Sirup Terakhir

Belum pernah Apa Cantoi merasa sepi seperti kali ini. Sebagai bekas petualang, tentu saja Apa Cantoi adalah orang pergaulan. Dia punya banyak kenalan di mana-mana. Tetapi itu dulu. Setelah Apa Cantoi masuk pulang dari sekolah di bawah Departemen Hukum, semuanya berubah. Sepulang Apa Cantoi ke kampung halaman, orang-orang dan lingkungan menjadi berbeda. Tidak banyak lagi yang mengopi di warung kopi kampung. Di Mata Air, hanya tersisa satu warung kopi kampung, yakni milik Apa Suh. Itu terletak di pertigaan ujung jalan dusun Mutiara, dekat sungai Peusangan.

Sama seperti Apa Cantoi, Apa Suh juga seperti orang yang tidak ingin masa lalu pergi. Dulu warung kopi Apa Suh setiap pagi sangat ramai. Dengan bangga dia menghidupkan tivi agar orang-orang dapat menonton berita pagi. Karena memang koran nasional tidak tersedia di warung kopi itu. Apa Suh hanya menyediakan koran lokal yang dipasok dari Banda. Koran itu tiba jam tujuh pagi.

Beberapa kali Apa Cantoi sempat mengamati, Apa Suh masih dengan aktivitas rutinnya seperti dulu. Sebelum Subuh, dia telah memanaskan kopi. Kemudian menghidupkan tivi. Bedanya sekarang adalah tidak ada pelanggan yang datang. Tetapi Apa Suh masih menyediakan nasi bungkus untuk sarapan pagi. Hanya beberapa bungkus yang dimasak oleh istrinya. Kalau dulu, sarapan pagi banyak jenisnya. Memenuhi salah satu meja. Diantar oleh warga yang menitipkan. Tidak hanya satu orang, tetapi ada beberapa penitip. Kue juga demikian. Ada banyak orang yang menitipkan. Jenisnya enak-enak. Ada kue gelang, ada bingkang, ada kue lapis, ada pulut, ada kue pink, dan sebagainya. Siang-siang beberapa penitip sarapan pagi dan kue datang mengambil uang dari kue yang laku.

Westview kembali ramai meskipun beberapa orang memperpanjang sendiri waktu berlebaran, sehingga belum muncul di perumahan itu. Apa Cantoi sempat melihat Bapak Jusmadi telah kembali.

Sebenarnya Apa Cantoi ingin sekali seharian berada di rumah. Tanaman-tanaman di pekarangan perlu dirapikan. Dalam bulan Ramadhan, dia telah menabur beberapa bibit jagung, bayam, dan semangka. Di samping itu, rumah juga perlu dirapikan dengan sempurna. Kliping koran Nasional dan majalah Nasional sudah minta dibersihkan. Tentu sudah banyak debu yang menempel. Bila terlalu lama dibiarkan, bisa saja akan berjamur. Itu tidak baik untuk kertas-kertas penting itu. Tetapi Apa Cantoi khawatir Pak Jusmadi akan bertamu ke rumahnya. Lagi pula suasana lebaran belum benar-benar usai. Apa Cantoi sendiri tidak punya persiapan apapun untuk menyambut tamu. Dia hanya punya sebuah matras karet yang sudah terkelupas dan kondisinya benar-benar telah memprihatinkan. Apa Cantoi pernah punya dua jenis kue lebaran dan satu jenis sirup lokal bewarna merah dengan merek bunga. Tetapi sudah habis. Apa Cantoi menghabiskannya sendiri sepanjang lebaran. Biasanya dia membuat sirup dan menyiapkan kue lebaran, kemudian dihidangkannya untuk dirinya sendiri. Sering dia menikmati itu di teras depan rumahnya.
Kali ini Apa Cantoi ingin mengulang kembali kenikmatan itu. Meskipun kue sudah habis, tetapi masih ada sirup untuk satu gelas lagi. Dibuat dan dinikmatinya di teras depan rumah. Sebuah majalah Nasional edisi lama diambil untuk dibaca-baca kembali. Halaman yang satu memberitakan pejabat ditangkap karena melakukan korupsi. Halaman selanjutnya adalah iklan mobil mewah. Halaman kemudian memberitakan gaya hidup mewah pejabat. Halaman kemudian iklan properti elite.

Menurut Apa Cantoi, ada yang aneh di sini. Jangan-jangan gaya hidup mewah pejabat karena tergiur dengan iklan. Jangan-jangan pejabat korupsi karena tidak mampu menahan diri untuk tidak memiliki properti yang diiklankan. Tetapi walau bagaimanapun, jangankan pejabat yang sekolahnya tinggi, siapapun orangnya, harus mampu mengendalikan diri. Kalau belum punya kemampuan finansial, hasrat harus dibuang.
Mengendalikan diri adalah kunci. Apa Cantoi ingat pernah membaca berita tentang seorang suami memukul seseorang akibat istrinya mengadukan dia telah dilecehkan. Sayang sekali sang suami langsung bertindak, tidak memeriksa terlebih dahulu bagaimana kejadian sebenarnya. Sehingga dia harus bertanggungjawab atas perkara yang dilakukan. Dalam hidup pada dunia modern, setiap orang harus pandai menanggapi informasi, berita, dan sebagainya. Sekali lagi, kuncinya adalah mengendalikan diri.

Sebenarnya Apa Cantoi sangat ingin minum kopi di teras rumahnya itu. Tetapi sayang sekali termosnya sudah rusak. Jadinya minum sirup terakhir saja. Dia ingin membeli termos baru. Tetapi Apa Rajab pernah mengatakan bahwa itu tidak perlu. Karena kendala termosnya apa Cantoi adalah pecah kaca, maka cukup dengan mengganti kaca. Apa Cantoi sangat kaget dengan usul Apa Rajab itu. Baru tahu dia bahwa kaca termos saja, ada dijual. Berarti Apa Cantoi tinggal membawa termos ke pasar untuk mengganti kaca. Tentunya itu lebih murah daripada harus membeli termos baru. Itu sangat penting bagi Apa Cantoi.

Apa yang dikhawatirkan Apa Cantoi benar-benar terjadi. Jusmadi yang sempat singgah ke rumah Kak Boyti, kemudian pergi ke rumah Apa Cantoi.

”Saya tidak melihat Apa di musola?” langsung Jusmadi menghujam pertanyaan terberat.

Apa Cantoi hanya bisa diam. Dalam hatinya bertanya, kalau salat kenapa harus ke musala itu? Dalam hatinya, sembahyang itu adalah perkara sakral. Untuk mengikuti keberagamaan seseorang, penting sekali mengetahui sanad keilmuannya. Apa Cantoi tidak tahu apakah di Westview orang-orang di sana punya latar belakang keilmuan agama yang sistematis. Dia berharap, mereka adalah orang yang berguru kepada ulama muktabar, yakni ulama yang punya sanad keilmuan yang jelas.
Apa Rajab pernah mengatakan, orang yang tidak punya sanad keilmuan yang jelas adalah mereka yang membuat simulakra atas fenomena agama masyarakat. Mereka mengadakan ritual-ritual agama, menerapkan sistem dan praktik keagamaan yang disimulasikan dari praktik keberagamaan masyarakat. Menurut Apa Rajab, itu terjadi karena umumnya mereka waktu kecil tidak mendapatkan pendidikan agama memadai. Mereka fokus mencapai cita-cita sebagaimana diajarkan di tivi. Berusaha meraihnya, setelah dicapai, perut kenyang, uang banyak, barulah merasakan kekeringan jiwa. Kemudian ingat mati. Barulah sibuk mempelajari agama via buku dan media sosial, mempraktikkan cara berpakaian dan beribadah sebagaimana mereka lihat dari ulama besar. Mengukir di atas air itu sangat sulit. Kasihan sekali mereka tidak sempat mengukir di atas batu. Apa Cantoi yakin orang-orang Westview tidak begitu.

Orang-orang semacam dibilang Apa Rajab biasanya tidak pandai membedakan mana urusan sakral dan mana urusan profan. Semua perkara dianggap perkara agama, termasuk politik. Orang-orang berbeda pandangan politik dengan mereka dianggap tidak taat agama. Padahal politik itu urusan profan. Pendekatannya berbeda dengan perkara agama yang sakral.

Menanggapi hal itu, Apa Subra pernah mengatakan, orang yang tidak dapat membedakan mana urusan sakral dan mana urusan profan sebenarnya sah-sah saja menjalankan agamanya dengan cara mereka.

”Pemahaman agama itu kan, banyak macamnya. Hal yang seharusnya tidak terjadi adalah, mereka yang baru sadar agama kemarin sore, sibuk menilai agama orang lain.”

Karena terlalu gugup, Apa Cantoi lupa menawarkan minum kepada Jusmadi. Lagi pula, tidak dapat dipastikan apakah botol sirup milik Apa Cantoi masih berisi. Kalaupun ditawarkan, tentu Jusmadi akan menolak. Kalaupun dihidangkan, besar kemungkinan dia tidak akan meminumnya. Kalaupun diminum, tidak akan lebih satu teguk. Dengan demikian, sudah bagus Apa Cantoi lupa mengenai perkara minuman. Karena kalaupun sirup itu masih ada, lebih baik Apa Cantoi meninumnya sendiri: tidak akan mubazir.

”Apa taraweh di mana?” kebut Jusmadi.

Apa Cantoi pucat. Dalam hatinya, kenapa harus taraweh di tempat yang dia inginkan? Bisa saja orang-orang di Westview akan menuduh Apa Cantoi sesat. Tetapi sebenarnya, bagi Apa Cantoi sendiri tidak masalah. Lebih masalah lagi kalau dituduh taat. Itu bisa membuat seseorang menjadi ria. Sikap ria menghanguskan amal-amal kebaikan: seperti api membakar kayu kering.

”Kalau bertemu kita, bertegur sapa, lah, Apa,”’ seru Jusmadi.

Apa Cantoi tetap diam dan pucat. Padahal sebenarnya, Apa Cantoi bukan tidak ingin bertegur sapa dengan mereka. Hanya saja pada masa awal Westview dihuni, Apa Cantoi kerap memberi sapaan kepada para penghuni di sana. Tetapi umumnya mereka tidak membalas sapaan Apa Cantoi. Yang biasanya terjadi setelah Apa Cantoi menyapa adalah dilihatnya Apa Cantoi dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan raut benci dan curiga. Itu terjadi beberapa kali sehingga Apa Cantoi menjadi tidak berani lagi menyapa orang-orang di sana. Apa Cantoi tidak ingin membuat mereka resah. Sepertinya mereka takut Apa Cantoi adalah maling yang sedang mengamati situasi calon medan operasi. Mungkin juga mereka khawatir Apa Cantoi akan pinjam duit. Dengan tidak lagi menyapa orang-orang di Westview, menurut Apa Cantoi, juga berarti mendapatkan pahala. Entah Apa Rajab atau apa Subra yang bilang, sombong kepada orang sombong adalah sedekah. Apa Cantoi sendiri tidak yakin itu. Bagaimana mungkin keburukan dibalas keburukan adalah baik. Apa Cantoi jadi ingat saat sekolah dulu: dalam matematika, minus dikali minus adalah plus.

Bapak Jusmadi kemudian berkeliling pekarangan dan Apa Cantoi menemani. Beberapa tanaman ubi menarik perhatiannya.

”Saya ingin ubi, Apa.”

Kemudian Jusmadi segera mencabut batang ubi. Tetapi tidak ditemukan ubi di akar. Karena memang batang itu masih muda, Belum lama ditanam, belum waktunya dicabut. Segera Jusmadi mencabut batang lainnya. Apa Cantoi ingin memberitahu bahwa belum ada batang yang sudah ada ubinya. Tetapi Apa Cantoi tidak berani. Setelah mencabut tiga batang, dibiarkan saja batang-batang itu berserakan di sana.
Setelah Jusmadi pulang, Apa Cantoi mengeluarkan sepedanya dan berbegas ke Kota Peusangan. Tiba di kota, Apa Cantoi langsung mencari toko pecah belah. Banyak yang masih tutup. Untung saja ada satu yang masih buka.

”Menurut sebuah sumber, kaca termos pecah bisa diganti,” kata Apa Cantoi kepada penjual.

”Bisa. Tapi sekarang kita tidak bawa pulang lagi kaca termos tok,” jawab penjual, ”terlalu berisiko. Karena gampang pecah.”

Apa Cantoi paham. Memang banyak barang dagangan yang tidak dimainkan lagi oleh penjual karena risiko tidak sebanding dengan keuntungan. Seperti kaca termos, berdasarkan informasi dari penjual itu, tampaknya barang tersebut tidak menawarkan banyak keuntungan. Sehingga pedagang lebih memilih tidak menjualnya. Mungkin saja barang tersebut tidak laris karena pembeli lebih memilih membeli termos baru, bila kacanya pecah. Lagi pula, kasus pecah termos jarang terjadi. Kalaupun terjadi, umumnya kaca pecah setelah termos lusuh. Sehingga pemilik termos lebih memilih sekalian membeli termos baru. Tanggung. Selisih harga antara kaca termos tok dengan termos baru juga tidak banyak.

Setelah menyelesaikan transaksi, Apa Cantoi ke warung kopi Datang Lagi. Warung kopi itu sangat sepi. Apa Cantoi merasa sangat hambar dengan situasi itu. Tanpa teman-teman, mengopi di sana, benar-benar tidak nikmat. Apa Pan sebagai pemilik, sekaligus manager, sekaligus joki, sekaligus petugas, juga tampak tidak bersemangat. Asistennya belum tampak bekerja, padahal lebaran sudah habis. Warung kopi Datang Lagi memang sepi sekali setelah lebaran. Selain banyak toko yang belum buka, pelanggan warung kopi yang merupakan orang-orang berumur, banyak yang sedang puasa enam.

Apa Cantoi setelah memesan kopi, duduk sendiri dekat salah satu meja yang sandaran kursinya menempel pada dinding. Dia merasa sangat bosan. Apa Pan datang menghantar kopi pancung dengan raut wajah sangat tidak bersemangat. Itu membuat Apa Cantoi semakin bosan. Setelah menuangkan sebagian kopi ke piring kecil, Apa Cantoi dapat segera menyeruputnya karena panas langsung turun. Untuk menghindari rasa bosan, Apa Cantoi merogoh kantong mengambil hape. Dia membuka pesan-pesan yang ada.
Karena kangen Ratna, Apa Cantoi membaca kembali pesan-pesan yang telah dikirim perempuan itu. Ternyata sudah lama sekali Ratna tidak pernah menghubungi. Hape dimasukkan kembali ke dalam saku celana. Sekali lagi kopi dituangkan ke piring keci. Diseruputnya hingga habis. Ditoleh ke arah dapur kopi. Apa Pan duduk di kursi dengan wajah lesu. Hari raya memang tampak seperti belum benar-benar habis. Pula orang-orang masih banyak yang berpuasa. Jalanan lengang. Melihat itu semua, Apa Cantoi menjadi kurang bersemangat. Dilihatnya lagi hape. Dibuka kembali pesan-pesan lama yang ada. Tidak perlu dibaca-baca lagi. Tetapi Apa Cantoi benar-benar bosan.

Diseruputnya kopi di dalam gelas hingga habis. Dimasukkan Apa Cantoi uang ke dalam gelas kopi yang telah kosong. Dia segera menghampiri sepedanya yang terparkir di halaman warung kopi dekat rak mie.

Di perjalanan, Jalan Matang Tanjong memang benar-benar sepi. Apa Cantoi tidak ingin segera tiba di rumah. Sebab itu, Apa Cantoi memilih jalan pulang melalui salah satu jalan di desa Rawa Kecil. Di sana, Apa Cantoi melewati sebuah jembatan irigasi. Apa Cantoi ingat dulu waktu kecil suka mandi di irigasi itu. Bersama teman-teman, mereka melompat dari jembatan ke aliran air. Kalau Apa Cantoi pikir-pikir, dia bersama temannya tidak pernah belajar berenang. Langsung lompat saja. Apa Cantoi bersyukur masih hidup hingga saat ini. Padahal waktu kecil, banyak sekali bahaya-bahaya yang dianggap permainan.

Waktu kecil dulu, Apa Cantoi dan teman-temannya juga suka menyeberang sungai dengan berenang. Mereka berlomba siapa duluan tiba di seberang. Padahal airnya sangat dalam dan juga deras. Setelah lelah berenang, mereka mencari udang yang bersembunyi di bawah batu. Kemudian ditusuk pakai lidi dan dibakar di pinggir sungai. Sayang sekali kini udang-udang itu tidak bisa ditemukan lagi. Bahkan batu-batu sudah sangat jarang ditemukan di sungai. Perusahaan konstruksi menambang batu di sungai. Mereka menumpuknya setinggi gunung. Sebagian dihancurkan menjadi kerikil, dipakai ketika ada proyek. Pekerjaan seperti itu menyebabkan sungai penuh lumpur, sehingga kalau ada hujan deras dari gunung, sungai tidak dapat mengendalikan air. Sebab itulah belakangan, banyak terjadi banjir bandang yang menyebabkan rumah hanyut, jembatan runtuh, jalanan amblas sekitar aliran sungai.

Di perjalanan, Apa Cantoi melihat sebuah meunasah yang penuh seni. Pusat aktivitas masyarakat desa itu dindingnya berukiran cantik. Dihiasi pula dengan aneka lukisan. Ada gambar gajah, ada gambar burak, ada gambar merak, dan seterusnya. Gambar merak tentu saja merupakan simbol keindahan. Sebenarnya setiap hewan dijadikan simbol sifat tertentu. Makanya ada agama yang menggambarkan hewan-hewan tertentu sebagai simbol manifestasi keindahan Tuhan. Itu hanya sebagai simbol untuk mengomunikasikan sifat-sifat Tuhan seperti merak untuk keindahan, gajah untuk kebijaksanaan, dan seterusnya.
Ada juga pada bagian atas meunasah itu gambar burak. Bagian kepalanya adalah perempuan cantik, sementara badannya adalah kuda bersayap. Burak merupakan simbol perjalanan manusia dari alam materi ke alam Ilahi. Wajah burak yang cantik berarti untuk menuju singgasana Ilahi, seseorang harus membuat perangai diri elok. Sayap merupakan simbol bahwa diri manusia harus mampu membumbung tinggi menuju singgasana Ilahi.

Rute yang dilalui Apa Cantoi berhubung dengan Jalan Kedai Angsana yang tembus hingga jalan pinggir sungai yang ada pertigaannya, yang merupakan Lorong Dusun Mutiara, yakni jalan menuju rumah Apa Cantoi. Di simpang Kedai Angsana, ada beberapa warung termasuk satu warung kopi. Warung kopi itu juga belum buka. Sekarang orang banyak yang langsung ke Kota Peusangan kalau minum kopi. Hanya tinggal pria-pria gaek yang mengopi di sana. Mereka tidak punya sepada motor.

Kalaupun punya, tidak bisa mengendarainya lagi. Orang lanjut usia banyak yang kesulitan mengendarai sepeda motor. Kalaupun ada yang masih mampu, sepeda motornya dibawa anak ke sekolah. Anak-anak suka sekali membawa sepeda motor ke sekolah. Padahal banyak di antara mereka belum cukup umur untuk membuat SIM. Kendaraan umum sudah langka. Orang-orang yang mempunyai sepeda motorlah yang membuatnya langka. Sepeda motor sekarang mudah sekali dibawa pulang, meskipun kepala pusing memikirkan angsuran setiap bulan. Dibayar tiga tahun. Durasi yang sama dengan dijajah Jepang.

Tiba di jalanan yang sebelah kirinya bebukitan banyak ditanami pepaya, di sisi kanan rawa-rawa banyak tumbuh pohon rumbia, paha Apa Cantoi bergetar saat mendayung jengkinya. Getaran itu disertai nada dering. Rupanya ada panggilan telepon. Apa Cantoi berhenti di pinggir jalan dan melihat layar hape. Tanpa diperhatikan, sebuah Chevrolet Luv lewat membawa muatan sabut kelapa. Sabut kelapa itu dihantar ke sebuah gudang dekat Kota Peusangan untuk diangkut dengan tronton. Dibawa ke luar provinsi. Kabarnya sabut kelapa itu untuk bahan baku pembuatan tali, goni, tas, pot bunga, tempat pensil, dan sepatu. Terkejut sekali Apa Cantoi. Rupanya Ratna yang menelepon. Jantung Apa Cantoi berdegup kencang. Gugup sekali dia.

Ratna mengatakan dia sedang di DotoCoffee dan dengan senang hati menunggu Apa Cantoi di sana. Tetapi Apa Cantoi mengatakan masih di perjalanan pulang dari Kota Peusangan. Ratna paham dan meminta Apa Cantoi menunggu dijemput. Setelah menjelaskan detail lokasi di mana Ratna dapat menjemput dan menjelaskan detail rute, Apa Cantoi kembali mengayuh sepedanya menuju warung kopi Apa Suh.

Tibalah Apa Cantoi di warung kopi Apa Suh. Warung kopi itu berbahan kayu. Seluruhnya dicat warna pink. Bagian tempat duduk pelanggan berdinding sekitar satu meter kiri dan kanan. Bagian depan terbuka hingga teras yang panjang sekitar dua baris meja lagi. Hanya bagian dapur kopi dan sedikit ruang istirahat di belakang dapur yang berdinding hingga atap. Sekeliling warung kopi itu adalah kebun kepala. Angin sepoi-sepoi bertiup sepanjang hari. Tapi sayang sekali, warung kopi itu sangat sepi. Saat Apa Cantoi tiba, tidak ada orang sama sekali, termasuk Apa Suh sendiri. Mungkin saja dia sedang pulang sebentar untuk satu keperluan. Bisa jadi juga Apa Suh sedang beristirahat di bilik kecil belakang dapur kopi.

Apa Cantoi standby dengan hape, karena beberapa kali Ratna harus menelepon untuk mengetahui lokasi menjemput Apa Cantoi. Hingga Jazz hitam milik Ratna terlihat, berbarengan itu Apa Suh tiba. Apa Cantoi memesan kopi. Ratna memesan teh dingin.

”Warung kopi ini sangat keren,” kata Ratna kepada Apa Suh dan Apa Cantoi.

Sejenak Apa Suh coba memahami makna ungkapan Ratna. Apakah itu sindirin, apakah sekedar basa-basi, atau memang benar-benar serius. Akhirnya muncul kesan pada Apa Suh bahwa ungkapan itu memang serius dan mengharapkan tanggapan dari Apa Suh sendiri, meskipun diucapkan seolah kepada Apa Suh dan Apa Cantoi. Karena Ratna baru kali itu bertemu Apa Suh, maka ungkapan itu perlu diperdengarkan kepada Apa Cantoi juga. Dalam hal ini, Apa Cantoi semacam menjadi penghubung komunikasi Ratna kepada Apa Suh. Meskipun penjelasannya tampak rumit, tetapi benak manusia cepat saja memahami ekspresi sebuah kalimat. Dan sebenarnya, makna kalimat itu sangat ambigu. Ekspresilah yang membuat maknanya menjadi tunggal.

”Alhamdulillah,” jawab Apa Suh, ”tetapi setiap hari selalu sepi.”

Ratna bertanya kepada Apa Cantoi kenapa warung kopi yang nyaman seperti ini bisa sepi. Apa Cantoi memberikan beberapa alasan.

”Dulu banyak orang mengopi di sini karena mereka tidak punya kendaraan,” jawab Apa Cantoi, ”sekarang semua orang sudah punya sepeda motor.”
Apa Suh tiba dengan membawa kopi pancung dan teh dingin. Sambil meletakkan minuman-minuman itu di hadapan Ratna dan Apa Cantoi, Apa Suh menambahkan, ”Mana ada. Dulu banyak yang mengopi adalah orang-orang seusia saya. Sekarang kebanyakan dari mereka sudah di peristirahatan terakhir.”

Mata Apa Suh mulai memerah. Dia melanjutkan, ”Sebagian memang masih hidup, tetapi sudah sakit-sakitan. Tidak mungkin selalu rutin minum kopi.” Mata Apa Suh mulai basah. Dia melanjutkan lagi, ”Apalagi banyak di antara yang sudah sakit-sakitan itu kena gula.”

Apa Cantoi dan Ratna paham bahwa maksud kena gula itu adalah diabetes. Belakangan memang banyak orang yang kena penyakit diabetes. ”Itu karena Apa juga,” jawab Apa Cantoi bermaksud menghibur, ”banyak sekali taruh gula di kopi mereka dulu.”

Berhasil. Apa Suh tersenyum, ”Tetapi gula itu kan tidak hanya dari minum kopi,” jawabnya dengan suara parau, ”orang kita kan memang sangat suka yang manis-manis. Sambalnya saja sangat manis.”

”Setuju,” balas Apa Cantoi, ”malah saya mengatakan itu bukan sambal, tetapi jus cabai.”

Mereka bertiga tertawa. Kemudian Apa Suh sibuk melayani dua orang pemuda yang datang ke warung dengan peralatan memancing. Mereka membeli kopi untuk dibungkus dan kue. Mereka akan mencari ikan di sungai. Perlu sedikit bekal. Perbekalan wajib tentunya adalah kopi.

