Di zaman Orde Baru yang serba Suharto, kedaulatan rakyat dimanipulasi dengan cara diwakili oleh apa yang disebut sebagai “wakil rakyat.” Sampai-sampai, Iwan Fals jengkel. Lalu, dia menulis sebuah lagu mengenai wakil rakyat itu yang hanya bisa, sebagaimana liriknya, “…nyanyikan lagu setuju.”
Setelah Dekrit Presiden 1959, parlemen di Indonesia dikuasai oleh presiden. Orang-orang yang ditunjuk untuk duduk di tempat itu adalah mereka yang dianggap mengangguk manis atas segala titah presiden. Situasi ini berlanjut sampai Suharto menggantikan Sukarno.
Suharto sempat berdalih kalau di masa itu, jika setiap orang punya nyali, ada yang bertanya mengapa parlemen tidak ada suara? Apakah parlemen juga melempem seperti zaman Demokrasi Terpimpin? Dia akan menjawab bahwa masanya berbeda dengan era itu. “Di zaman saya,” kira-kira begitu kita membayangkan caranya menjawab, “Pemilu selalu dilaksanakan.”
Namun, permasalahan utamanya, bukan tentang Pemilu yang konsisten dilaksanakan seperti amanat konstitusi — Sukarno tidak melakukan itu setelah Pemilu 1955, melainkan tentang bagaimana kualitas pemilihan yang dilakukan.
Kala itu, hanya ada dua partai politik (setelah fusi dilakukan) dan satu golongan fungsional. Partai politik yang ada hanyalah sebagai syarat bahwa Pemilu dapat disebut demokratis. Padahal, Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun hanyalah upaya legitimasi satu golongan fungsional, yang bernama Golongan Karya, untuk menguasai parlemen, lalu memutuskan kehendak memilih eksekutif, yaitu Presiden.
Di zaman Orde Baru, parlemen berkuasa atas kedaulatan, keterwakilan, dan representasi politik rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Majelis ini merupakan gabungan dengan DPR yang isinya dari wakil-wakil partai politik dan Golongan Karya hasil Pemilu dan utusan golongan fungsional lainnya yang ditunjuk oleh presiden!
MPR di zaman itu, memiliki dua pekerjaan utama: menyusun GBHN dan memilih Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Mandat yang dimiliki MPR itu kemudian menjadi batu besar dalam pembangunan demokrasi Indonesia. Atas pengalaman sejarah itulah, reformasi 1998 merupakan antitesis dari konstruksi politik zaman Orde Baru, termasuk mekanisme pemilihan presiden.
Pemilihan presiden melalui MPR dianggap mereduksi kedaulatan rakyat. Saya menggunakan frasa pereduksian kedaulatan rakyat setelah menonton kritikan keras Bang Fachry Ali di kanal KOFI. Bang Fachry mengingatkan, betapa pun biaya pemilihan melalui MPR lebih murah daripada secara langsung, tidaklah tepat karena memungkinkan oligarki dan segelintir elite politik memegang peranan besar untuk memutuskan hal yang paling krusial bagi negara ini: memilih presiden.
Dengan demikian, permintaan maaf Amien Rais dan dukungannya agar pemilihan presiden dikembalikan ke mekanisme MPR adalah tidak tepat. Amien Rais tidak perlu harus sedemikian dramatik untuk meminta maaf karena dia bertindak dengan suasana zaman saat itu. Amien Rais, seperti tulisan Mahfud MD, bertindak sesuai dengan resultante.
Lalu, apakah ada resultante yang berubah saat ini sehingga otonomi politik setiap warga negara untuk menentukan siapa yang menjadi presiden ditarik kembali? Sepertinya tidak. Kita sama sekali tidak merisaukan kritisisme warga terhadap hak-hak politiknya. Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.