Tulisan ini murni opiniku tentang Covid. Tak ada penelitian mendalam atau pun metodologi ilmiah yang aku gunakan. Satu-satunya basis tulisan ini hanyalah pengalaman sehari-hariku dalam menjalani kehidupan selama pandemi.
Bagi siapa pun yang selalu memuja data-data ilmiah dan menolak pendekatan subjektif dipersilakan untuk tidak melanjutkan membaca.
Maret 2020, kampusku resmi di-online-kan karena dampak penyebaran Covid-19 yang semakin meluas di Indonesia. Aku yang berstatus mahasiswa mesti pulang dari perantauan untuk kemudian menjalani hari-hari membosankan mendengarkan kuliah via Zoom sepanjang tahun.
Awalnya, aku ketakutan sekali dengan virus Covid ini. Berita-berita yang tersebar di media begitu masif menyebarkan informasi tentang eksisnya makhluk halus modern bernama virus Covid-19. Suatu virus yang dapat menyebar dengan sangat cepat. Satu sentuhan saja, virus akan langsung hinggap di tubuhmu.
Bayangkan jika satu orang yang terinfeksi menyentuh 2 orang, lalu 2 orang tersebut menyentuh masing-masing 2 orang lagi dan seterusnya. Bayangkan betapa cepat kemungkinan virus itu dapat menyebar.
Covid memiliki gejala yang sangat banyak. Dampaknya juga sangat banyak. Dan dalam kemungkinan terburuk, seseorang bisa mati karena Covid. Aku yang saat itu masih berada di Jakarta tiba-tiba menjadi sangat khawatir dan cemas. Banyak mahasiswa yang merasa dilema antara ingin pulang dan tidak, termasuk aku. Kalau pulang, ada kemungkinan menularkan pada orang tersayang di kampung, tapi kalau tidak pulang, masa aku mesti mati di perantauan? Kan gak lucu!
Tapi akhirnya aku pulang juga. Begitu sampai di rumah, orangtua yang hendak memelukku langsung aku tolak, ‘eitsss.. kelak dulu, ambo nak mandi dulu, yo!’ Sebegitu ketatnya aku mematuhi protokol kesehatan saat itu.
Jelang beberapa hari di rumah, aku mulai merasa tak enak badan. Kepala pusing, hidung tersumbat, dan kadang-kadang sesak nafas melihat update jumlah pasien Covid. Aku panik karena itu mirip-mirip sama gejala Covid. Langsung saja aku membatasi pergerakanku di rumah. Aku sangat khawatir kalau aku positif, maka satu rumah juga akan tertular. Tapi, setelah kubiarkan selama beberapa hari akhirnya sembuh sendiri. Setelah satu bulan berlalu, tampaknya kami sekeluarga baik-baik saja. Alhamdulillah.
Saat memasuki bulan puasa, perdebatan pun mulai heboh. Banyak Muslim di daerah-daerah atau pun di kota-kota yang menolak untuk salat tarawih di rumah. Termasuk di kampungku. Keluargaku termasuk yang menerapkan salat tarawih di rumah. Tentunya itu berkat penjelasan yang kusampaikan pada kedua orangtua. Beda dengan pak imam di kampung kami. Dia teguh pada pendiriannya,
“Pokoknya, ajal di tangan Tuhan! mati sekali pun tak apa! aku akan tetap salat di masjid” katanya dengan gagah berani.
Peraturan mulai ketat, warga dilarang bikin acara kumpul-kumpul. Jika tetap nekat, polisi akan menindak tegas. Walhasil, berbulan-bulan lamanya tak terdengar bunyi musik organ tunggal di kampung kami. Orang-orang juga mulai menjaga jarak dan mengenakan masker di luar rumah. Jokes-jokes seputar tertular Covid terdengar diulang ribuan kali sampai membuat telinga bosan mendengarnya. Batuk dikit ‘ee kamu kena Covid, yaa, hahaha’, bersin dikit ‘haa dia kena Covid tuh, wkwk’. Jokes itu terus diekpoitasi dan diulang-ulang terus sampai tak ada lagi nilai-nilai kelucuan di dalamnya.
Pasien pertama di daerahku pun diumumkan. Orang-orang mulai meningkatkan kewaspadaan lagi. Meski pak imam tak percaya Corona, Masjid di kampungku tetap menjalankan protokol kesehatan. Orang-orang salat dengan saf jarang-jarang.
Pasien di daerahku terus bertambah, juga pasien skala nasional. Aku dengan antusias terus mengupdate perkembangan jumlah pasien Covid di grup WhatsApp keluarga setiap hari. Sampai pada batas di mana aku bosan dan tak lagi peduli jumlah pasien Covid berapa. Apalagi melihat tak ada satupun orang yang kukenal yang kena Covid.
Lucunya lagi, orang-orang di kabupatenku mendapatkan info kalau di kabupaten sebelah sudah zona merah, tapi ketika orang kabupaten sebelah ditanyai, mereka justru menyangka kabupaten kami yang lebih parah.
Yang menarik bagiku adalah ketika aku jalan-jalan ke pasar. Orang-orang tetap seramai biasanya. Bahkan banyak di antaranya tak memakai masker. Aku mulai berpikir ‘apa mereka tak takut sama Corona, ya?’ ‘Kok ada orang keras kepala gini, ya?’
Orang-orang kampungku juga tak kalah nekatnya, begitu pengawasan longgar, dangdutan mulai lagi terdengar. Hajatan-hajatan yang tertunda mulai jalan lagi. Orang-orang mulai nongkrong lagi. Obrolan seputar Covid tak lagi seheboh awal-awal dulu. Kini, orang mulai banyak mengeluhkan soal ekonomi yang makin sulit. Anehnya, aku melihat ada perbedaan yang sangat mencolok. Di Jakarta, meski penerapan PSBB lebih ketat, tapi jumlah pasiennya justru banyak. Di kampungku ini, orang-orang dengan riang gembira joget-joget, ngumpul-ngumpul tapi kok tak ada yang kena Covid, ya? Aku husnuzan saja, mungkin orang kampung daya tahan tubuhnya lebih kuat karena memang hidupnya sudah ditempa dalam penderitaan.
Kalau mau digambarkan kehidupan kami di kampung sekarang, ya, biasa saja. Persis seperti sebelum ada Covid. Normal saja. Yang mau ke sawah, ya ke sawah. Yang mau ke kebun, ya ke kebun. Yang mau kawin, ya kawin. Alhamdulillah, hidup kami aman sentosa. Tak lagi mengkhawatirkan Covid. Kami justru lebih takut lapar karena tak makan. Apalagi sekarang zaman serba sulit.
Aku tak tahu keadaan di tempat lain. Tapi sejauh pengamatanku yang bukan ahli ini, semua ini terlihat ganjil dan aneh. Bukannya tak bersyukur, tapi aku sering kagum sama orang kampungku ‘bisa-bisanya joget-joget di organ tunggal tapi tak kena Covid! Bisa-bisanya ke pasar tapi tak kena Covid! Bisa-bisanya kumpul-kumpul tapi tak kena Covid! Kuat benar antibodinya! Atau memang Covid yang tak semenyeramkan itu?
Hal yang menjengkelkan bagiku adalah kenapa sekolah mesti dionlinekan? Padahal jika memang ingin menerapkan PSBB justru pasti akan lebih mudah mengaturnya di sekolah. Sekolah itu kan tempat mendidik manusia. Kalau masalah jaga jarak mah, jujur-jujuran saja, siapa sih yang bisa memastikan pergerakan manusia yang segini banyak? Aku tak yakin orang-orang sempat mengukur berapa jaraknya dengan orang lain yang papasan di jalan. Memang, di beberapa fasilitas umum ada batas-batas yang dibuat, tapi bumi ini luas cuy… di kereta api bolehlah orang duduk jarang-jarang, tapi di luar kereta api siapa yang bisa ngatur?
Kadang-kadangaku suka mikir, kira-kira anak SD yang baru masuk tahun ini belajarnya gimana, ya? Apa mereka dapat materi yang efektif di masa awal pendidikan mereka? Apa mereka sudah bisa baca? Sudah bisa displin bangun pagi-pagi, belum? Soalnya, di kampungku, karena sekolah diliburkan, anak-anak yang biasanya pagi-pagi di sekolah, sekarang justru berkeliaran ke sana kemari, manjat sana-manjat sini, gak karu-karuan.
Anak kuliahan justru lebih malang lagi. Mereka rutin setoran UKT hanya untuk mendapatkan fasilitas kuliah dari Zoom yang tak ada bedanya dengan nonton YouTube.
Apa sih yang diharapkan dengan meng-onlinekan sekolah? Biar karantina?? Biar jaga jarak? Duhduh…
Maka, kalau para ahli di TV atau pun di media bicaranya selalu soal data-data dan angka-angka, di sini aku hanya ingin bicara dari pengalaman subjektifku selama Covid ini. Jangan-jangan ini hanya persoalan beriman dan tidak beriman. Dan kalau disuruh memilih, aku akan memilih tidak beriman terhadap Covid ini. Kalau pun memang ada, aku yakin Covid tak semenyeramkan itu. Aku jadi malu sama pak imam masjid karena dulu bulan puasa aku tak seyakin dia untuk tetap salat tarawih berjamaah di masjid. Toh sekarang dia dan jamaah-jamaah setianya masih sehat-sehat.
Ilustrasi: Covid-19.go.id