Perempuan: Antara Tegak dan Hancurnya Peradaban

Ada sebuah pernyataan; Perempuan adalah tiang penyangga peradaban, jika mereka tegak (baik) maka tegaklah sebuah peradaban. Sebaliknya jika perempuan roboh (buruk) maka rusaklah sebuah peradaban.

Semenjak kecil saya sudah sering mendengar pernyataan ini, hanya saja saat itu belum saya pertanyakan. Mungkin inilah saatnya mempertanyakan.

Peradaban itu ditopang oleh keluhuran budi manusia. Perempuan dan laki-laki adalah manusia, sama-sama manusia. Pernyataan ini mungkin terdengar sepele, padahal sama sekali tidak. Buktinya masih ada sementara laki-laki yang menganggap perempuan bukan sebagai manusia seperti dirinya melainkan sebagai barang yang dia miliki. Walau tidak diakui secara lisan, silahkan cek alam bawah sadar, pertanyakan, “Apa yang dikehendaki seseorang dari keinginannya?”

Pernyataan “Jika perempuan baik maka tegaklah peradaban” berimplikasi kepada sikap ingin untuk memperbaiki perempuan. Karena jika mereka sudah baik maka yang lain juga pasti akan baik. Keinginan untuk memperbaiki –pada dirinya sendiri adalah baik dan benar. Tidak ada yang salah disitu. Yang jadi masalah ketika keinginan itu dihadapkan ke orang lain dan melupakan perbaikan diri sendiri. Ingin perempuan baik, menjaga marwah, dan seterusnya. Mungkin, perempuan sudah baik, tapi laki-lakilah yang merusaknya? Bagaimana itu?

Implikasi dari keinginan untuk memperbaiki perempuan, tak jarang karena ketiadaan kesadaran terhadap diri sendiri, membawa seseorang bertindak dengan cara-cara yang tidak terpuji. Dengan alasan memperbaiki, ada sebagian orang yang kemudian berkata kasar, merendahkan bahkan menghina seseorang yang menurut dia perlu diperbaiki. Apa begitu caranya? Nah, yang lucu –ketika orang yang menurut mereka perlu diperbaiki itu marah maka akan dicap sebagai orang yang tidak mau mendengarkan nasehat, atau pembangkang. Yang jadi pertanyaan, kalau seandainya posisinya dibalik –maksudnya yang memberi nasehat atau peringatan itu berada di posisi orang yang diberikan nasehat atau peringatan, apakah dia tidak akan marah? Belum tentu, bisa jadi lebih parah. ureung yang peugah tatem bantah padahai gobnyan geuhalang gata bek sabee lam dosa (orang yang “menasihati/mengingatkan” anda bantah, padahal mereka itu bertujuan agar anda tidak terus-menerus berada dalam dosa).

Saya gunakan kata menasehati atau mengingatkan dalam tanda petik untuk menunjukkan bahwa kadangkala itu bukan nasehat melainkan merendahkan atau menyerang pribadi. Jika itu benar nasehat, tentu dalam bentuk yang bijak –mana ada manusia yang tidak akan menerimanya. Atau bisa jadi, nasihatnya benar nasehat, maksudnya bijak, akan tetapi yang memberikan nasehat itu tidak jauh beda dengan yang dinasehati. Ya kalau demikian mana mungkin didengar. Ataupun juga, ini yang lebih penting, antara yang menasehati dengan yang dinasehati itu belum memiliki hubungan emosional dan komunikasi yang baik.

Kedekatan secara emosional, komunikasi yang baik adalah syarat utama dalam proses memberi nasehat. Kita manusia. Jujur saja, kalau seandainya ada seseorang yang tidak kita kenal, tiba-tiba menasehati atau mengingatkan kita, apa yang terjadi? Tentu kita merasa aneh, dan bukannya fokus ke isi nasehat, tapi kita akan bertanya-tanya “siapa dia ini?”. Ya, mungkin lebih tepatnya, saya saja yang merasa demikian, orang lain saya tidak tahu. Di sinilah sebenarnya aktualisasi dari kalimat dalam Alquran yang artinya “jagalah dirimu dan ahli keluargamu dari api neraka”. Diri kita terlebih dahulu, kemudian baru keluarga. Keluarga secara fisik adalah yang memiliki hubungan darah, sedangkan secara hakikat keluarga adalah hubungan kasih sayang. Tapi sekali lagi, dan inilah yang lucu –seringnya ketika membaca Alquran, kita bukan menjadikan Alquran sebagai pengingat diri melainkan pengingat orang lain –seperti ketika membaca ayat tentang orang-orang yang munafik, fasik dan sebagainya, yang terlintas di pikiran kita adalah “munafik itu seperti si A, fasik itu seperti si B”. Sekali lagi, mungkin ini saya saja yang merasa demikian, beda halnya dengan para pembaca.

Saya juga pernah berada di posisi di mana saya melihat dengan sinis jika ada perempuan yang bersikap dan berkelakuan yang berbeda dengan konsep akhlak perempuan ideal yang ada dalam pikiran saya. Kini, saya mempertanyakan itu semua. Terima kasih kepada seorang teman yang dalam keheningan saat itu dia berkata “hei bro, kita ini pendosa, hanya saja kita memilih jalan yang berbeda”. Pernyataan tersebut tidak dimaksudkan untuk membenarkan perbuatan yang tidak benar, melainkan –jangan pernah merasa suci.

Manusia itu suka menuntut. Menuntut orang lain untuk sesuai keinginannya. Laki-laki menuntut perempuan untuk sesuai keinginannya. Sebaliknya perempuan menuntut laki-laki untuk sesuai keinginannya. Orang tua menuntut anak-anak mereka untuk sesuai keinginannya, anak-anak menuntut orang tua untuk menjadi sesuai keinginannya. Kalau terus seperti ini maka tak akan pernah selesai. Maka, tuntutlah diri sendiri.

Terakhir, mohon maaf, tulisan ini memang terasa sedikit “ngawur”, tapi yang ingin saya katakan; perempuan itu adalah ibu kita. Muliakanlah.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya