Masyarakat Matangglumpangdua dari dulu telah dikenal memiliki kesadaran tinggi dalam pendidikan. Mereka akan melakukan apa pun untuk menyekolahkan anaknya. Sebab itulah sangat banyak orang Matang yang bekerja di PIM, PTA, AAF, Mobil Oil, dan perusahaan besar lainnya.
Waktu perekrutan guru untuk ditempatkan ke berbagai pelosok di Indonesia, orang Matangglumpangdua juga mendominasi. Dari dulu di sana telah ada sekolah guru yang bagus. PGA namanya. Banyak guru agama dilahirkan di sana.
Kampung Apa Cantoi tidak terlalu jauh dari Matanggumpangdua. Tetapi tidak terlalu dekat. Orang pintar juga ramai di kampungnya. Banyak yang kuliah ke luar negeri. Bahkan beberapa orang sudah ada yang kuliah hingga program doktor. Sebagian masih menetap di kampung itu. Sebagian pulang pergi karena bekerja atau kawin di luar daerah.
Kampung Apa Cantoi memiliki sebuah meunasah desa yang besar. Di sampingnya juga berdiri masjid yang megah. Masjid itu menjadi tujuan ibadah beberapa desa. Rumah Apa Cantoi dari jalan Matang-Tanjong masuk lorong sekitar seratus meter. Di pinggir lorong ada sebuah musala yang katanya sebagai musala dusun. Padahal letak masjid dan meunasah hanya sekitar dua ratus meter.
Di lorong Apa Cantoi ada tanah yang luas. Dulu ditanami pohon tebu. Lalu oleh pemiliknya tanah itu dibangun beberapa perumahan. Jusmadi sebagai seorang alumni program doktor adalah seorang dosen muda yang sangat dihormati dan disegani masyarakat. Dia membeli sebuah rumah di kompleks perumahan tersebut. Jusmadi menikahi seorang perempuan kaya, cantik, dan pegawai negeri di kantor camat. Dia juga dosen pegawai negeri. Jadi hidup mereka sangat mapan.
Suatu hari terdengar ke telinga Apa Cantoi bahwa akan dibangun sebuah musala lagi dekat kompleks perumahan tersebut. Menurut Kak Boyti, Jusmadi yang punya usulan tersebut. “Beliau memang seorang berilmu yang sangat bijaksana. Sangat alim juga”. Kak Boyti memang sangat terpesona dengan Jusmadi.
Menurut Kak Boyti, Jusmadi didaulat menjadi ketua panitia pembangunan musala.
Dari Kak Boyti juga Apa Cantoi mengetahui bahwa Jusmadi menetapkan iuran pembangunan musala sebesar seratus ribu rupiah setiap bulan bagi setiap keluarga. “Beliau juga sangat bijak dalam menetapkan iuran,” kata Kak Boyti. “Dengan begitu, musala kita akan cepat siap”.
Apa Cantoi yang tidak memiliki pekerjaan selalu mencoba menghindari Jusmadi. Takut ditagih iuran. Apa Cantoi juga sering menghindari orang-orang di kompleks perumahan baru itu. Takut diajak rapat. Apa Cantoi trauma dengan rapat. Nyaris semua rapat ujung-ujungnya pengutipan uang. Apa Cantoi tidak punya uang.
Semenjak pulang sekolah di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dia belum memiliki pekerjaan.
Apa Cantoi bingung kenapa pembangunan musala ditetapkan biayanya. “Padahal pembangunan tempat ibadah itu kan sedekah. Kok malah dipatok begitu,” keluh Apa Cantoi kepada Apa Subra. Rekannya itu yang paham kondisi Apa Cantoi berkata, “Benar juga. Lagi pula di pinggir lorong sudah ada musala.” “Iya,” lanjut Apa Cantoi, “lagi pula kita di lorong ini tidak semua punya penghasilan yang baik. Ada yang cuma jadi buruh tani. Ada yang cuma tukang ojek.” “Entahlah,” balas Apa Subra, “Jusmadi orang sekolahan. Dia punya ilmu yang tinggi. Pasti lebih memahami. Kita cuma masyarakat awam,” balas Apa Subra.