Setelah dua pemuda tadi berlalu ke selatan jalan, Ratna menyarankan kepada Apa Suh untuk melakukan revolusi pada warung kopinya. Dia mengamati sekitar. Pemandangan yang indah. Suasananya sejuk.

”Hal pertama yang perlu Apa lakukan adalah memperbanyak colokan listrik. Untuk setiap meja minimal harus ada empat lubang colokan,” Ratna menyarankan.

”Untuk apa?” tanya Apa Suh tidak paham.

”Anak muda bisa bekerja dengan laptop di warung’,” jawab Ratna. Dia melanjutkan, ”Sediakan juga jaringan internet.”

Apa Cantoi yang duduk di depan Ratna merasa seolah apa yang disarankan Ratna itu tidak realistis. Memperhatikan raut wajah Apa Cantoi, sepertinya Ratna paham apa yang dipikirkan lelaki itu.

”Kita tidak mungkin menjebak diri dalam masa lalu. Dunia sudah berubah. Internet akan menjadi kebutuhan,”

Ratna menjelaskan. Kemudian dia melanjutkan, ”Dengan adanya aliran listrik yang cukup, anak muda dapat bekerja di sini. Mereka akan mengerjakan tugas kuliah maupun tugas pekerjaan. Tidak tertutup kemungkinan mereka akan main game di laptop. Sambil itu tentu mereka membutuhkan aliran listrik, internet, dan minuman.”
Apa Suh yang duduk di kursi yang mejanya paling dekat dengan dapur kopi memperhatikan dengan saksama.

Pikirannya campur aduk. Pada satu sisi dia ingin orang-orang sebayanya memenuhi warung kopinya. Dulu itu terjadi dari pagi hingga malam. Tetapi sekarang itu sudah mustahil. Waktu tidak bisa diputar kembali.

”Tapi ini bukan DotoCoffee,” seru Apa Cantoi.

”Benar,” jawab Ratna bersemangat, ”warung kopi ini memang jauh dari kota. Tetapi sebenarnya berlokasi strategis.
Apa Cantoi semakin heran. Dia melihat sekitar, seolah mengajak Ratna melihat sekeliling hanya ada pohon kepala. Sementara pada sisi timur adalah sungai. Karena sungai itu tidak terlihat jelas dari warung kopi Apa Suh, Apa Cantoi setengah yakin bahwa Ratna juga tahu pada sisi itu ada sungai.

”Coba kita ingat-ingat,” jawab Ratna semakin bersemangat, ”Sebelah utara ada dua desa yang mudah sekali mengakses warung kopi ini, yakni Kedai Angsana dan Rawa Kecil. Sebelah selatan ada desa Galangan Rabu dan Kepala Jalan. Seberang jalan ada desa Getah Rotan dan Meudang Ara. Sebelah barat tentunya ramai warga Dusun Mutiara, desa Mata Air ini. Dusun Berlian dan dusun Intan juga tidak terlalu jauh dari sini.”

Apa Cantoi terkejut kenapa Ratna mengetahui detail lokasi sekitar sini. Di dalam benaknya, pria itu menduga, itu karena memang Ratna berasal dari Rawa Kecil. Desa itu tidak terlalu jauh dari Mata Air. Mungkin saja waktu kecil, Ratna termasuk anak perempuan yang suka berpetualang pada hari Minggu bersama teman-teman sebaya. Biasanya ada anak-anak yang suka main sepeda ke tempat-tempat yang jauh. Waktu itu, kondisi relatif aman. Kontrol sosial berlaku. Setiap anak diperlakukan seperti anak sendiri.

Seperti mengetahui apa yang dipikirkan Apa Cantoi, Ratna berkata, ”Beberapa waktu lalu saya terlibat advokasi tambang di Dusun Berlian. Waktu itu kami punya banyak kegiatan menyambangi masyarakat di Mata Air dan beberapa desa sekitar.”

Tentu saja Apa Cantoi dan seluruh warga Mata Air mengetahui perkara tersebut.
Setelah teh dingin menyisakan es batu, Ratna mengajak Apa Cantoi untuk jalan-jalan. Pria itu diam sejenak. Seperti memikirkan sesuatu. Apa Cantoi melihat ke arah sepedanya. Ada termos yang diikat di tempat duduk belakang. Kalau meminta Ratna menghantarkan ke rumah, itu tidak enak. Apa kata tetangga. Kalau sepeda dititipkan kepada Apa Suh, bagaimana dengan termos.

Ratna berpikir sejenak. Tidak ada solusi.
”Pergi saja,” jawab Apa Suh, “sepeda biar saya yang mengurus.”

”Kalau telat bagaimana?” tanya Ratna.

”Kalau belum kembali sampai tutup, biar saya bawa pulang,” jawab Apa Suh.
”Termos bagaimana?” tanya Apa Cantoi kepada Apa Suh.”

”Ambil saja,” jawab Ratna, ”supaya tidak terlalu merepotkan.”

Termos memang benda sensitif. Apa Cantoi melepaskan tali karet hitam yang mengikat kotak termos barunya. Kemudian Ratna meraih termos itu dan memasukkannya ke pintu jok belakang Honda Jazz.

Setelah membayar, mereka pun berangkat. Ratna sengaja melewati Jalan Dusun Mutiara. Dia kangen suasana Mata Air. Kalau mobil berpapasan dengan orang dari arah berlawanan, Apa Cantoi sedikit merunduk. Tidak enak jadi bahan perbincangan. Banyak radio bergigi di dunia ini. Takutnya kalau cuma duduk dibilang cium, dan seterusnya.

Tiba di depan lorong rumahnya, Apa Cantoi sempat melirik. Sepi. Ratna sengaja belok ke kompleks perumahan Westview. Melihat-lihat komplek perumahan memang ada kenikmatan tersendiri. Mobilnya melewati lorong depan rumah Pak Jusmadi. Melewati di depan rumah ustadz Fajron, tampak istrinya sedang duduk termenung di teras. Mungkin sedang menghayal dirinya sedang menangani pasien gawat darurat.

”Itu kenal?”

”Istri Ustadz Fajron,” jawab Apa Cantoi yang sedang merunduk, ”sudah semakin parah.”

”Kenapa tidak dibawa ke Banda?”

