Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar! Suara takbir pagi lebaran menggema di penjuru kampung Duku. Anak-anak berlarian menuju masjid dengan pakaian baru yang agak kebesaran, biasanya ibu-ibu di kampung sengaja membelikan baju yang lebih besar dari ukuran anaknya agar bisa dipakai hingga beberapa tahun ke depan.
Tak mau kalah, para remaja juga mengenakan pakaian baru yang lagi nge-trend, beberapa dari mereka tak sengaja membeli baju yang persis sama. Para orangtua berbusana putih-putih, melambangkan bahwa dosa segunung yang telah mereka perbuat selama setahun lalu, telah diampuni begitu saja melalui momen Idul Fitri ini. Semua bergembira menyambut hari raya.
Kegembiraan hari raya itu dirasakan oleh semua orang. Sebagian orang bahagia karena akhirnya bisa mudik lebaran dan berjumpa sanak saudara. Sebagian lagi berbahagia karena akhirnya berhasil melalui bulan Ramadan dengan predikat full tanpa batal puasa sehari pun. Itupun jika puasa dinilai sebagai kegiatan menahan makan dan minum dari pagi sampai petang saja, karena bergunjing dan membicarakan aib orang lain merupakan kenikmatan yang melebihi apa pun sehingga takkan mampu dihalangi bahkan dengan kehadiran bulan Ramadan sekali pun. Adapun sebagian besar yang lain sangat berbahagia karena akhirnya mereka tak harus sembunyi-sembunyi lagi menikmati semangkuk Indomie rasa ayam bawang kesukaan semua kalangan itu.
Pokoknya, Idul Fitri adalah momen paling membahagiakan yang dirasakan semua muslim.
Kiai Mamat sedang berdiri di depan cermin sembari mengancingkan jubahnya. Ia menatap wajahnya yang telah berkeriput itu dengan sorotan mata sayu. Beberapa hari yang lalu, ia mendengar desas-desus dari tetangga bahwa masyarakat telah banyak mengusulkan agar ia mundur dari jabatannya sebagai imam masjid di kampung.
Mendengar itu hatinya hancur. Dia mulai menerka-nerka apa gerangan sehingga masyarakat hendak menggulingkannya dari tahkta kehormatannya itu. Lama ia merenung, namun tak kunjung mendapat jawaban. Berita itu semakin menguat kemarin. Sehari sebelum Idul Fitri. Ketika panitia penerimaan zakat tak lagi menghubunginya sebelum membagi-bagikan uang zakat kepada para penerimanya.
Di sisi lain kampung Duku, Ujang sedari pagi telah bersiap-siap menyambut hari kemenangannya itu. Bibirnya yang telah menghitam akibat nikotin rokok itu tak henti-hentinya mengumbar senyum ramah kepada siapa pun yang lewat. Ujang memang digadang-gadang sebagai calon kuat pengganti kiai Mamat sebagai imam. Bahkan usulan untuk mengganti Imam kampung itu pun adalah usulan Ujang dan para pendukungnya. Ini adalah usaha yang telah bertahun-tahun diperjuangkan oleh Ujang. Wajar saja ia gembira, akhirnya ia mendapat dukungan besar dari masyarakat.
Jalan dipenuhi oleh warga kampung yang berjalan kaki menuju masjid, suara tawa bahagia mereka hampir sama kuatnya dengan Toa masjid yang menyerukan takbir, aroma pakaian baru dan semur ayam bercampur aduk. Hari itu adalah Jumat yang begitu cerah dan indah. Shalat Id memang unik, meskipun ia hanyalah shalat sunnah, dia punya kekuatan tersendiri yang mampu membuat semua orang pergi ke masjid dengan sukarela. Bahkan Sholat wajib lima waktu pun tak mempunyai kekuatan sedahsyat itu.
Kiai Mamat juga berada di tengah kerumunan itu. Namun bedanya, sang kiai memasang tampang yang tidak mengenakkan. Hatinya gelisah, ia sama sekali tak mau mundur dari jabatannya itu. Padahal sudah belasan tahun ia menjabatnya. Tampaknya dia ingin membawa jabatan itu hingga akhir hayatnya.
Lain halnya dengan Ujang, dia tak bisa menahan kegembiraannya yang berlipat-lipat itu. sudah sejak lama ia menyimpan rasa benci terhadap kiai Mamat, padahal mereka adalah teman seperjuangan di pondok pesantren dulu. Ini adalah momen baginya untuk merebut jabatan imam itu. Dia merasa bahwa sebenarnya yang lebih pantas menjadi imam adalah dirinya, bukan si Mamat. Selama belasan tahun, ia hanya bisa menahan sakit hatinya setiap kali berdiri di belakang kiai Mamat sebagai makmum. Ia hanya mendapat kesempatan menjadi imam cadangan, itu pun kalau kiyai Mamat bangun subuh kesiangan.
Sakit hatinya semakin menjadi-jadi setelah orang memanggil Mamat dengan sebutan Kiai. Sedangkan dirinya hanya dipanggil ustadz. Padahal tahun lalu ia sudah melaksanakan haji. Dia berharap setelah pulang dari haji orang-orang akan memanggilnya dengan sebutan kiai. Rupanya tidak. Doanya di depan Kakbah ternyata tidak diijabah oleh Tuhan.
Kiai Mamat dan Ujang adalah dua karakter yang bertolak belakang. Kiai Mamat adalah orang yang tak terlalu banyak bicara, suaranya juga tak terlalu merdu, mirip-mirip erangan kambing beranak. Namun dia lulusan pondok pesantren. Sedangkan Ujang adalah karakter yang lebih aktif, dia mempunyai kemampuan ceramah layaknya ustadz-ustadz kondang di televisi, suaranya merdu, dan yang terpenting juga dia lulusan pesantren. Itulah yang membuat Ujang tak terima “Bisa-bisanya warga memilih Mamat menjadi imam, padahal di pesantren dulu kerjaannya cuma tidur!” katanya pada istrinya yang ke seribu kalinya.
Ujang datang lebih duluan daripada kiai Mamat. Ini sebenarnya adalah skenario para pendukung Ujang agar tempat pengimaman bisa langsung ditempati oleh Ujang. Setelah selesai shalat mereka juga telah merencanakan untuk mengadakan rapat penggantian Imam. Hal itu mereka rencanakan tanpa sepengetahuan kiai Mamat. “Silakan pak ustadz! Duduk di depan!” kata salah satu jemaah pada Ujang sesuai skenario. Kebahagiaan memenuhi hatinya, ia merasa Tuhan akhirnya menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya, bahwa dirinya lah yang lebih pantas untuk menjadi imam. Tahkta kehormatan itu akhirnya akan ia miliki. Dirinya juga akan segera dipanggil kiai. “Oh bahagianya aku hari ini,” ungkapnya dalam hati.
Belum sampai Ujang di pengimaman, tiba-tiba dari belakang dengan jalan membungkuk kiai mamat berteriak “Hei! Apa-apaan ini! Mau apa kamu?” ucap sang kiai dengan wajah merah padam. Sorot mata semua jamaah tertuju ke arah pintu masuk. Tak biasanya kiai mengeluarkan suara lantang dan sejelas itu. Tak mirip erangan kambing beranak lagi. Lebih mirip pimpinan upacara hari kemerdekaan.
Kata-katanya itu jelas tertuju pada Ujang yang selangkah lagi menginjak sajadah di pengimaman. Ujang berbalik menghadap ke arah jamaah, lalu mengeluarkan senyum khasnya kemudian berkata “Oh iya, saya mohon maaf kepada pak kiai dan jemaah sekalian karena lupa memberi tahu kalau sekarang yang bertugas menjadi imam adalah saya. Itu pun sudah keputusan dari panitia sekalian, tapi kalau pak kiai tetap mau menjadi imam hari ini ya silakan..” Kata-kata itu membuat pak kiai terbenam, dia seolah berada di posisi yang salah. Raut wajahnya makin tak karuan, akhirnya ia terpaksa mengikuti skenario yang telah dibuat Ujang dan rekan-rekan. “Ya sudah lanjut” kata pak kiai pelan menahan malu akibat perbuatannya beberapa saat lalu.
Shalat Id pun berlangsung di bawah komando imam baru, ustadz Ujang. Sebelum memulai shalat, Ujang berbalik arah ke jamaah, dia melontarkan sedikit senyuman licik ke arah pak kiai menandakan kemenangannya. “Luruskan saf!”
Suara merdu yang dilantunkan Ujang ketika menjadi imam shalat telah menyihir suasana menjadi khusyuk. Semua jamaah larut dalam penghayatan. Kecuali dua orang. Di pengimaman Ujang tertawa di dalam hati. “Rasakan kau Mat, eramu sudah berakhir”. Persis di belakangnya, berdiri kiai Mamat yang makin tersudut posisinya “Ujang sialan, beraninya dia mempermalukanku seperti ini”.
Shalat Id telah usai, dosa-dosa semua orang di kampung Duku telah diampuni, mereka kembali suci layaknya seperti bayi yang belum berdosa. Tugas mereka selanjutnya adalah kembali menumpuk dosa hingga tahun depan.
Dua orang paling Alim dan sholeh di kampung Duku, rupanya adalah dua orang yang pertama kali menumpuk dosa pertama setelah disucikan tadi.
Seusai shalat, entah lupa atau tidak melihat, mereka tak saling bersalaman dan bermaafan. Justru mereka saling menjauh. Ujang berbangga diri usai sukses memimpin jalannya ritual tadi. Sedangkan Mamat menjadi bertambah kebenciannya pada rekan lamanya itu. Perbuatan dosa selanjutnya disusul oleh warga yang mulai membicarakan kiai Mamat yang tadi berteriak di masjid.
Setelah shalat Id, panitia mengadakan rapat untuk mengesahkan Ujang sebagai imam baru, rupanya kiai Mamat tak ada. Dia terburu-buru pulang karena sudah tak tahan melihat tingkah Ujang yang makin lupa daratan. Sang kiai baru mendengar berita itu dari istrinya yang baru saja pulang. Kemarahannya menjadi memuncak, dia mengumpulkan semua kerabat dan jemaah setianya, lalu membuat perkumpulan di rumahnya. “Tak bisa tidak! Kita harus membangun masjid baru! Ujang yang tak tahu diri itu sudah seenaknya mengambil jabatanku” amukan kiai sudah tak dapat diredam lagi. “Sudah lama dia rupanya mengincar posisiku! Kurang ajar!” Hadirin hanya terdiam. “Andai orang-orang bodoh itu tahu kelakuan Ujang di pesantren dulu, aku yakin mereka tidak akan mau menjadi makmumnya!” lanjutnya bertubi-tubi.
Siangnya, shalat Jumat diadakan di dua tempat. Ujang dan pengikutnya, shalat di masjid. Sedangkan kiai Mamat dan pengikutnya sementara shalat di surau kecil yang berada di ujung kampung. Mereka masih mengumpulkan dana untuk membangun masjid baru. Begitulah seterusnya praktik ritual di kampung Duku yang terbelah menjadi dua golongan. Tak ada yang merasa bersalah. “Semoga Allah mengampuni kiyai Mamat dan pengikutnya,” kata salah satu jamaah Ujang. “Dasar Ujang, tampilannya saja ustadz, tapi hatinya busuk, tidak tau adab,” ucap para followers kiai Mamat pula.
Beberapa hari kemudian, Yusuf pulang dari pesantren di luar kota. Anak pak RT ini ternyata geram mendengar kelakuan dua ulama kampung itu. Dia yang baru saja lulus sebagai santri teladan di pondoknya itu, merasa tergerak hatinya untuk mendamaikan kedua orang alim itu. Ia pun mendatangi kiai Mamat dalam rangka untuk mengajak kiai Mamat memaafkan perbuatan Ujang, lalu ia juga mendatangi Ujang dengan maksud yang sama. Akan tetapi kedua alim itu sama-sama beralasan dan tidak mau juga dinasihati.
Yusuf merasa miris melihat kondisi di kampungnya yang demikian itu. “Janganlah kita bercerai berai, kita umat Muslim hendaknya bersatu!” ujarnya dalam kesempatan ceramahnya di arisan ibu-ibu. “Orang-orang yang mengajak pada permusuhan dan perpecahan adalah musuh kita bersama!” Ia mulai bernada tinggi. “Sudahlah, besok kita bangun masjid baru lagi!”
Ilustrasi: dreamstime.com