Eza, gadis remaja yang kini berbaring di kamar kosnya sambil melirik jam dinding, memperhatikan dengan saksama putaran jarum jam yang bergerak begitu lamban tapi tak jarang juga terasa cepat saat konsentrasi tak berfokus padanya.
Tuk….tuk… tuk… “Assalamualaikum,” suara Melya sahabatnya mengalihkan perhatian Eza.
“Waalaikumsalam,” secepatnya dia bangkit dan membukakan pintu untuk sahabatnya itu.
“Za, ke majelis taklim yuk.”
“Di mana?”
“Di masjid dekat kampus tu. Kan nggak jauh dari kos kita.”
“Oe, iya -iya. Aku siap-siap dulu!”
“Kawan-kawan kita juga banyak yang ikut. Aku tunggu di depan ya!”
“Iya. Sip.”
Setelah selesai siap-siap, Eza pun keluar sambil mengunci pintu kamar. Dia melihat Melya sudah ready di motornya.
“Berangkat kita,” serunya.
“Gasssss.”
Setibanya di masjid, Eza dan Melya duduk berdekatan. Pengajian mungkin sudah berjalan setengah jam. Eza kini mengeluarkan sebuah pulpen dan buku tulis. Seperti biasa, dia menerapkan formula ikatlah ilmu dengan menuliskannya.
Perhatian Eza kini penuh kepada penjelasan dari teungku, dia mendengarkan dengan saksama setiap kata yang diucapkan namun pulpen di tangannya masih belum menorehkan satu huruf pun di buku catatan itu.
Teungku itu kini bercerita tentang malaikat. Makhluk yang konon diciptakan dari cahaya.
“Dalam tataran hieraki malaikat, Jibril merupakan malaikat tertinggi. Ada juga yang mengatakan bahwa malaikat yang tertinggi adalah Israfil. Ada pula yang berpandangan lain yakni malaikat Mikail lah yang lebih tinggi.”
Malaikat Izrail itu digambarkan memiliki bentuk yang begitu besar. Kalau seandainya seluruh air yang ada di dunia ini dituangkan ke atas nya, maka tidak akan basah seluruh tubuh malaikat itu.
Tak lama setelah itu, sesi tanya jawab dimulai, seorang jamaah bertanya.
“Keuneuk teumanyoeng lon teungku. Wate takheun ‘amin’ dalam sembahyang, toh yang panyang, ‘a’ atawa ‘min’ ?” (Izin bertanya ustadz. Saat mengucapkan ‘amin’ dalam shalat, lebih panjang mana, ucapan ‘a’ atau ‘min’)
Ingin rasanya tertawa, tapi karena khawatir merusak suasana akhirnya Eza memilih diam saja. Tangannya terus menggoyang-goyangkan pulpen seakan-akan dia ingin sekali menorehkan huruf-huruf kecil di sana. Tapi apa yang mau ditorehkan, bisik hatinya.
Eza kini menatap kertas kosong di depannya. Dia selanjutnya berdialog dengan batinnya sendiri.
“Duh, ini tadi membahas malaikat. Malaikat mana yang paling dekat dengan Tuhan, malaikat mana yang paling tinggi kedudukannya, malaikat mana yang paling besar bentuknya. Aduh, persoalannya kalau aku mengetahui itu apakah itu bisa membuat aku lebih berbahagia? Atau bisa membuat hatiku lebih tenang dan lebih bisa berbaik sangka? Tidak juga. Kalaulah seandainya aku tidak tau tentang itu apakah itu akan membuatku menderita? Atau membuatku kecewa?, Tidak juga. Lantas, apa yang harus aku tuliskan?
“Tadi ada yang bertanya tentang lebih panjang mana antara ‘a’ atau ‘min’ ketika mengucapkan “amin” setelah bacaan Al-Fatihah. Tapi kan bacaan ‘amin’ setelah Al Fatihah itu hukumnya sunah, mau dibaca kek, mau nggak kek. Kan enggak jadi masalah. Lantas di mana persoalannya?
“Aduh, aku tak tahu mau menuliskan apa. Toh sesuatu yang sangat utama dan penting untuk diketahui tidak terlalu banyak dibahas. Seperti ‘apakah manusia itu?’, ‘Bukankah kita manusia?’. Bukankah kita lebih penting untuk mengetahui ‘apa itu manusia?’, ‘Bagaimana menjadi manusia?’ Karena kita manusia. Ketimbang membahas malaikat-malaikat yang dalam kehidupan kita sehari-hari tidak memiliki signifikansi apa-apa.”
“Za!”, suara Melya membuyarkan lamunan Eza. Rupanya Melya sedari tadi sudah turun dari masjid. Eza melihat ke sekelilingnya, ternyata para jamaah sudah bersiap-siap untuk pulang. Pengajiannya sudah selesai.
“Ayo pulang kita,” seru Melya.
“Iya, iya. Sebentar.”
Sesudah memasukkan pulpel dan buku yang kosong itu ke dalam tas. Eza kini bergegas langsung pulang bersama temannya.
“Berangkat kita?”
“Gasss.”
Ilustrasi: shuttertock.com