”Kasihan sekali dia. Ingin jadi perawat tetapi tidak kesampaian.”

Memasuki jalan Matang Tanjong, kendaraam berbelok ke arah utara. Tiba di Kota Peusangan, belok kanan. Apa Cantoi menduga mereka akan ke Lhokseumawe.

Tetapi di Lhokseumawe mereka sama sekali tidak singgah. Penasaran Apa Cantoi, mereka akan ke mana. Tetapi dia tidak bertanya. Seperti anak-anak yang dibawa bapaknya jalan-jalan, hukum pertama adalah tidak bertanya akan ke mana. Kalau bertanya, berarti bukan anak-anak lagi. Kalau sudah bukan anak-anak lagi, berarti akan sering menolak bila diajak jalan-jalan. Kalau sering menolak, yang mengajak akan malas mengajak. Makanya Apa Cantoi tidak bertanya, karena tidak ingin kemudian tidak diajak lagi. Kalau orang diajak tidak suka bertanya akan ke mana, berarti yang diajak suka. Kalau yang diajak suka, yang mengajak senang mengajak.

Tiba di sebuah kota, mereka berhenti makan di sebuah restoran. Kota itu memang punya banyak kuliner menarik. Orang-orang suka singgah di sana, karena terdapat banyak kafe dan restoran yang menyediakan menu istimewa namun terjangkau. Kota tersebut juga punya jarak yang pas untuk singgah bila pulang dari Medan. Orang yang akan menuju Medan juga suka singgah di sana, karena setelah singgah di kota itu, mereka bisa selanjutnya berhenti di Medan. Sebab itulah kota tersebut dijuluki Kota Singgah.

”Orang kaya suka membeli rumah di kota ini, karena memang tepat dijadikan persinggahan,” kata Ratna saat mereka sedang menyantap hidangan. ”Sebab itulah,” Ratna melanjutkan, ”banyak orang kaya membeli rumah di kota ini untuk dijadikan persinggahan.”

Selesai makan, Ratna memberitahukan bahwa mereka akan ke Medan. Ratna mengatakan bahwa dia punya satu urusan di sana.

Apa Cantoi sendiri sebenarnya terkejut mendengarkan tujuan mereka. Tetapi dia berusaha tidak menunjukkannya kepada Ratna.

Saat melanjutkan perjalanan, rupanya banyak mobil yang sedang parkir berjejer di pinggir jalan.

”Ada razia,” kata Ratna sambil melihat ke arah Apa Cantoi yang duduk di sampingnya.

Apa Cantoi sendiri kalau naik mobil, suka memakai sabuk pengaman. Pertama, karena supaya mirip seperti yang dia lihat pada film-film. Kedua, karena dia belum ingin mati. Ketiga, karena tidak ingin menyusahkan orang yang mengajaknya apabila ada razia.
Beberapa kendaraan diberhentikan untuk pemeriksaan.

”Sepertinya razia narkoba,” kata Ratna.

Beberapa kendaraan diberhentikan ke tanah kosong di sekitar untuk diperiksa secara cermat. Beberapa hanya diberhentikan dan diperiksa di pinggir jalan. Beberapa kendaraan tidak diperiksa. Sepertinya itu tergantung tingkat kecurigaan petugas.
Ratna sendiri begitu mendekati para petugas, segera membuka empat kaca mobilnya. Dia menyapa petugas dengan santun. Para petugas membalas dengan ramah.

Apa Cantoi sangat heran kenapa masih banyak orang yang tergiur menjadi agen narkoba. Padahal hukumannya sangat mengerikan. Banyak yang sudah dieksekusi mati karena tertangkap mengedarkan narkoba. Orang malas tapi ingin kaya raya memang banyak di negeri ini. Apa Cantoi sedih melihat pemuda-pemuda yang tubuhnya sehat dan bugar, tetapi terlibat narkoba. Padahal mereka mampu bekerja halal untuk memeroleh penghidupan.
Melewati lokasi razia, Ratna tampak mulai kelelahan. Apa Cantoi coba mengajak temannya itu untuk mengobrol agar tidak mengantuk.

”Kira-kira apakah Apa Suh akan memasang internet di warung kopinya?”

Apa Cantoi memulai obrolan.
Ratna tersenyum. ”Tidak tahu juga,” jawabnya. Dia menoleh sejenak ke arah Apa Cantoi, ”Sepertinya tidak.”

”Kenapa begitu?”

”Karena Apa Suh membuka warungnya untuk bernostalgia. Tentu akan sulit baginya untuk mengubah suasana warung kopi itu. Apalagi harus membawa perubahan besar bernama internet. Internet itu, meskipun pada satu sisi memberikan banyak pertolongan, tetapi pada sisi lain ia mengandung hal-hal untuk diwaspadai.”

Apa Cantoi menyimak.
Ratna meneruskan, ”Dengan begitu banyaknya informasi yang bisa disajikan melalui internet, orang-orang akan kesulitan membedakan fakta dan rekayasa. Dengan begitu, penyaji berita menjadi tampak setara. Padahal di antara penghasil berita, ada yang lebih otoritatif karena mengutamakan akurasi dan kualitas penyajian. Dalam dunia internet, kepakaran menjadi lenyap.”
Apa Cantoi terus menyimak. Hanya lampu jalanan dan cahaya lampu dari kendaraan berlawanan arah yang dapat membuat Apa Cantoi sesekali dapat melihat wajah Ratna yang sedang serius mengendarai sambil berbicara.

”Krisis kepakaran menyebabkan orang menyepelekan ilmu pengetahuan. Seorang ahli mudah saja dibantah dengan argumen yang diambil dari sebuah kutipan di internet. Setiap orang menampilkan dirinya seolah-olah pakar. Banyak orang akan merespon sesuatu seolah dia itu otoritatif.” Ratna melanjutkan lagi, ”Internet dapat membuat orang mengabaikan kebenaran meskipun mengetahui itulah sejatinya kebenaran. Orang akan meninggalkan kebenaran demi kecenderungan dan kepentingan pragmatis. Di masa hadapan, era internet akan menjadi era pasca kebenaran.”

”Kenapa bisa seperti itu, padahal internet itu hanya alat bagi membantu memudahkan pekerjaan-pekerjaan?”

”Pertama-tama internet memang hanya menjadi alat. Tetapi lama-kelamaan ia akan menjadi realitas utama kehidupan. Bahkan kehidupan nyata di alam dunia hanya menjadi selingan saja.”

Mendengar penjelasan Ratna, Apa Cantoi mendadak dilanda kekhawatiran. Akan separah itukah internet?

Melewati perbatasan, Ratna masuk ke sebuah pom bensin. Minyak diisi penuh. Kemudian mobil diparkirkan pada satu tempat dekat swalayan yang berada di area. Ratna dan Apa Cantoi turun ke toilet. Syukur tidak ada lagi pengutipan uang di sana. Dulu di toilet pom bensin malah ada pengutipan uang ke toilet. Padahal toilet adalah fasilitas yang harus disediakan sebuah pom bensin. Mereka tidak boleh mengutip uang di sana. Sudah ada keuntungan dari menjual minyak.

Selesai dari toilet, Ratna masuk ke dalam minimarket. Dia membeli roti dan minuman. Mereka menikmatinya di tempat yang disediakan di depan minimarket.

Setelah beberapa keperluan selesai, mereka kembali ke mobil. Kaca sedikit diturunkan. Tiba di Medan, selesai sarapan, mereka menuju Jalan Pemuda. Mobil parkir di basement sebuah bank konvensional. Ratna dan Apa Cantoi naik ke lantai dua menggunakan lift.

Diperhatikan Apa Cantoi pelayanan yang sangat menyenangkan itu. Berbeda sekali dengan kondisi layanan di provinsi mereka. Padahal di sana banknya memakai label agama. Dari bank, mereka singgah di suatu tempat. Saat mobil berangkat, tukang parkir menolak uang yang diserahkan. Rupanya parkir gratis. Betapa terkejutnya Apa Cantoi. Rupanya banyak tempat di Medan sekarang tidak memungut biaya parkir. Padahal dulu malah ada tukang parkir liar.

Ratna sama sekali tidak khawatir dengan plat kendaraannya. Padahal dulu orang was-was kalau plat kendaraannya bukan plat provinsi tersebut saat berada di wilayah itu. Sekarang malah terlihat sangat banyak jenis di luar provinsi itu, bahkan banyak jenis plat sedaerah dengan kendaraan Ratna berlalu lintas di Medan.

Dengan banyaknya hal-hal yang tidak ada di daerah mereka, banyak orang yang semakin intens ke Medan. Tentu saja hal itu membuat kunjungan ke Medan menjadi ramai.

Siapa saja yang ingin daerahnya maju, harus belajar banyak dari Medan. Mereka cepat berbenah. Karena hanya dengan situasi yang aman dan nyaman, sebuah kota dikunjungi. Perekonomian menjadi meningkat. Dulu ada begal di arah barat, sekarang pihak keamanan sudah sangat fokus mengentaskannya. Karena bila tidak, perekonomian daerah mereka menjadi macet. Dulu arah utara kota Medan banyak pemerasan preman jalanan, padahal itu pusat ekonomi dan perdagangan. Sekarang pihak keamanan tidak lengah. Karena telah terbangun kesadaran bahwa bila terjadi krisis keamanan, apalagi di pusat ekonomi perdagangan, pengembangan ekonomi menjadi surut. Namun bila keamanan dan kenyamanan difokuskan, semua pihak pada satu daerah memeroleh keuntungan. Perekonomian meningkat, kesejahteraan merata.

Apa Cantoi dan Ratna tidak segera pulang. Mereka menginap pada sebuah hotel. Ratna memesan dua kamar.
Malam harinya mereka pergi ke bioskop. Apa Cantoi memilih film komedi. Ratna menonton film superhero. Itu tidak ada di daerah Apa Cantoi sekarang. Padahal dulu hampir di setiap kecamatan di daerah Apa Cantoi, ada bioskop. Dulu waktu muda, setidaknya seminggu sekali, Apa Cantoi dan teman-temannya suka ke bioskop. Apa Cantoi sangat suka film-film Indonesia. Dulu kualitas film-film Indonesia sangat bagus. Apa Subra pernah mengatakan, itu terjadi karena pada masa lalu, seniman punya daya kreativitas tinggi. Seniman dulu sibuk memikirkan kualitas karya sehingga rambut dan pakaian kurang terurus. Seniman sekarang malah banyak yang sibuk memikirkan gaya rambut dan penampilan agar mirip seniman. Orang-orang seperti itu adalah seniman bajakan. Sebenarnya mereka bukanlah seniman. Hanya kagum kepada penampilan seniman.

Apa Subra pernah mengatakan, pada masa itu, banyak bidang punya kualitas yang tinggi. Karena seleksi alam menjadikan hanya yang berkualitas yang bertahan dan menjadi produktif.

Berbeda dengan sekarang. Kepakaran mati. Semua orang berbicara semua hal. Mereka yang berkualitas dan berbicara serta berbuat sesuai keahlian, malah dicibiri.

Pulang dari bioskop mereka kembali ke kamar masing-masing. Ratna dengar-dengar, banyak hotel menyediakan menu sarapan gratis yang mewah. Makanya dia memilih hotel tersebut. Ratna Penasaran. Beruntung pada hotel tepat Ratna dan Apa Cantoi menginap, mereka disediakan sarapan prasmanan yang dapat dinikmati sepuasnya. Menunya sangat nikmat. Jenis-jenis minuman bervariasi. Disediakan pula puding dan kue-kue super lezat.
Selesai sarapan, Apa Cantoi menuangkan kopi ke gelasnya, dan duduk teras samping hotel yang disediakan buat ngopi. Ratna menyusul sambil membawa segelas minuman berwarna kuning.
Dekat Ratna dan Apa Cantoi menikmati minuman ada sebuah kolam renang kecil. Beberapa anak mandi di kolam renang itu. Orang tua mereka terlihat mengawasi dari pinggir kolam.

“Pagi-pagi mandi kolam apa enggak dingin,” Apa Cantoi memulai obrolan supaya tidak terlalu sunyi.
Ratna melirik sebentar bocah-bocah itu,

“Namanya juga anak-anak.”
Ratna kesulitan menyeruput minumannya karena terlalu dingin. Apa Cantoi heran kenapa perempuan itu malah memilih minuman dingin pada pagi hari.

“Kenapa malah pilih jus dingin pagi-pagi,” tanya Apa Cantoi.

“Ini bukan jus, tapi sirup,” jawab Ratna.

“0”

Selain kesulitan membedakan jus dan sirup, Apa Cantoi juga kesulitan membedakan penyebutan untuk hijau dan biru, meski pada pandangan dia bisa membedakannya. Warna biru juga oleh Apa Cantoi disebut hijau. Ada biru muda, ada biru tua, ada hijau muda, ada hijau tua, dan sangat banyak lainnya. Sebenarnya tidak jelas juga dimana demarkasi hijau dan biru dalam gradasi warna.

“Sirup ini memang terlalu dingin,” jawab Ratna.

“Kenapa tidak ambil minuman yang hangat saja,” tanya Apa Cantoi, “kan ada teh panas.”

“Seharusnya begitu,” jawab Ratna sambil meneguk pelan sirup dingin di tangannya, “ini sirup terakhir. Setelah ini tidak mau minum sirup lagi.”
Mereka tertawa. Tidak tahu letak lucunya di mana. Tetapi tertawa secara proporsional itu sangat penting untuk mencairkan suasana.

Sebenarnya Apa Cantoi lebih heran lagi kenapa minuman dingin disediakan pada pagi hari. Tetapi selera orang kan beda-beda. Siapa saja boleh memilih minuman yang disukai. Sarapan super nikmat itu disediakan gratis.

Selesai sarapan, mereka menuju kamar. Di lobby hotel terlihat anak-anak yang di kolam renang tadi berlari dengan badan dan pakaian basah. Pihak kebersihan hotel tampak kerepotan menyusuri jejak anak-anak tadi sambil mengepel lantai. Disusul orang tua anak itu yang menenteng handuk, mengejar di belakang. Belum sampai di lift, anak itu ditangkap oleh orang tuanya. Masing-masing langsung dibalut dengan handuk.
Setelah berkemas-kemas, Ratna segera ke lobby untuk check-out. Mereka khawatir bila kembali dari jalan-jalan, tidak sempat check-out sebelum waktu habis. Apa Cantoi dan Ratna ke sebuah mall. Apa Cantoi setia menemani Ratna memilih-milih pakaian. Kemudian mereka singgah di toko buku yang ada di mall. Buku memang mahal-mahal. Tetapi itu adalah harga yang harus dibayar untuk memenuhi kebutuhan toko buku yang menyediakan fasilitas berbelanja yang nyaman. Apa Cantoi membeli sebuah buku tentang motivasi. Dengan kehidupan yang serba tidak jelas, Apa Cantoi butuh motivasi dalam hidupnya. Sementara Ratna membeli sebuah buku tentang kajian hukum. Itu adalah bidang keahlian, minat, dan profesi perempuan itu. Bekerja sesuai dengan minat dan keahlian adalah kenikmatan. Dengan begitu, rejeki mudah datang. Dan lebih penting, tidak ada tekanan dalam hidup.
Apa Subra pernah mengatakan, penyakit-penyakit yang bangkit dari tubuh itu terjadi karena manusia kurang bahagia. Namun bila kehidupan diisi dengan ketenangan, tidak ambisius, tidak banyak keinginan, hidup akan jadi mudah, pikiran tidak susah. Bila susah pikiran, masalah terus-menerus muncul. Penyakit ikut timbul.

Memasuki mobil, Apa Cantoi memegang bukunya penuh penghargaan. Desain sampulnya menarik, kertas-kertas dijilid rapi dan kuat. Ukuran huruf-huruf proporsional, tata letaknya rapi. Benar-benar membangkitkan gairah untuk membacanya. Itu berbeda sekali dengan buku bajakan dan buku fotokopian. Apa Cantoi punya banyak buku yang dibeli bajakan dan difotokopi. Tetapi banyak diantaranya tidak dituntasbaca. Itu karena kualitasnya buruk.

Pada perjalanan pulang, Ratna perlu singgah di suatu tempat. Masuk dalam beberapa kilometer. Rupanya sebuah jembatan yang aspal jalannya baru dibuat, tampak sangat bagus, memberikan hentakan yang cukup berarti.

Ratna mengomeli pembuatan jembatan. Kata dia, di kawasan itu, bangunan dibuat asal jadi. ”Sebenarnya pada tidak sedikit daerah,” kata Ratna, “tidak ada pembangunan.”

Apa Cantoi heran dan melirik Ratna.
”Yang ada itu sebenarnya,” Ratna diam sejenak untuk fokus pada jembatan selanjutnya yang rupanya dibuat lebih aneh dari jembatan di belakang tadi, ”bayar hutang kampanye.”

Meskipun kendaraan sudah sangat menurun kecepatannya, sekali lagi Apa Cantoi terperanjat pada jembatan berikutnya.

Pernah satu ketika presiden datang ke sebuah daerah dan menyaksikan di sana jalanan rusak tidak diperbaiki. Namun sebenarnya itu lebih baik. Tidak membangun atau tidak memperbaiki, itu berarti tidak menghabiskan uang rakyat. Dibandingkan dibangun atau diperbaiki asal jadi, jika dikorupsi, tidak lama rusak, uang rakyat diambil lagi.
Mereka tiba di Kota Peusangan saat matahari telah tenggelam. Ratna menghantar Apa Cantoi hingga musala persimpangan Jalan Dusun Mutiara. Saat hendak pergi, Ratna sempat mengatakan akan menghubungi Apa Cantoi untuk ngopi lagi di DotoCoffee. Apa Cantoi ingin bilang terima kasih sudah diajak jalan-jalan, tetapi Ratna sudah tekan gas. Apa Cantoi jalan kaki ke rumahnya. Di Perjalanan, melalui pengeras suara, musala Westview memperdengarkan suara Ustadz Fajrun yang sedang mengajar mengaji warga Westview. Apa Cantoi heran, kenapa belajar mengaji malah pakai pengeras suara. Entah untuk memamerkan kepintaran Ustadz Fajrun, entah untuk memamerkan ketidakpintaran warga yang sedang diajarkan mengaji.

Tiba di rumah, sebenarnya Apa Cantoi ingin menyeduh kopi. Tapi sayang, termos baru malah tertinggal di mobil Ratna.

Baca Juga

Sekuler

Beberapa hari lalu ada kuliah umum. Pembicaranya adalah seorang guru besar. Banyak wawasan baru yang didapatkan dari menyimak kuliah umum itu. Di antaranya adalah mengenai

Kamis Kedua Terakhir (Bagian Pertama)

  Saat duduk di teras depan rumahnya, Apa Cantoi mengenang hari lebaran yang telah lewat beberapa hari lalu. Dia ingin sekali kembali pada hari-hari yang

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.