Saya tidak pesimis dengan wacana pemikiran Islam, yang menurut seorang senior sekaligus guru menulis saya: semakin hari semakin meredup. Namun, saya melihat adanya borgol besar di kaki teman-teman, yang setidaknya pernah saya ajak diskusi. Borgol itu berupa pertanyaan, “Bagaimana saya bisa berpikir mendalam jika pembayaran uang SPP terus menerus menghantui saya setiap malam”.
Tidak saya pungkiri bahwa memang ada sebagian orang yang bernasib baik, berasal dari keluarga yang mapan secara finansial. Saya juga tidak memungkiri bahwa ada beberapa orang yang punya software cenderung kepada spiritualitas. Orang-orang seperti ini memang tidak terlalu sibuk apalagi terpesona dengan keduniawian. Mereka menjalani kehidupan yang bisa dirangkum dalam kalimat bahasa Aceh, “Menyoe na pajoh, menyoe hana piyoh” (Jika ada maka ambil, jika tidak ada maka jangan menuntut harus ada).
Tapi, secara umum, manusia itu berangkat atau beranjak dari harus terpenuhi dulu kebutuhan-kebutuhan dasar seperti contoh di atas. Karena saya seorang mahasiswa, maka saya hanya menangkap fenomena-fenomena pada mahasiswa. Saya melihat, sebagian mereka hanya belajar serius di saat berada di kelas, maksudnya saat ada jam perkuliahan. Di luar itu, mereka bekerja dengan berbagai jenisnya. Cerita duduk diskusi, apalagi berjam-jam, sama sekali tidak terbayangkan bagi mereka.
Saya tidak mengatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa itu sama sekali tidak punya ketertarikan terhadap wacana pemikiran. Mungkin ada, dan itu sangat mungkin. Namun demikianlah fenomena yang saya tangkap (waktu harus diutamakan untuk bekerja).
Melihat kenyataan seperti itu, saya dan beberapa teman mencoba mencari jalan keluar untuk melepaskan borgol tersebut; dengan itu diharapkan wacana pemikiran Islam dapat terus berkembang khususnya di kalangan generasi milenial, khususnya lagi di kalangan mahasiswa di Aceh.
Berbicara progresivitas pemikiran, saya membayangkan penarik dan yang ditarik. Penarik tentu sudah siap untuk menarik, namun apakah yang ditarik sudah siap untuk ditarik? Saya melihat, wacana pemikiran Islam terlalu fokus kepada penarik, menyiapkan penarik sesiap-siapnya dan “lupa” untuk menyiapkan yang ditarik. Sehingga ketika proses menarik dilakukan oleh penarik yang terjadi adalah si penarik “diseruduk” oleh yang ditarik. Tak lain sebabnya adalah karena yang ditarik belum siap untuk ditarik.
Nah, dari bayangan di atas, saya berkeinginan untuk bagian penarik harus disiapkan dengan berbagai alatnya. Demikian juga dengan yang ditarik, juga harus dipersiapkan dengan berbagai alatnya. Jika pada bagian penarik alatnya adalah sekumpulan idea of progress, maka di bagian yang ditarik itu alatnya, antara lain adalah kreativitas untuk menunjang finansial. Karena ide progresif itu bukan pada tempatnya jika diletakkan pada orang yang masih “lapar”.
Mengenai “diseruduk” tadi saya kira memang sudah sangat sering dialami oleh para penarik, siapa pun itu. Karena yang ditarik belum siap untuk ditarik. Saya dan teman-teman di sini, berjuang untuk menyiapkan yang ingin ditarik ini. Sehingga bisa tergambar bahwa saat penarik nantinya menarik, maka yang ditarik walaupun masih menggeliat namun intensitas perlawanannya tidak lagi sampai sekeras yang lalu. Dan dalam prosesnya, kita berharap agar yang ditarik akan siap untuk ditarik. Sehingga terciptalah harmoni antara penarik dengan yang ditarik.