Jangan Sampai Fakir Miskin dan Anak Yatim Mati Kelaparan di Bawah Menara Lima Miliar

Semakin jauh kita berjalan, semakin banyak melihat. Itulah kata pepatah. Setelah lama meninggalkan kampungnya, Apa Cantoi sudah sadar bahwa dia akan kehilangan banyak teman. Maka, mau tidak mau dia harus mempersiapkan diri untuk itu. Sebab itulah Apa Cantoi selalu dapat memaklumi kenapa terkadang saat dia memberi senyum, orang-orang malah menatapnya dengan sinis. Teman-teman lama juga banyak yang enggan membangun hubungan kembali dengannya. Karena banyak di antara mereka tahu Apa Cantoi ke mana selama meninggalkan kampung. Tetapi beruntung beberapa teman masih bersedia berhubungan dengan dia, termasuk Ratna.

Ratna suka mengajak Apa Cantoi jalan-jalan. Jadi laki-laki itu tidak terlalu bosan dan kesepian. Bersama Ratna, Apa Cantoi dapat memperoleh banyak pengalaman dan wawasan baru. Sayangnya, banyak sekali yang dilihat Apa Cantoi malah membuatnya menjadi semakin bingung. Sebab itulah Apa Cantoi masih berpandangan bahwa masa lalu itu selalu lebih baik. Misalnya saja, dulu orang-orang membangun masjid secara swadaya, sesuai kebutuhan, dan ramah lingkungan. Jadinya ukuran masjid sesuai dengan kuantitas jamaah. Tetapi belakangan ini masjid dibangun dengan sangat megah. Setelah jadi, hanya satu dua baris yang terisi. Itu pun setelah disekat setengah panjang garis di kiri dan kanan. Hanya saat hari Jumat saja masjidnya terisi separuh.

Ratna dan Apa Cantoi sadar bahwa, bagi mereka dalam perjalanan jauh, tempat istirahat yang paling nyaman adalah pom bensin. Di sana tidak ada yang menegur kalau mandi di kamar mandinya. Ada tempat istirahat untuk rebahan. Coba rebahan di masjid. Pasti diusir.

Karena satu dan lain hal, dalam sebuah perjalanan, Apa Cantoi dan Ratna tidak berhasil menemukan pom bensin. Mereka harus singgah di masjid. Di halaman masjid sedang ramai. Ada dipasang tenda. Ternyata sedang acara peresmian menara masjid yang baru dibangun. Saat Apa Cantoi dan Ratna sedang sibuk dengan diri masing-masing, mereka sempat mendengar bahwa total anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan menara itu adalah lima miliar rupiah.

Masyarakat sangat bangga dengan itu. Apa Cantoi dan Ratna kaget. Tiba-tiba mereka saling menatap dengan mulut ternganga dan mata melotot.

Ratna mengatakan kepada Apa Cantoi, “Kemarin saya baca koran, ada berita di sekitar daerah ini seorang anak diikat di lehernya dan diseret seperti hewan karena tertangkap mencuri celengan masjid.”
“Itu perbuatan yang sangat buruk.”

“Investigasi media menunjukkan anak itu sangat menderita ekonominya. Ayahnya menderita sakit sudah sangat lama. Ibunya sudah lama minggat dari rumah,” Ratna melanjutkan.

“Menyedihkan sekali.”
“Benar. Sangat disayangkan. Masyarakat bersedia membangun hanya sebuah menara dengan mengeluarkan lima miliar. Tetapi mengabaikan kemiskinan di sekitar mereka.”

“Mungkin tidak diabaikan juga,” Apa Cantoi berusaha menjadi bijak, “Tentunya pemerintah dan masyarakat tetap mempedulikan fakir miskin.”

“Semoga demikian. Saya hanya terkejut saja ketika menghubungkan berita itu dengan biaya pembangunan menara ini.”

Saat hendak berangkat, malam sudah semakin gelap. Apa Cantoi sempat mengamati kembali menara tinggi itu. Diterangi empat lampu sorot dari bawah, terlihat gagah dan menarik. Ketika memperhatikan ke bawah, di lantai dasar bagian luarnya, beberapa fakir miskin gelandangan sedang menyiapkan peristirahatan.