Pada suatu hari, setelah makan siang, Apa Cantoi terkejut dengan kehadiran seorang tamu. Mau menghindar tidak mungkin lagi. Tamu itu adalah Jusmadi. Di dekat pagar rumahnya, Kak Boyti semakin terkagum-kagum dengan Jusmadi. Seorang muda berpendidikan tinggi dengan sangat rendah hati mau bertamu ke rumah Apa Cantoi yang miskin dan dianggap oleh sebagian orang jiwanya sudah kurang pas.
Jusmadi memuji indahnya kediaman Apa Cantoi. “Rindang sekali. Saya juga sangat suka rumah kayu. Pasti adem selalu,” ucap Jusmadi. Di antara keahlian Jusmadi adalah sangat pandai memuji orang. Setelah berbincang-bincang dengannya pasti semua orang tersipu-sipu.
Jusmadi menanyakan kenapa Apa Cantoi tidak hadir saat rapat pembangunan musala. Apa Cantoi bergeming. Tetapi dengan keahliannya Jusmadi langsung mengalihkan pembicaraan. Orang sekolahan itu menyatakan kekagumannya pada pohon-pohon yang tumbuh di pekarangan Apa Cantoi.
Setelah sepi sejenak, Jusmadi menjelaskan bahwa sedekah itu adalah amal jariah yang masih terus mengalir meskipun kita sudah almarhum. Apa Cantoi speechless. “Sedekahnya bisa berapa saja. Musala itu untuk kita semua,” kata Jusmadi saat hendak melangkah pulang.
Apa Cantoi heran. Kenapa berita yang sampai ke dia seratus ribu. Tapi Jusmadi sendiri mengatakan bisa berapa saja. Mengenai amal jariah, Apa Cantoi merenungkan kembali. Sangat banyak orang-orang dahulu yang dengan sangat ikhlas beramal jariah dengan membangun masjid-masjid. Tetapi belakangan masjid-masjid itu telah diruntuhkan dan didirikan masjid baru di atasnya.
Apa Subra pernah bilang, padahal dulu masjid-masjid baru dibangun kembali kalau memang-benar-benar tidak bisa dipakai lagi buat beribadah. “Dulu masjid baru dibangun kembali kalau memang sudah hampir roboh.” Apa Subra juga mengatakan, “Padahal masjid itu untuk beribadah-bukan bermegah-megahan. Kalau dipakai buat bermegah-megahan, malah dijadikan tempat wisata. Orang-orang malah cuma suka foto-foto di masjid”.
Memang benar belakangan ini masjid suka dipakai buat foto-foto dan orang-orang muda untuk pre wedding. Juga digunakan untuk ijab kabul. “Kawinnya di masjid, salatnya di kamar,” kata Apa Cantoi.
Pada suatu hari, Apa Subra, Apa Rajab, dan Apa Cantoi pergi ke Lhokseumawe. Di tengah perjalanan, Apa Cantoi bersedih melihat sebuah masjid yang bagian belakangnya sudah dihancurkan separuh karena sedang dibangun masjid baru yang sangat besar. Masjid baru itu dibangun dari belakang. “Saya kasihan amal jariah orang-orang dahulu terputus karena masjidnya dirubuhkan dan didirikan masjid baru,” kata Apa Cantoi.
“Mana ada terputus. Bangunan lama itu dindingnya dijadikan timbunan bangunan baru. Besi-besi bangunan lama dijual dan uangnya buat pembangunan bangunan baru,” Apa Rajab menjelaskan santai. “O begitu,” sahut Apa Subra yang benar-benar baru tahu.
Apa Cantoi yang tidak ingin opininya terbantahkan begitu saja, berkata lagi, “Padahal masjid sebelumnya sangat bagus. Kaligrafinya juga sangat indah. Sayang sekali.” Apa Cantoi ingin berkata lagi, bukankah lebih baik uang dikumpulkan untuk menyekolahkan anak yatim. membayar utang para janda, dan sebagainya. Tetapi Apa Cantoi urung mengatakan itu. Takut terpojok lagi oleh Apa Rajab. Karena memang urusan itu sudah ada badan zakat, dinas sosial, dan lainnya.
Dalam perjalanan, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menyalip kendaraan Apa Cantoi dan teman-temannya. Mobil itu nyaris menabrak sebuah kursi yang diletakkan di tengah jalan. Kursi itu diletakkan untuk melindungi petugas pengutip sedekah pembangunan masjid yang berdiri di tengah-tengah jalan.
Itu adalah sebuah pekerjaan yang sangat heroik. Hanya mampu dilakukan oleh mereka yang beradrenalin tinggi. Karena kendaraan-kendaraan yang melaju kencang bisa kapan saja menghantam mereka. Aktivitas itu juga sering membuat pengendara dilanda panik. Bahkan aktivitas pengumpulan sedekah di tengah jalan terkadang dilakukan di tikungan. Sering juga aktivitas itu ditemukan di bahwa pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Padahal pandangan pengemudi sangat terganggu ketika siang hari harus melewati pergantian gelap dan terang. Gelap karena dedaunan pohon. Retina pengemudi yang bekerja keras menyesuaikan pandangan sangat berbahaya bagi mereka yang berdiri di tengah jalan.
Saat hampir tiba di Lhokseumawe, Apa Subra yang mengemudi mengerem mobil secara mendadak. Apa Cantoi yang duduk di posisi tengah baris belakang terlempar ke depan. Kepala Apa Rajab membentur dashboard. Apa Subra tidak apa-apa. Karena memakai sabuk pengaman.
Ternyata penyebabnya adalah sepeda motor di depannya berbelok secara mendadak. Apa Subra tidak dapat menyadari itu karena lampu sein tidak kelihatan.
Penyebabnya adalah pakaian perempuan yang dibonceng menutupi keseluruhan lampu belakang sepeda motor. “Dia yang alim kita yang celaka,” kata Apa Cantoi. “Jangan-jangan memang pengendara motor itu tidak menyalakan sein,” balas Apa Rajab.
Apa Cantoi teringat dulu Lhokseumawe sangat maju seperti Manhattan. Banyak taksi berlalu-lalang. Ada plaza yang sangat megah. Mobil mewah Eropa dan Amerika banyak berlalu lalang. Bersih di mana-mana. Sekarang semrawut seperti Kabul.
Memasuki jalan dalam kota, mereka menemukan kerumunan. Ternyata perempuan yang dibonceng tadi sudah tergeletak di atas aspal. Beberapa orang sedang sibuk memotong kain yang melilit rantai motor.
Pengemudinya tampak pemuda umur dua puluhan. Terduduk di samping sepeda motor yang hancur. Saat ditanyai warga laki-laki itu mengaku perempuan yang diboncengnya adalah seorang ibu warga kampungnya. Perempuan itu menumpang. Laki-laki itu mengaku kehilangan keseimbangan sehingga menghantam trotoar.
Apa Cantoi dan teman-temannya melanjutkan perjalanan. Apa Cantoi berkata kenapa perempuan itu duduk menyamping. Itu membuat kain masuk rantai atau sepeda motor menjadi tidak seimbang. “Itu bukan muhrimnya, Apa. Menumpang kepada bukan muhrim saja sudah salah. Itu tabu. Dulu itu dianggap sebagai aib. Sekarang saja orang sudah aneh-aneh perbuatannya.” “Mungkin dia kepepet,” sambung Apa Subra santai.
Ilustrasi: Dreamtime.com