIN karena tidak banyak perubahan pada wajah perempuan itu. Hanya dulu perempuan itu sangat tinggi dan kurus. Paling tinggi di kelasnya. Sekarang tidak tampak terlalu tinggi karena tidak kurus lagi.

Setelah perempuan itu pergi, Apa Cantoi kembali menyesap kopinya. Tiba-tiba Cantoi kaget kopinya nyaris ludes, padahal baru tiga kali teguk. Kopi sekarang gelasnya sangat kecil. Isinya cuma setengah gelas. Sialan, pikir Cantoi. Apakah kursus cara membuat kopi ke Bandung mengajarkan untuk pelit?

Saat berencana hendak pergi, sebuah mobil patroli berhenti di depan warung kopi. Banyak petugas turun. Awalnya Cantoi mengira mereka hendak mengopi. Tetapi mereka menghampiri beberapa meja dan menginterogasi orang-orang. Cantoi mulai ketakutan. Dia tidak bawa KTP.

Beberapa orang diangkut mobil petugas. Karena heran, Cantoi memanggil si barista kursus tiga bulan itu. “Itulah Apa. Itu aturan sudah lama. Tapi masih banyak saja yang melanggar. Laki-laki dan perempuan dilarang duduk semeja.”

Cantoi melirik laki-laki berpakaian khaki dan perempuan putih-putih yang sempat dihampiri petugas tetapi tidak ikut diangkut. Si Barista ikut melirik. “Mungkin mereka suami istri, Apa.”

Sore hari saat sedang belajar membuat layangan, sebuah karya yang selalu tidak berhasil dilakukan Cantoi sejak kecil, sementara teman-temannya bisa membuat sebuah layangan bagus selama setengah jam, Ratna menelepon ingin bertemu di warung kopi yang sama pada waktu yang sama. Besok. Karena tidak punya pekerjaan, tentu saja Cantoi bersedia. Di rumah melulu juga bosan.

Keesokan harinya Cantoi tiba dan belum melihat Ratna. Hari itu tidak ada seorang perempuan pun di warung kopi. Mungkin kejadian kemarin membuat perempuan seluruh Matangglumpangdua ketakutan.

Tidak ingin digelandang, Apa Cantoi menggabungkan dua meja kecil yang seukuran dudukan kursi. Ratna datang dan dipersilahkan duduk. Saat sedang mengobrol tentang latar belakang Apa Cantoi sekolah di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dua orang petugas datang. Karena cuma dua orang, Apagam Cantoi tidak menghiraukan. Dia kira mereka berdua hanya hendak ngopi. Kalau hendak patroli pasti mereka datang beramai-ramai. Tapi Apa Cantoi salah. Dua petugas itu menghampiri mereka. Mereka dikatakan melanggar peraturan.
“Laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dilarang duduk semeja.”

Mengangkat telunjuknya ke Arah Cantoi sambil senyum, petugas itu bilang lagi, “Bukan muhrim, kan?”

Tentu saja sangat mudah ditebak. Dari penampilannya semua orang bisa tahu Apa Cantoi bukan suami dari perempuan di hadapannya. Ratna berpakaian sangat bagus seperti orang menghadiri kondangan. Cantoi sendiri hanya mengenakan kaus putih, celana lusuh, bawa sarung pula. Mana ada lagi orang Aceh bawa-bawa sarung ke mana-mana. Kalaupun ada dimasukkan ke dalam tas, bukan di pinggang hingga dengkul.

Apa Cantoi tidak terima. Katanya mereka tidak semeja. “Lihat saja, meja kami berbeda,” kata Cantoi dengan santai.

Cantoi menarik salah satu meja hingga terpisah. Tetapi petugas tidak bisa diakal-akali. Di kantor petugas, Cantoi diminta tidak lagi mengulangi perbuatannya dan disodorkan selembar kertas untuk ditandatangani.

Saat hendak masuk sekolah di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cantoi juga pernah menandatangani selembar kertas…

Baca Juga

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.

Penyebaran Modern Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Bahasa Melayu Pasai yang telah luas penyebarannya telah menjadi sarana komunikasi efektif dalam menyatukan masyarakat Nusantara. Penguasaan bahasa Melayu Pasai yang sangat luas juga menyebabkan terjadinya penyerapan berbagai kosakata lokal masing-masing. Sehingga membuat bahasa Melayu Pasai itu terus mengalami penyempurnaan sebagai bahasa persatuan.

Transformasi Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Dalam pengantar karyanya Mir’at Al-Tullab Abdurrauf Al-Singkili menegaskan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Seri Sulthanah Taj Al-‘Alam Safiat Al-Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat qadi pada pekerjaan hukmi daripada segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radhuallahu ‘anhu”  :