Mereka melaju pulang. Apa Cantoi tidak sabar ingin segera tiba. Ingin segera mencoba sepeda barunya. Tiba di warung kopi Matangglumpangdua, Apa Cantoi meraih sepedanya dan melaju. Disangkutkannya martabak telur yang telah dipesankan Ratna di setang sepeda. Selain sate, martabak telur dan roti cane di kota itu memang terkenal enak.

Dalam gelap, sepeda Apa Cantoi melaju dengan sebuah lampu yang menyala dari kekuatan dinamo. Dia mendayung sepeda ke arah selatan sejauh sekitar lima kilometer. Jarak itu tidak melelahkannya meski baru menempuh perjalanan jauh. Itu sudah biasa baginya. Apalagi dengan sepeda baru. Apa Cantoi hanya mendorong sepedanya saat tiba di sebuah tanjakan jalan antara bukit dan lembah. Banyak rawa-rawa di selatan. Tetapi tidak sedikit di antaranya kini telah diubah menjadi sawah. Selain berbagai jenis buah-buahan, pinang dan kelapa, padi banyak tumbuh di sana.

Apa Cantoi tiba dan langsung beristirahat. Dia tidak sabar hendak ke kota lagi untuk minum kopi. Tentunya yang membuatnya lebih tidak sabar adalah ingin kembali mengayuh jengki barunya.

Pagi-pagi Apa Cantoi sudah duduk manis di warung kopi. Menjelang siang dia beranjak pulang. Memasuki lorong menuju rumahnya, Apa Cantoi heran karena di jalanan sekitar kompleks perumahan sudah banyak orang-orang dengan parang, cangkul, dan sebagainya.

Dulu Apa Cantoi sering melihat kerumunan seperti itu setiap hari minggu. Orang-orang berkumpul dengan parang dan tombak untuk mengejar babi. Tapi kali ini yang ditemuinya adalah kerumunan orang-orang yang ternyata mereka sedang istirahat kerja bakti.

Apa Cantoi heran. Setahunya warga kompeks perumahan dan yang tinggal di sekitarnya di lorong itu akan bekerja bakti minggu depan. Tetapi kenapa jadi hari ini? Apa Cantoi terus mengayuh sepedanya. Melintasi orang-orang yang berkerumun.

Di antara kerumunan orang-orang yang sedang istirahat habis meratakan tanah menimbun jalan ada Bapak Jusmadi.

“Kenapa tidak ikut gotong royong, Apa?” Bapak Jusmadi yang berada di tengah kerumunan setengah berteriak.

“Kenapa ditimbun pakai tanah liat?” tanya Apa Cantoi spontan akibat kesal sepeda barunya kotor karena jalan ditimbun dengan tanah liat.

Setiba di depan rumah Kak Boyti, perempuan itu menegurnya, “Kenapa tidak ikut gotong-royong?” Apa Cantoi paham yang dimaksud itu kerja bakti. Namun dia memaklumi karena masyarakat suka mengistilahkan kerja bakti dengan gotong royong. Padahal kerja bakti itu hanya bagian kecil dari gotong-royong.

“Setahu saya kerja baktinya minggu depan,” balas Apa Cantoi.

“Oh tidak” balas Kak Boyti. Jadwal Bapak Jusmadi ke Pulau Jawa Dipercepat. Kalau tidak salah beliau berangkat Rabu. Jadi gotong-royongnya dipercepat”.

Apa Cantoi tahu Bapak Jusmadi akan ke Pulau Jawa untuk mengisi seminar penting di sana. Separuh warga desa itu juga tahu.

Apa Cantoi terus bergerak pulang. Dia berpikir kalau bisa menjadi Bapak Jusmadi, tentu dia dapat menggerakkan warga. Sebagai dosen tentu membuat masyarakat terkagum-kagum dan akan menaati dengan penuh khidmat setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tetapi Apa Cantoi merasa ngeri dengan tindakan menggerakkan massa. Dia punya keahlian itu dulunya. Tetapi karena keahlian itu pula dia harus sekolah ke Medan. Jadi, menurut Apa Cantoi, setiap menggerakkan orang pasti akan menuai efek yang biasanya berujung dengan risiko.

Sebab itulah Apa Cantoi lebih suka membiarkan orang melakukan apapun yang dia inginkan sejauh tidak mengganggu orang lain. Apa Cantoi berpikir, kenapa harus menggerakkan orang melakukan ini dan itu. Setahunya orang-orang yang tinggal di kompleks perumahan itu pergi pagi dan pulang menjelang Magrib. Hanya hari Minggu mereka punya waktu istirahat dan bercengkerama dengan keluarga. Kenapa pula harus digiring ke sana ke mari.

Apa Cantoi berpikir, seharusnya dalam kehidupan sosial, kita biasa-biasa saja. Tidak perlu dianggap hebat, apa lagi sok alim. Apa Cantoi sendiri senang orang-orang merasa kesal melihatnya tidak pernah terlihat di musala. Dengan adanya Apa Cantoi yang tidak alim, maka orang-orang yang suka bolak balik musola itu menjadi tampak lebih alim.

Apa Cantoi termasuk orang yang biasa-biasa saja dalam ritual agama. Sebab itulah dia tidak pernah terlihat dalam kerumunan orang-orang yang sedang melakukan ritual ibadah. Yang wajib saja dia tidak ada dalam kerumunan, apalagi yang sunat.

Imam musola kompleks, Bapak Fajrun, seorang guru IPA SD pernah bertanya kenapa Apa Cantoi tidak pernah terlihat di musola. Apa Cantoi menjawab, “Dulu, Pak Ustadz, saya sangat rajin pergi salat berjamaah. Namun saya perhatikan, di berbagai tempat, imamnya tidak bisa membedakan mana ‘ain dan ghain saat membaca Al-Fatihah. Ghayril ma’du bi ‘alaihim, bukan ghayrilil maghdhu bi ‘alaihim. Jadi saya trauma.”

“Waduh. Trauma ke musola!?” Apa Cantoi mengeluhkan kesalahpahaman Ustadz Fajrun kepada dirinya. Berita yang tersebar adalah Apa Cantoi trauma pergi salat berjamaah.

Di serambi rumah sudah ada Apa Subra yang sedang mengupas dan menikmati tebu yang tumbuh di pekarangan rumah Apa Cantoi. “Tadi waktu ke mari kebetulan papasan dengan Ustadz Fajrun.” Apa Cantoi menduga, pasti ustadz itu menyebarkan isu lagi tentang dirinya.

“Begitulah orang yang suka mengusung. simbol agama ke sana ke mari. Mereka membutuhkan simbol-simbol itu untuk meneguhkan legitimasi. Bapak Fajrun misalnya.” Apa Subra melanjutkan lagi, “Kalau orang mengaji di pondok puluhan tahun lalu ke mana-mana membawa simbol-simbol agama, itu bisa dimaklumi. Karena simbol-simbol itu sudah melekat dengan dirinya. Masalahnya adalah, orang-orang yang belajar agamanya baru kemarin sore, alumni pesantren kilat, tiba-tiba sudah bicara agama ke sana ke mari, itu norak namanya. Reaksioner!”

Apa Cantoi senang. Ternyata Apa Subra tidak terpengaruh dengan isu yang disebarkan Ustadz Fajrun tentang dirinya.
Apa Subra melirik kiri kanan. Belum terendus kemungkinan adanya Apa Rajab sekitar mereka berbicara. Apa Subra melanjutkan. “Tindakan orang-orang demikian adalah pertobatan yang membutuhkan tumbal.”

Apa Cantoi sangat tertarik. Terbelalak matanya. “Kok bisa?”
“Iya. Lihat saja. Mereka dari kecil dipersiapkan untuk mendapatkan bekal dunia. Tiba waktu dunia sudah digenggam, menjelang pensiun, teringat besok mati, lalu buru-buru belajar agama secara instan dan serabutan di media sosial. Kemudian melakukan ibadah tingkat tinggi.”

Apa Subra menambahkan, “Masalahnya mereka itu mengganggu orang lain, suka menjelek-jelekkan yang kuantitas ibadah orang tidak intensif seperti dia, suka memaksa dalam mengutip iuran-iuran yang berbau agama, membesarkan volume toa tak terkendali hingga mengganggu istirahat orang lain.”

“Saya setuju Apa,” jawab Apa Cantoi, “Ada ulama yang melarang membunyikan toa dengan volume tak terkendali, apalagi sampai mengganggu orang yang beristirahat.”

“Kalau azan ya tidak mengapa. Jangan sampai anak-anak belajar mengaji juga pakai toa. Volumenya luar biasa.”

Apa Cantoi jadi bersemangat. Ternyata isi kepala Apa Subra sama dengan dirinya. Selama ini ternyata Apa Subra agak ngerem bicara seperti itu karena tidak enak dengan Apa Rajab.

“Benar, Apa Subra. Belakangan ini juga saya melihat orang-orang kesulitan membedakan prioritas dan mau mengagamakan semua perkara.”

“Nah, itu.” jawab Apa Subra. “Makanya anak itu harus disekolahkan ke pondok sejak dini supaya mampu memahami agama secara benar. Jangan seperti orang yang baru belajar agama kemarin sore, kemudian pagi harinya langsung sibuk memanjangkan janggut, rajin jalan kaki ke masjid sebelum matahari terbit, tetapi orang-orang tidak pernah aman dari gunjingan dan sasaran kebencian. Orang-orang selalu dipandang buruk dan diri sendiri saja yang dianggap benar.”

“Benar, Apa,” balas Apa Cantoi.
Apa Subra kembali melirik kiri kanan. Lalu meneruskan, “Orang-orang sibuk dengan hal-hal permukaan, namun sepertinya kehilangan makna. Mereka suka kerja bakti tetapi lupa arti sebenarnya dari gotong royong. Orang-orang suka salat berjamaah tetapi lupa dengan makna persatuan sosial.”

Kalimat itu membuat Apa Cantoi sedikit tenang karena dari tadi dia gelisah akibat tidak ikut kerja bakti.

“Kenapa sekarang orang-orang suka begitu, Apa?” tanya Apa Cantoi.

“Suka apa?” tanya Apa Subra?

“Suka mengedepankan simbol tapi kehilangan makna?”

“Ya itu tadi. Karena mereka dari kecil sebenarnya enggak belajar agama, kalaupun belajar hanya sepintas lalu saja. Mereka sibuk dengan pelajaran umum di sekolah dari pagi sampai sore. Demikian hingga melanjut ke sekolah menengah hingga kuliah. Setelah hidup mapan, mulai sakit-sakitan, ingat mati, baru belajar agama. Dia hendak bertobat.”

“Tapi butuh tumbal?”

“Iya. Baru itu dia ingat agama. Belajarnya entah dari mana. Lalu tiba-tiba langsung alim. Langsung pakai gamis. Langsung pakai janggut. Menghafal Alquran untuk bekal menjadi imam. Jadi hapalannya dipraktikkan saat memimpin salat. Dia juga sibuk menjelek-jelekkan orang yang tidak reaksioner seperti dirinya.”

Apa Cantoi berpikir, kalau ada orang yang tiba-tiba alim entah belajar agama dari mana, seketika didaulat menjadi imam, maka tidak akan elok rasanya.

“Sebab itu mereka tidak bisa membedakan ‘ain dengan ghain?” tanya Apa Cantoi.
“Iya. Antara lain!” Apa Subra diam sejenak. Kemudian melanjutkan, “Masak orang yang baru belajar agama kemarin sore seenaknya saja. Padahal menjadi imam itu kan syaratnya sangat berat.”

Wajar saja Apa Subra berpandangan demikian. Sejak kecil dia sudah dikirim ke pondok untuk belajar agama. Seingat Apa Cantoi, bahkan ketika mula-menjadi seniman panggung hiburan, Apa Subra masih mondok.

Apa Cantoi kagum dengan Apa Subra. Baginya, manusia yang ideal adalah seperti rekannya itu. Sudah belajar agama puluhan tahun tapi tidak sedikit-sedikit bahas agama. Sepertinya itu justru karena Apa Subra sudah belajar agama dengan benar. Sehingga mampu memahami hakikat agama, bukan norak dengan simbol-simbol agama. Orang yang belajar agama dengan benar akan fokus pada makna dan nilai. Mereka juga mampu membedakan mana yang substansial dan mana yang aksidental. Mana yang perlu menjadi prioritas mana yang tidak.

Apa Subra yang ilmu agamanya sudah mantap, pandai membedakan mana perkara-perkara agama yang sakral dan mana perkara-perkara duniawi yang profan. Dia tidak akan mensakralkan hal-hal profan dan tidak akan memprofankan hal-hal sakral. Dulu orang-orang di kampung Apa Cantoi umumnya seperti Apa Subra. Sehingga agama tidak terseret untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Demikian juga orang-orang yang terlibat dengan kepentingan-kepentingan sesaat tidak berani memanfaatkan agama untuk kepentingannya.

Apa Subra mengatakan, “Sekarang orang-orang beragama hebohnya seperti hiruk-pikuk kesenangan-kesenangan sesaat, sehingga banyak orang terjebak dengan simbol namun kehilangan nilai dan makna.”

Merasa sama cara pandang, Apa Cantoi menjadi makin bersemangat. “Benar Apa,” balasnya, “Sekarang masjid sangat besar dibangun. Orang-orang bermegah-megahan dengannya. Bahkan untuk menara saja mereka menghabiskan lima miliar. Sementara fakir miskin dan anak yatim masih banyak yang terlantar. Masih banyak yang menjadi gelandangan.”

“Jangan sampai anak yatim dan fakir miskin mati kelaparan sebagai gelandangan di bawah menara lima miliar,” jawab Apa Subra.

Dengan banyak jalan-jalan, Apa Cantoi menjadi punya banyak wawasan dan pengetahuan, sehingga Apa Subra menjadi nyaman mengobrol dengannya.
Langit mengirim awan mendung. Apa Subra pamit. Setelah Apa Subra lenyap, hujan turun amat deras. Menjelang sore hujan baru reda. Apa Cantoi mengambil sepeda hendak mengopi ke pasar.

Saat hendak melintas kompleks perumahan, Apa Cantoi melihat timbunan tanah liat yang dikerjakan orang-orang kerja bakti menciptakan lumpur hebat. Jalanan menjadi sangat becek akibat tanah disiram hujan. Tidak mungkin Apa Cantoi melintasinya. Jangankan sepeda, salah-salah mobil saja bisa terpeleset ke dalam parit.
Apa Cantoi memilih jalan lain dengan memasuki satu ujung kompleks dan keluar dari ujung lainnya.

Saat keluar dari jalanan kompleks perumahan itu, Apa Cantoi melihat ke belakang. Ternyata seorang ibu beserta dua anaknya yang masih kecil sudah terjatuh berserakan di jalan berlumpur. Awalnya dia mengira ibu itu adalah PNS. Tetapi kenapa berpakaian warna khaki hari Minggu? Kenapa ada dinas di hari Minggu? Apa Cantoi mencagak sepedanya. Dilepasnya sandal dan dilipat celananya.
Didekati. Kenapa pula anaknya juga pakai khaki? Ternyata semakin dekat, jelaslah ibu dan anak-anaknya itu sudah berlumuran lumpur yang ditimbun itu.

Apa Cantoi heran kenapa bukan menggunakan kerikil atau setidaknya tanah padas. Bisa saja orang-orang yang tinggal di komplek itu tidak paham karena dunia mereka jauh untuk memahami karakteristik tanah. Namun ada beberapa warga kampung yang ikut kerja bakti. Kenapa tidak memberitahukan.

Apa Cantoi teringat dengan Bapak Jusmadi. Dia yakin pasti karena mereka tidak berani mengingatkan. Tentu tidak akan ada yang berani tampak lebih pintar daripada beliau.

Dengan susah payah Apa Cantoi membantu ibu dan anaknya itu. Mereka dihantar ke tempat wuduk musala persimpangan lorong pinggir jalan Matang Tanjong. Apa Cantoi meraih sepedanya setelah membersihkan diri. Dia melanjutkan perjalanan ke pasar.

Tiba di warung kopi, Apa Cantoi melangkah dari meja ke meja mengumpulkan lembaran-lembaran koran yang berserakan. Lembaran-lembaran itu sudah sangat lusuh meskipun orang-orang hanya membaca judul beritanya saja.

Perhatian Apa Cantoi tertuju pada berita tentang pencabulan yang dicambuk seratus lima puluh kali. Mengetahui Apa Cantoi sedang membingungkan berita itu, seorang pria yang juga berlangganan kopi di warung kopi Datang Lagi berkomentar.

“Itulah anehnya. Hukum pusat penjara belasan tahun. Di daerah itu hukumnya. Mana ada orang yang takut.” Apa Cantoi mengangguk-angguk.

“Malah malam pertama di penjara saja sudah membuat orang berpikir seratus kali,” tambah dia lagi.

“Kalau begini hukumannya akan makin banyak kejadian, ya” komentar Apa Cantoi.

“O. Bukan hanya tambah banyak. Kalau dia punya kawan di luar daerah dipanggilnya semua rekannya. ‘Oi, ke sini. Enak di sini,” pria itu berdiri memperagakan seperti sedang memanggil seseorang dari jauh. “Sudah dicambuknya pelan sekali. Mana ada sakitnya,” pria itu terlihat geram.

“Tapi ada yang pingsan. Kenapa dibilang tidak sakit,” sanggah Apa Cantoi.

“Alah.”

“Itu urusan bidang hukum. Kita tidak paham masalah itu,” jawab Apa Li yang sedang menghantar sepiring kue untuk Apa Cantoi.

“Iya. Kita memang masyarakat awam yang tidak paham dengan apa yang pikirkan orang-orang pembuat hukum di sana. Tetapi yang kita tahu, kalau hukumannya ringan, kejahatan menjadi semakin merajalela,” jawab pria itu.
Seketika dia menyambar sepotong kue yang dihidangkan kepada Apa Cantoi. Dia orangnya suka begitu. Namun orang tidak akan menegurnya secara langsung. Karena untuk sebatang rokok, segelas kopi, dan sepotong kue, itu sama sekali tidak menjadi perhitungan pelanggan. Akan dibayarkan. Lagi pula, para pelanggan Datang Lagi suka mendengar ocehan pria itu. Wawasannya luas sehingga dia nyambung berbicara isu apupun yang sedang diperbincangkan di Datang Lagi. Pria itu juga sering punya cara pandang unik dan terkadang tidak terpikirkan orang banyak.

Apa lagi kalau ada orang yang datang mengopi sendiri. Akan membosankan tanpa teman bicara. Laki-laki itu menjadi alternatif yang pas. Juga karena dia dianggap sudah putus kawat. Jadi orang-orang memaklumi tingkahnya.

Sebenarnya dulu laki-laki itu pernah kuliah hingga mendapatkan gelar doktorandus di Banda Aceh. Namun karena pernah mengalami trauma di masa konflik, dia mengalami gangguan kejiwaan ringan.
Kalau orang-orang sudah tidak mampu lagi menyanggah opini laki-laki itu, mereka akan berkomentar, “Berat dipukul Apa waktu konflik.” Laki-laki itu akan tertawa.

Apa Cantoi mulai berpikir tentang komentar laki-laki itu. Beberapa hari kemudian dia bertemu Ratna di kafe CoffeOn, tempat mereka biasa bertemu. CoffeOn tidak terletak di jalan lintas nasional. Bahkan agak jauh dari kota. Jadi jarang razia di sana.

Ratna bekerja di bidang hukum, pasti paham tentang perkara itu. Ratna mengatakan, peraturan di daerah itu memang oleh masyarakat dipandang lebih ringan ancamannya dibandingkan peraturan yang telah dihasilkan pusat. Sebab itulah, muncul banyak kritik atas peraturan yang di daerah. “Minta direvisi.”

Apa Cantoi penasaran bila ada pelaku kriminal, siapa yang memutuskan dia akan dituntut dengan aturan di daerah atau aturan pusat.

“Itu pihak hukum yang menangani perkara yang menentukan,” jawab Ratna.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya