Setelan Baru

Sejak diberikan setelan pakaian oleh Ratna, Apa Cantoi menjadi berpenampilan menarik. Setidaknya menurut Apa Cantoi sendiri. Ke mana-mana dia suka mengenakan hadiah Ratna itu. Apa Cantoi memakai sepatu kulit hitam serta sepasang kaus kaki. Celana hitam, baju kaus putih, kemeja putih, serta peci hitam. Karena Ratna juga memberikan kain sarung. Itu ikut dipinggangkan sekalian. Dilipat dua.

Kain sarung itu sangat perlu karena kalau-kalau celana terkena najis, itu bisa digunakan untuk salat. Namun belakangan Apa Cantoi jarang mengenakan kemejanya. Dia sangat kerepotan mengenakan kemeja putih. Cepat kotor dan kalau terkena noda, susah hilangnya. Namun bila melewati kompleks perumahan dekat rumahnya, Apa Cantoi berusaha tetap mengenakan kemeja putih itu.

Ketika bertemu Apa Subra, rekannya itu mengatakan bahwa baju kaus itu gunanya sebagai singlet. Jadi kalau pakai baju itu, malah membuat masa pemakaian kemeja menjadi lebih lama. “Kemeja bisa terhindar keringat yang membuatnya cepat rusak. Juga menghindarkan dari daki yang membuatnya cepat kotor.”

Begitu gunanya baju kaus atau singlet sebagaimana dijelaskan Apa Subra. Apa Cantoi tetap saja jarang mengenakan kemeja. Karena dengan penampilan seperti itu tidak ingin orang mengira dia mau ke KUA.

Suatu hari Apa Cantoi berpapasan dengan Mayda anak Kak Boyti. Mayda memuji penampilan Apa Cantoi yang terlihat lebih bersih. Tetapi dia mengkritik penggunaan kain sarung hingga lutut yang membuatnya seperti mengenakan pakaian adat.

“Itu membuat Apa seperti orang zaman dahulu,” kata Mayda. Alih-alih tersinggung, Apa Cantoi malah semakin terpesona dengan komentar gadis itu kepada dirinya. Apa Cantoi berpandangan, orang-orang di masa lalu jauh lebih baik daripada manusia-manusia zaman sekarang. Orang-orang di masa lalu itu pemberani, gagah, dan banyak yang jujur. Manusia-manusia masa kini hidupnya terlalu sibuk. Entah mengejar apa. Manusia masa kini makanannya terlalu berbahaya: micin, air abu, olahan kimia, pupuk kimia, formalin, ayam potong yang usia satu bulan tetapi sudah sebesar gajah.

Di hadapan kopi panas bersama beberapa potong pisang goreng yang juga masih panas, Apa Subra mengatakan kepada Apa Cantoi bahwa di masa lalu itu tidak juga baik-baik saja. Apa Subra memberi Contoh dengan sekilas menghadapkan wajahnya ke rumah Kak Boyti. Setengah berbisik, Apa Subra mengatakan, “Kalau di masa lalu, tentu saja Mayda sudah menjadi pegawai negeri. Karena dulu, bisa seseorang sudah menjadi pegawai negeri, anak dan kerabatnya bisa dengan mudah menjadi pegawai negeri.” Almarhum suami Kak Boyti memang pensiunan guru PNS.

Apa Cantoi terheran-heran, berpikir, lalu menjawab. “Benar juga, saya pernah mendengar cerita ada pegawai negeri meninggal, kebetulan anaknya baru tamat SMA, langsung saja anak itu menjadi pegawai negeri.” Apa Cantoi melanjutkan, “Gawat juga kalau begitu ya. Posisi bapaknya bisa dengan mudah digantikan anak. Untung saja bapaknya bukan dokter bedah.”

“Nah,” Apa Subra membalas, “jadi di masa lalu, keahlian itu nomor dua. Nomor satunya adalah hubungan darah.

Apa Cantoi sedikit kecewa. Ternyata di masa lalu ada juga kekurangannya. Tetapi pada masa itu yang diingat adalah dunia sangat tertib. Tidak ada kemacetan di kota-kota. Dulu ketika aspal dibangun, tahan puluhan tahun. Sekarang sebulan aspal selesai, jalanan sudah bolong lagi. “Maklum saja,” jawab Apa Subra, “Pengembang butuh pembangunan rutin. Biaya kredit alat berat tidak murah.”

Mengenai kredit Apa Cantoi menemukan fenomena yang sangat menyesakkan. Orang-orang di pasar tradisional begitu kesulitan hidupnya akibat menjamur para rentenir yang setiap hari datang menjajakan pinjaman. Masyarakat yang butuh uang cepat tidak berpikir panjang. Padahal total dari cicilan yang harus mereka bayar hampir dua kali lipat dari yang dipinjam. Belum lunas cicilan, sudah ditawarkan lagi pinjaman baru dengan nominal yang lebih tinggi. Begitu terus-menerus kredit menjerat perekonomian mereka. Akibatnya perputaran uang di tengah-tengah masyarakat menjadi macet. Belum lagi kredit kulkas, sepeda motor, pakaian, perabotan.

Apa Cantoi merasa heran dengan budaya orang-orang. Mereka lebih suka membayar uang muka tiga juta untuk mendapatkan sepeda motor yang selanjutnya dicicil hingga tiga puluh juta lebih selama tiga tahun. Padahal dengan menambah dua juta lagi, sudah mendapatkan sebuah sepada motor bekas layak pakai.

Mendengar pandangan Apa Cantoi itu, Apa Subra merenung sejenak. Lalu berkata, “Tetapi dengan sepeda motor baru orang-orang hanya perlu memikirkan iuran bulanan. Dengan sepeda motor lama, pekerjaan menjadi terkendala. Mogok, biaya perawatan, dan lain-lain. Itu sangat mengganggu.” Apa Subra melanjutkan lagi, “Maka dari itu kita tidak perlu berlebihan menanggapi geopolitik Timur Tengah. Fokus saja melunasi kredit rumah enam belas tahun lagi, kredit sepada motor dua puluh delapan bulan lagi, dan angsuran perabot rumah tangga.” Mereka tertawa bersama.

Apa Subra undur diri. Apa Cantoi ambil sepeda jengkinya yang sudah tua. Ke pasar Matanggumpangdua saja bisa tiga belas kali jatuh rantai. Ratna sudah menunggu. Perempuan itu tahu kendala-kendala teknis Apa Cantoi. Tetapi itu tidak akan menjadi bahan diskusi mereka. Hanya ketika mereka hendak berangkat ke perbatasan, Ratna berhenti di depan toko sepeda Kuta Blang. Dia memesan satu sepeda jengki warna hijau. Minta dihantarkan ke sebuah warung kopi di kota Matangglumpangdua, tempat mereka biasa bertemu.

Mereka melanjutkan perjalanan.
Apa Cantoi jadi tidak enak. Ratna berharap perkara begituan dianggap biasa-biasa saja. Ratna senang melihat Apa Cantoi bersepatu kulit, celana kain hitam, dan kemeja putih. Meski tampak seperti pegawai negeri sipil hari tertentu, itu tidak masalah.

Apa Cantoi berkata bahwa sepertinya dia perlu mendapatkan pekerjaan tetap supaya tidak mengalami kendala finansial. Ratna mengatakan, mendapatkan pekerjaan tetap itu menuntut cara bekerja secara formal.
“Benar juga,” kata Apa Cantoi, “Apalagi kalau lulusan sekolah di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti saya, peluang pekerjaan secara formal tidak banyak tersedia.”

“Itu tidak terlalu menjadi kendala,” jawab Ratna, “masalahnya adalah, Bang Apa akan tidak betah bekerja terlalu formal.”

Apa Cantoi terdiam sejenak. Apa yang dikatakan Ratna itu benar. Temannya itu sangat paham tipikal dirinya.
Namun meskipun tidak memiliki penghasilan tetap, Apa Cantoi tidak pernah menghadapi memiliki kendala finansial serius. Itu pasti karena dia tidak punya utang dan tidak punya kredit apa pun. Kebutuhannya sehari-hari sangat terbatas. Sebab itulah Apa Cantoi dapat hidup tenang, damai, dan bahagia.

Setelah senyap beberapa saat, mereka mulai berbincang-bincang kembali. Kata Apa Cantoi, di daerah mereka tidak perlu mengkhawatirkan pekerjaan. Para pemilik lowongan pekerjaan sangat baik. Tidak pernah memecat pekerjanya. Apa Cantoi kenal banyak orang yang mengalami itu.

Dia pernah punya teman bekerja berjualan pakaian di kaki lima pada seorang toke. Ketika temannya itu melakukan banyak kesalahan, dia tidak dipecat. Hanya secara perlahan jatah barang untuknya dikurangi. Pelan-pelan hingga setiap dia meminta barang, toke berkata stok habis. Kalau dia mengetahui barang itu ada, toke akan bila itu sudah dijatah buat pedagang kaki lima lain. Begitu terus-menerus hingga dia dan toke putus hubungan.

Di kampung Apa Cantoi juga pernah ada seorang pemuda bekerja sebagai pelayan warung kopi. Dia suka menipu pelanggan dengan menghitung harga tidak sesuai tarif. Setelah ketahuan, pemuda itu diberikan bonus uang dan izin cuti. Bos mengatakan bila masa dia liburan sudah usai, akan diberi kabar. Sebulan menunggu, pemuda itu belum dihubungi. Tiga bulan kemudian, dia coba menghubungi, tetapi bos sudah memblokir nomornya. Tidak dipecat, hanya diberi bonus dan diminta liburan.

Kalau sopir truk lain lagi. Bila melakukan hal-hal yang tidak mengenakkan bagi bos, maka saat mobil rusak tidak akan diperbaiki. Lama sang sopir menunggu mobil tidak diperbaiki. Alasan bos tidak punya uang memperbaiki. Tidak dipecat. Maka sang sopir harus ambil sikap. Harus mencari pekerjaan di tempat lain.

Mereka yang berdasarkan kontrak kerja per-tahun juga demikian. Bila kurang memuaskan, tidak dipecat. Hanya tidak diberikan surat kontrak tahun berikutnya. Mudah saja dikatakan: ya kontraknya sudah habis.

Mendapatkan pekerjaan memang susah. Ijazah hanya prasyarat dasar. Selebihnya ada tiga. Dalam lowongan pekerjaan berijazah, perlu memiliki minimal salah satu modal lain. Pertama adalah keahlian dan kemampuan di atas rata-rata. Karena bila ada lowongan untuk sepuluh orang, maka dua atau tiga tetap untuk formasi objektif. Untuk mereka yang benar-benar ahli untuk lowongan itu. Sisanya diisi oleh formasi darah dan organisasi.

Kedua adalah formasi darah. Diisi oleh anak dan kemenakan petinggi serta anak dan kemenakan rekannya petinggi.

Ketiga adalah formasi modal sosial. Diisi oleh orang-orang yang se-organisasi dengan petinggi. Meskipun negara sudah berusaha menghapus model-model nepotisme, tetapi manusia tetap berusaha melanggarnya.

Tiba di Cunda, Ratna berhenti di depan kantornya. Apa Cantoi diminta menunggu di warung kopi samping kantor. Itu artinya perempuan itu agak lama.
Kalau saja tidak singgah di Lhokseumawe, mereka bisa saja melalui jalan elak yang menghubungkan Krueng Mane dan Buket Rata. Jalur itu memangkas jarak tempuh dua puluh kilometer. Entah kenapa itu disebut Buket Rata. Padahal terjal, naik turun bukit.

Setelah Ratna briefing dan menyiapkan berkas, mereka melanjutkan perjalanan. Perempuan itu menegakkan sandaran. Dengan duduk tegak menjadi tidak mudah lelah. Dengan duduk tegak, baik mengemudi maupun bekerja di kantor, dapat fokus selama empat jam non-stop.

Tiba di suatu tempat terjadi kemacetan. Orang-orang ramai berkerumun. Baru saja terjadi tabrakan beruntun. Ternyata kejadian itu dimulai dari sebuah Pajero berhenti di tengah jalan. Niatnya pengemudi memasukkan uang ke sebuah kardus yang diletakkan di atas drum yang di letakkan di tengah jalan. Biasanya ada satu atau dua orang berdiri di tengah jalan untuk menerima sumbangan dari pengemudi yang lewat. Namun sepertinya saat itu petugas penerima sumbangan sedang istirahat. Kardusnya diletakkan di atas drum.

Salah satu kendaraan yang terlibat kecelakaan beruntun itu adalah truk pembawa barang-barang dari Medan. Ratna menatap Apa Cantoi. Bukan karena kecelakaan, tetapi karena truk besar itu membawa sangat banyak celengan dan bola plastik.

“Jangan pernah mengatakan daerah kita hebat kalau setiap hari jutaan kubik angin masih dibawa pulang dari Medan,” kata Ratna. Meski sudah membaca arah pembicaraan, Apa Cantoi belum benar-benar paham. Ratna melanjutkan, “Bola plastik, celengan, dan benda-benda lainnya isinya cuma angin. Tetapi sangat banyak volume yang dibutuhkan benda-benda itu untuk diangkut. Jadi yang dibawa ke daerah kita cuma angin. Bayangkan, benda-benda begitu saja harus dibawa dari tempat yang jauh.”

Tentu saja ‘cuma angin’ itu hanya hiperbola. Apa Cantoi menjawab, “Jangan-jangan malah benda-benda itu dibawa dari Pulau Jawa. “Bisa jadi,” balas Ratna, “hampir semua yang kita konsumsi tidak ada yang diproduksi di daerah sendiri. Jadi uang tidak berputar lama, hanya singgah sebentar di daerah kita. Itu pun jumlahnya sangat sedikit.”

Setelah senyap beberapa detik, Ratna melanjutkan. “Itu menjadi bagian dari pemeran utama dari kemiskinan. Hanya banyak membeli dan sangat sedikit menjual.” Apa Cantoi hanya menyimak. Ratna melanjutkan lagi, “Kesulitan ekonomi yang dihadapi memiliki andil munculnya ketidakpercayaan kepada negara. Masyarakat menjadi mudah dipovokasi. Itu semua terjadi karena mereka kesal dengan penderitaannya. Maka dalam masyarakat demikian, mereka dapat dengan mudah mengekspresikan kemarahannya dengan munculnya perkara-perkara tertentu sebagai pemicu.”
Ratna menduga, Apa Cantoi ingin tahu hendak ke mana mereka. Ratna mengatakan mereka akan ke perbatasan.

“Ada persoalan yang melibatkan komunitas agama minoritas di sana.” Apa Cantoi mendengarkan saja. Belum tertarik. Ratna menjelaskan lagi. “Di sana, minoritas dibubarkan saat melakukan ibadat di salah satu rumah. Namun sayangnya, saat mengajukan keinginan memiliki rumah ibadat, itu hampir mustahil.”

Apa Cantoi mulai tertarik. Ratna melanjutkan. “Karena pusat telah membuat aturan, untuk mendirikan rumah ibadah, perlu permintaan minimal sembilan puluh calon pengguna dan dukungan dari enam puluh warga sekitar tempat ibadah akan didirikan. Sementara di daerah kita, aturannya yakni permintaan seratus empat puluh calon pengguna dan dukungan dari seratus sepuluh puluh warga sekitar.”

“Wah, itu aturan yang sangat bijak. Dengan demikian warga punya tanggungjawab melindungi rumah ibadah di lingkungannya,” jawab Apa Cantoi.

“Benar,” kata Ratna. Aturan itu memang dibuat sebagai solusi atas munculnya banyak penentangan dari warga atas sebuah rumah ibadah yang didirikan di sekitar lingkungannya.”

“Tapi untuk apa pula warga perbatasan menginginkan rumah ibadah baru. Bukannya di kota madya sudah ada?” tanya Apa Cantoi. “Nah,” jawab Ratna, “banyak dari kita yang belum tahu bahwa mereka punya banyak aliran. Sehingga antar aliran perlu tempat ibadat masing-masing.”

“Waduh.” “Entahlah. Hal paling penting adalah munculnya sikap empati dari mayoritas. Karena bila tidak, maka orang-orang seiman dengan kita di berbagai daerah lain yang menjadi minoritas akan kesulitan mendapatkan empati dari mayoritas..”

Dari obrolan itu, Apa Cantoi menduga mereka ke perbatasan punya hubungan dengan apa yang sedang mereka bahas.

Ilustrasi: goofyfaces.co.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya