Cerita Tentang Para Pendukung

Saya tidak menonton pertandingan Inter Milan vs Ac Milan. Tapi saya tahu, sampai tulisan ini dikerjakan, skor sementara untuk Inter, tiga berbanding kosong. Menonton pertandingan sepakbola sekarang – – yang saya hampir tidak mengenal para pemainnya, ditambah stadion tanpa penonton itu – – seperti menghabiskan waktu saja.

Namun saya dapat merasakan adanya aroma kebahagiaan sekaligus rasa frustrasi. Bahagia bagi fans Inter yang karena sudah unggul jauh, frustrasi bagi pendukung Milan karena kekalahan di ambang mata.

Dengan iseng, saya mengirim pesan WA kepada salah seorang teman. Dia adalah fans berat AC Milan. Kadar dukungannya kepada klub itu sudah di atas rata-rata fans kebanyakan, sebab di game PS pun, dia menggunakan AC Milan, tanpa pertimbangan ini dan itu. Pesan yang saya kirim singkat, “0-3.” Direspon juga dengan singkat, “Sialan.”

Situasi demikian, membuat saya jadi teringat pada dua fragmen – – saat menonton sepakbola bersama para teman masih menjadi kegilaan- – ketika Argentina berjumpa dengan Brasil.

Saya adalah pendukung tradisional timnas Argentina, dan segala yang berhubungan dengannya; kecuali beberapa catatan kritis untuk Messi. Sedangkan teman saya, namanya Anwar, pendukung garis keras timnas Brasil. Kalau menonton pertandingan antara Argentina dan Brasil di warung kopi, meja kopi kami menjadi layaknya stadion di Amerika Latin: riuh!

Fragmen pertama, ketika menonton final Piala Konfederasi di Jerman, tahun 2005. Siaran langsungnya melewati dini hari. Karena turnamen itu tidak terlalu populer, kami kesulitan menemukan warung kopi yang buka dan menyiarkan pertandingan itu. Sampai akhirnya menemukan satu warung kopi tidak biasanya kami jadikan tempat untuk menonton sepakbola. Saya teringat, bagaimana bahagianya Anwar melihat gol demi gol tercipta ke gawang Argentina, bersamaan dengan kusutnya wajah saya. Padahal, saat itu, Argentina menjadi favorit juara.

Namun, suasana berkebalikan pada fragmen kedua. Pertandingan disiarkan waktu di pagi hari, karena berlangsung di Argentina untuk babak kualifikasi Piala Dunia 2006 di Jerman. Kami bersepakat untuk menonton bersama. Tapi kali ini Argentina menang dengan telak dan meyakinkan. Saya masih teringat gol dari tendangan keras Riquelme ke gawang Dida. Sekaligus masih teringat, betapa teman saya itu bergantian berwajah kusut, dan berkomentar dengan sedikit jengkel kepada bek Brasil yang tidak cekatan. Dalam hatinya, mungkin berkata seperti teman saya pendukung AC Milan tadi, “Sialan.”

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya