Ada kalimat bijak, yang datang entah dari mana: “Kita harus mengetahui kapan mesti berhenti.” Muhammad Ali barangkali melewatkan kalimat itu ketika dengan percaya dirinya menantang Lary Holmes, dua tahun setelah mengalahkan Leon Spinks. Kemenangan atas Leon Spinks itu sekaligus menasbihkan dirinya sebagai satu-satunya petinju yang meraih tiga kali juara dunia.
Holmes saat itu, merupakan juara dunia kelas berat, sekaligus petinju yang belum terkalahkan. Pukulan, teknik, dan gerakan kakinya sangat cakap. Gayanya bertinjunya pun mirip Ali. Memang, dia merupakan sparring partner Ali dalam jangka waktu yang lama. Sampai kemudian Ali memintanya pergi untuk memulai karir sebagai petinju professional. Berkebalikan dengan Ali, saat menantang Holmes dia mulai ringkih karena penyakit Parkinson mulai menggelayut di tubuhnya. Tetapi, sebagaimana biasa, Ali tidak memedulikan suara yang meminta dia membatalkan niatnya melawan Holmes. Bagi Ali, suaranyalah yang harus didengar.
Dalam satu film dokumenter tentang dirinya, Ali berambisi untuk menjadi juara dunia keempat kalinya. Hal yang dirasa oleh Ali tidak bisa dikejar oleh petinju mana pun. Namun, Holmes bukanlah Foreman yang dikalahkan oleh Ali di Kinshasa Zaire dengan teknik rope-a-dope. Begitupula Ali, dia bukanlah petinju yang sama ketika masih bisa bangkit setelah kena pukulan Frazier di rahangnya pada perjumpaan kali pertama mereka di Madison Square Garden, New York. Situasi sudah berbeda. Akhirnya, sepanjang pertandingan, Ali menjadi samsak hidup. Holmes melakukan itu untuk menghormati sesama petarung. Ali babak belur. Angelo Dundee menghentikan pertandingan di jeda antar ronde. Itulah satu-satunya kekalahan Ali di luar hasil angka. Sepanjang karirnya, bahkan melawan Trevor Berbick sekalipun di tahun 1981 – yang merupakan pertandingan terakhirnya – Ali hanya kalah angka.
Setelah pertandingan usai, dunia bermuram durja. Majalah TIME menjadikan foto Ali lunglai di sudut ring sebagai sampulnya dengan judul, “The Greatest Is Gone.” Holmes, yang diwawancara setelah pertandingan, menangis. Sepertinya, dia menyesal karena telah menyiksa Ali begitu rupa.
Tidak lama setelah pertandingan, telepon Ali berbunyi, rupanya Cus ‘D’Amato hendak berbicara. Dia menyampaikan kalau petinju yang sedang dilatihnya ingin menyampaikan sesuatu kepada Ali. Dari ujung telepon, petinju berusia 14 tahun mengatakan, suatu hari dia akan membalaskan kekalahan Ali tersebut. Petinju itu bernama Mike Tyson.
Delapan tahun setelahnya, Tyson sudah menjadi juara dunia. Dia merupakan juara tinju kelas berat termuda dalam sejarah setelah mengalahkan Trevor Berbick hanya dalam dua ronde. Capaian yang tidak dilihat oleh Cus D’Amato yang sudah berpulang di tahun 1985, setahun sebelum Tyson menjadi juara dunia kelas berat.
Dengan cepat, Tyson melakukan unifikasi gelar juara dunia tinju. Sabuk WBC, IBF, dan WBA dimiliki sepenuhnya. Semua lawan dibuat tidak berdaya, bahkan kalah sebelum bertanding. Sampai-sampai ada quote klasik dari Tyson yang mengambarkan betapa ketakutan telah menyebar di kalangan petinju, “Everyone has a plan until they get punched in the mouth.”
Seperti Ali, Holmes juga melupakan kapan harus berhenti. Dia sudah tiga tahun tidak bertinju setelah mengalami dua kekalahan beruntun. Kekalahan yang membuatnya gagal melampaui rekor Rocky Marciano sebagai petinju kelas berat yang tidak terkalahkan. Holmes dikalahkan oleh Michael Spinks, petinju yang pernah meraih emas olimpiade di Montreal 1976. Dengan dua kekalahan itu, dia melangkah ke ring untuk melawan Tyson. Petinju yang akan dilawannya itu, setahun sebelumnya, telah memukul KO Michael Spinks hanya dalam waktu 91 detik.
Keputusan Holmes itu, untuk melawan Tyson, seperti hendak memberi lehernya untuk disembelih. Tyson melakukan itu. Tanpa ampun. Dia menunaikan apa yang pernah disampaikan kepada Ali delapan tahun sebelumnya.
Ali yang hadir pada pertandingan itu menambah drama pertarungan dengan membisikkan kalimat ringkas, “Remember what you said, get him for me.” Tyson mengangguk. Anggukan yang berarti kiamat bagi Holmes. Benar saja, selama empat ronde, Holmes tidak bisa berbuat banyak. Tyson bertanding dengan beringas. Perbedaan tinggi badan keduanya tidak membuat pukulan Tyson melemah, bahkan semakin kuat. Sampai pada satu titik, hook kanan Tyson mendarat telak di rahang Holmes. Holmes KO. Itulah satu-satunya kekalahan KO Holmes sepanjang karirnya. Bahkan ketika melawan Holyfield untuk merebut gelar juara dunia kelas berat, Holmes hanya kalah angka, padahal usianya saat itu sudah menginjak 43 tahun.
Tahu kapan harus berhenti merupakan cara yang tepat untuk melanjutkan hidup. Itulah yang dilakukan oleh Khabib Nurmagedov. Dia memutuskan pensiun dari Octagon UFC di usia 31 tahun. Pertandingan melawan Justin Gaethje di UFC 254 merupakan laga terakhirnya. Dia berhenti karena kehilangan alasan untuk melanjut karir sebagai fighter setelah ayahnya, Abdulmanap Nurmagedov, wafat di tengah wabah covid. Ketika didesak untuk membatalkan pensiunnya, dia mengatakan bahwa setiap petarung harus mempersiapkan hidupnya dengan baik setelah karirnya berakhir.
Khabib membuktikan hal itu. Setelah pensiun, dia menjadi mentor bagi para petarung dari tanah Dagestan. Satu persatu mereka muncul untuk mendominasi ring octagon. Salah satunya adalah Islam Makachev, yang disebut-sebut suksesor Khabib. Selain itu, Khabib juga menjadi promotor MMA dengan organisasi Eagle Fighting Championship. Khabib mengetahui kapan harus berhenti dan akan menjalani hidup seperti apa setelah karirnya usai.
Mungkin, dalam konteks politik, hal serupa juga dipikirkan oleh Irwan Djohan. Saya membacanya melalui komentar serius di postingan status Facebook saya sebelumnya, mengenai peluangnya menjadi Wali Kota Banda Aceh. Dia menulis, “…Jujur, saat ini saya sedang berpikir untuk pensiun dari dunia politik. 10 tahun sudah (sejak 2012) saya berpolitik. Dan sudah sekitar 7,5 tahun saya mencoba menjalankan amanah dari masyarakat di pentas politik. Saya meyakini dan mengakui. Selama ini saya belum bisa berbuat banyak untuk memenuhi harapan masyarakat.” Komentar demikian seperti pernyataan lugas dari sikap politiknya, apalagi ketika dia menambah, “Saya memutuskan untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024 mendatang, baik untuk DPRA, DPR RI atau pun DPRK.”
Seperti Khabib, dalam konteks yang berbeda, Irwan mengetahui kapan harus berhenti. Bagi seorang yang datang ke panggung politik bukan sebagai politisi, apa yang telah dicapainya selama sepuluh tahun merupakan hal yang mengagumkan. Sempat menjadi the rising star politisi di parlemen Aceh dengan postingan etiknya, kini Irwan memilih lebih santai. Postingan di akun Facebooknya yang dahulu tentang aktivitas politik, sekarang lebih banyak didominasi hal-hal ringan, seperti liburan dengan keluarga dan joke-joke ringan.
Pilihannya sudah tepat. Tidak ada lagi yang harus dibuktikan olehnya mengenai di lapangan politik. Segala yang dia lakukan selama sepuluh tahun itu akan menjadi legacy.
Namun, bukankah politik itu seni kemungkinan. Politik bukanlah kisah hitam-putih. Irwan seperti menitipkan pesan demikian ketika menutup komentarnya itu, “Seandainyapun masih ada tersisa sedikit hasrat untuk tetap berada di dunia politik, ya kemungkinannya memang hanya di Pilkada Walikota Banda Aceh 2024.” Bila itu terjadi, mungkin akan seperti kisah Napoleon yang merebut kembali Paris dari Pulau Elba.