Di awal abad ke-20, angin pembaharuan Islam berembus kencang dari negeri-negeri muslim di Timur Tengah sehingga sampailah ke Aceh. Pemuka agama, elite politik, kaum saudagar, dan para pemuda yang darahnya masih menggelegak menyambut dengan optimis gelombang baru itu. Lalu, berbondong-bondonglah, angkatan muda Aceh keluar dari rumahnya. Mereka melakukan hal yang dahulunya dipraktikkan oleh para pendahulu: merantau untuk mencari ilmu.
Angkatan ini kemudian menjadi tulang punggung dari struktur sosial baru melalui penyebaran madrasah yang tumbuh pesat mulai tahun 1920-an. Madrasah, seperti Surau di Sumatera Barat, menjadi tempat perkecambahan lahirnya generasi bari intelektual muslim Aceh yang tidak tercerabut dari tradisinya, tetapi melihat kemajuan zaman dengan tatapan optimis.
Salah satunya adalah Madrasah Sa’adah Adabiyah, Sigli yang didirikan oleh Daud Beureuh.
Posisi madrasah Sa’adiah Adabiah ini sama pentingnya dengan Surau Besinya Abdul Karim Amrullah. Bahkan kedua sosok ini merupakan kunci dari gerakan pembaharuan Islam di Sumatera. Keberadaan keduanya seperti Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan A. Hassan di Bandung.
Melalui madrasah Sa’adah Adabiah, dan juaga madrasah lainnya di Aceh, gagasan modernisme Islam menyebar ke seluruh Aceh, terutama ketika didirikannya Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Organisasi ini begitu populer karena datang dari jantung masyarakat Aceh sendiri, bukan dicangkok dari luar.
Melalui tokoh utamanya Daud Beureuh – yang menjadikan masjid Baitul A’la Lil Mujahidin Beureuen sebagai episentrum Aceh – gagasan modernisme Islam menjadi wacana dominan, setidaknya sampai Peristiwa Aceh 1953-1962. Simbol yang paling epik adalah ketika disebarkannya keputusan ulama Aceh tahun 1947 untuk meninggalkan praktik yang tidak diatur dalam agama, tetapi telah menjadi tradisi sehari-hari orang Aceh. Surat keputusan itu ditandatangani oleh ulama dari garis Islam modernis.
Setelah peristiwa Darul Islam – yang juga disebut oleh beberapa pihak sebagai Pemberontakan PUSA – berakhir, Aceh mulai memasuki babak baru dengan dibangunnya pusat pendidikan yang lebih modern, sebagaimana cita-cita generasi Daud Beureuh: Kota Pelajar dan Mahasiswa Darussalam. Ada dua kampus utama, Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry. Universitas Syiah Kuala mencetak teknokrat untuk membangun Aceh secara material, sedangkan IAIN Ar-Raniry bertugas untuk melahirkan ahli agama untuk membangun Aceh secara mentalitas.
Kedua institusi berjalan beriringan dalam jangka waktu yang lama.
Ketika Universitas Syiah Kuala hendak membangun Fakultas Kedokteran, Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan izin akan diberikan kalau ada garansi tentang bolehnya otopsi mayat dari ulama Aceh. Saat itu, yang menjadi tulang punggung MUI adalah ahli agama dari IAIN Ar Raniry, di antaranya Ali Muhammad, ISMUHA, dan Ibrahim Husein. Ketiga faqih ini berada dalam asuhan Abdullah Ujong Rimba dan A. Hasjmy. Permintaan Daoed Joesoef disanggupi oleh MUI. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala pun dididirikan.
Keadaan mulai berubah ketika Hasan Tiro, siswa Madrasah Sa’adah Adabiah dan Normal Islam School, melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Pusat yang diproklamasikan di Halimon. Awalnya, organisasi perlawanan itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), didominasi oleh generasi baru teknokrat dan agama yang terhubung dengan garis Daud Beureuh di Beureunuen, seperti, untuk menyebut beberapa, Ilyas Leube dan Zaini Abdullah. Namun, dalam perjalanannya, generasi yang dicetak oleh Daud Beureuh, melalui proyek madrasah sampai Darussalam, mulai tercerabut dari akar tradisinya karena terserap dalam mesin birokrasi. Kemudian, hal itu menyebabkan formasi sosial masyarakat perkotaan dan pedesaan mulai terlihat. Salah satu penyebabnya adalah agenda pembangunan Orde Baru yang meniscayakan kebutuhan akan banyaknya teknorat. Di Aceh, saat itu, dua kampus di Darussalam itu sebagai penyuplai teknokrat paling utama.
Keadaan itu lalu membuat GAM yang melakukan perlawanan dari pedesaan berjumpa dengan varian keulamaan lainnya dari garis Islam tradisi. Kelompok Islam tradisi di awal gelombang pembaharuan Islam berembus kencang menjadi kelompok yang terpinggirkan. Kemudian, setelah kelompok Islam pembaharu meninggalkan basis sosialnya, yaitu madrasah, kelompok Islam tradisi tetap konsisten dengan instrument pendidikan dayah. Basis dayah adalah tumbuh dalam masyarakat pedesaan. Genealoginya berasal dari Dayah Labuhan Haji di pantai selatan, lalu tumbuh pesat di Samalanga. Karena sama-sama tumbuh dalam kultur masyarakat desa, terjadilah pertemuan antara Islam tradisi dengan GAM di masa konflik.
Perjumpaan itu berlanjut di masa damai ketika GAM berkuasa dan Islam tradisi mengalami perluasan dominasi karena pertumbuhan kelas terdidiknya. Kemudian, wilayah birokrasi yang dahulunya dikuasai oleh muslim modernis kini mulai digantikan oleh kelompok muslim tradisi. Bahkan orientasi keagamaan yang dikuasai oleh Islam modernis selama tujuh dekade juga berganti melalui penguasaan masjid-mesjid besar.
Apabila diperhatikan secara kronologis dan periodik di Aceh, perubahan wacana keagamaan di atas selalu saja berhubungan dengan perubahan formasi politik yang berlangsung selama satu abad ini. Apakah dengan perubahan arah politik sejak tahun 2005 akan muncul varian baru lagi. Apakah akan ada pergerakan baru berikutnya, setelah dari Beureunuen, Darussalam, Halimon, dan Samalanga?
Foto: syehaceh.com