Musik Haram

Saya punya seorang teman yang sejak memutuskan hijrah, mulai suka posting-posting fatwa musik haram. Sebenarnya, saya agak jengkel dengan hal itu. Namun, jari-jari yang mulai panas ingin komen itu, saya tahan sekuat tenaga. Sebab, bagi saya perdebatan mengenai halal-haramnya musik sudah mesti dihentikan, apalagi di abad 21 ini.

Saya tak mempermasalahkan dalil-dalil yang ia pakai. Biarlah para ahlinya yang bicara itu. Di sini, saya ingin terangkan, hijrah tidak mesti segitunya juga. Harusnya, saringan akal tetap digunakan.

Ini persoalan sederhana sebetulnya. Orang-orang yang mengharamkan musik, beralasan kalau musik membuat manusia menjadi lalai. Tapi, agaknya ini sedikit berlebihan. Persoalannya adalah yang membuat manusia lalai tak hanya musik. Sibuk mem-posting status, berdebat di sosmed juga melalaikan manusia. Lagi pula, lalai itu tak semata-mata faktor luar, justru ia lebih banyak berasal dari dalam.

Ketika ramai diperbincangkan soal game PUBG haram, saya tertawa kesal. Soalnya, kita mulai memperdebatkan hal-hal sepele. MUI khawatir, pengaruh game perang-perangan itu dapat membuat orang ingin perang betulan.

“Yah, kalau gitu, haramkan aja semua game perang sekalian. Kenapa mesti PUBG?” Kata seorang teman yang jengkel.

Balik lagi, ini persoalan dari dalam diri manusia itu sendiri. Bukan karena musik ia lalai, juga bukan karena PUBG ia jadi teroris. Faktor paling berpengaruh adalah dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk lalai dari dalam dirinya. Masalah faktor eksternal memang ada, namun jika benteng dirinya kuat, itu tidak akan jadi persoalan. Lagipula, manusia mana yang bisa lepas dari keindahan? Memahami keindahan adalah bakat manusia sejak lahir.

Kita pasti sepakat kalau pancaindera hanya merespons apa yang ia tangkap, dengan kata lain ia adalah alat yang jujur. Saat berada di puncak gunung, dan mata kita melihat pemandangan, kita otomatis akan kagum. Mata menilai itu indah. Ketika makan ayam di KFC, kita akan bilang itu enak, karena lidah tidak pernah bohong. Begitu pula, saat mendengar alunan musik yang syahdu, ibarat tamu yang baik, ia masuk ke telinga dengan sopan santun. Segera, kita tahu kalau musik itu indah. Bahkan kaki kadang ikut bergoyang sedikit dan kepala mulai mengangguk-angguk. Menolak itu, artinya kita menolak fitrah kita.

Lalu musik yang mana yang membuat manusia lalai? Katakanlah musik keras, seperti rock dan metal. Atau musik dangdut koplo untuk mengiringi jogetan biduan. Musik-musik itu biasanya lekat dengan perbuatan-perbuatan maksiat (katanya). Kenapa itu jadi berkesan negatif? Jawabannya karena manusianya. Sebab manusialah yang punya urusan. Ia yang mabuk, ia yang berzina, ia yang enak-enak joget, lah malah musiknya yang jadi salah. Musik ya musik, ia tak berbuat salah apa pun. Manusia memang jagonya cari kambing hitam.

Perlu kita tahu juga, musik itu bunyi. Suara manusia itu juga bunyi. Artinya apa yang dikeluarkan dari suara manusia berupa nada-nada dan langgam juga adalah bagian dari musik.

Maka, qori-qoriah yang melantunkan ayat-ayat suci itu juga sesungguhnya sedang bermusik dengan pita suaranya (yang juga pemberian Tuhan).

Saya jadi sedikit merasa aneh, dengan teman saya itu, dalam beberapa status mengharamkan musik (bunyi-bunyian merdu), namun di lain kesempatan takjub dengan indahnya suara qari-qariah yang sedang baca Al-Qur’an (juga bunyi-bunyian merdu). Memang tak salah, tapi ada sedikit bolong di logikanya.

Kalau dikatakan musik itu menjauhkan manusia dari Allah. Saya rasa tidak juga. Malah, terkadang musik dan lagu-lagu berhasil menyentuh keindahan bahkan kebenaran yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Ia seperti menyentuh perasaan terdalam manusia. Dengan kata lain, spritualitas manusia. Maka, tak heran jika dalam beberapa aliran, musik digunakan untuk membangkitkan jiwa manusia agar mengenal kesejatiannya. Mengenal hakikat dirinya.

Jika sudah begini, benteng terakhir mereka adalah dengan berlindung di balik otoritas dalil. Raja terakhir. Mereka tinggal bilang ‘ini Sunnah Rasul’, ‘syariat Allah’. Dan masalah selesai.

Saya tak punya kapasitas untuk membantahnya dengan dalil-dalil agama. Namun, saya ingin tegaskan kalau dalil-dalil agama itu sesungguhnya mati, manusialah yang menghidupkannya. Lewat akalnya, manusia menafsirkan ayat-ayat dan hadits itu sehingga kemudian dapat menjawab persoalan.

Sudah jadi pengetahuan umum, kalau penafsiran bukanlah bagian dari ‘yang ditafsir’. Seumpama Tafsir Al-Qur’an (bahkan terjemahannya) bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ketika memasuki wilayah tafsir, ia tak lagi sakral. Apa sebabnya? Sebabnya tafsir adalah hasil ijtihad manusia. Ia merupakan produk akal manusia dalam memahami dalil-dalil suci itu.

Dan, sudah jadi pengetahuan umum juga, bahwa tak jarang satu tafsir bertentangan dengan tafsir lain. Apakah ini menjadi masalah? Selama mufassirnya adalah orang-orang yang betul-betul menguasai ilmu tafsir, maka perbedaan di antara mereka tak jadi masalah. Selama dapat dipertanggungjawabkan.

Saya curiga, fatwa musik haram sangat mungkin lahir dari penafsiran seseorang atau sekelompok orang yang berijtihad. Oleh karena itu, terbuka juga kemungkinan untuk penafsiran lain, termasuk yang menyatakan musik itu boleh-boleh saja alias musik halal. Dan karena ini semua hanyalah tafsiran-tafsiran, maka perbedaan tak perlu dipermasalahkan. Apalagi sampai menimbulkan kegaduhan.

Seumpama rokok yang sebagian ulama berkata haram, sedang yang lain berkata boleh. Keduanya punya tafsiran dan penalaran masing-masing. Umat, berdasarkan itu dapat memilih mana yang lebih cocok dengan dirinya. Tak perlu ada pertengkaran.

Begitu pula musik, mau menghalalkan atau mengharamkan, keduanya pilihan masing-masing manusia. Dan jika saya disuruh memilih, pastinya saya memilih musik halal, sebab agak repot juga menutup-nutup telinga setiap saat terdengar musik. Apalagi, kalau musiknya enak. Saya khawatir, meski telinga sudah ditutup, kepala masih saja mengangguk-angguk dan kaki bergoyang-goyang kecil.

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: favim.com

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya