Debat terakhir calon presiden berlangsung dengan kekeluargaan. Perdebatan yang sesuai dengan semangat Pancasila, terutama Sila Ketiga dan Keempat. Kita tidak lagi melihat Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo memberi nilai kepada Prabowo. Khusus nilai dari Anies, Prabowo ngelangsa. Perasaannya terbawa sepi. Kemana pun dia pergi, Prabowo selalu menyinggung nilai yang melukai hatinya itu. Sepertinya, sepanjang hidupnya, Prabowo yang rupawan dan gagah berani itu tidak pernah diperlakukan sedemikian rupa.
Melihat suasana itu, semua orang berpikir bahwa debat calon presiden terakhir ini benar-benar akan menguras energi dan perasaan. Melebihi debat-debat sebelumnya. Debat terakhir, diasumsikan, akan mendekati kualitas debat presiden di Amerika Serikat sana yang saling menghajar satu sama lain. Dalam asumsi banyak orang Anies Baswedan akan membangun argumen, melancarkan tonjokan, dan sarkasme level dewa untuk membuat Prabowo terbakar amarah. Begitu juga dengan Ganjar. Banyak orang berpikir bahwa Ganjar akan melakukan akrobatik bahasa yang tidak hanya membuat Prabowo terguncang, bahkan juga rezim pendukungnya terjengkang.
Ternyata, tidak.
Debat terakhir calon presiden berlangsung dengan santuy. Sepertinya, semua calon presiden mengamalkan ajaran “Aku mah simple aja orangnya. Ga ngerugiin kalian kan? Ga nyusahin anda kan? Salam sehat untuk kalian semuanya, jangan lupa bahagia, miss you all.” Kata-kata hikmah itu datang dari seorang MC yang terkenal di Jawa Timur, Om Bram Sakti.
Untaian hikmah dari Om Bram itu sepertinya dijalankan dengan hikmat oleh tiga calon presiden tersebut dalam debat terakhirnya. Ketiganya saling mendukung, membenarkan, menyetujui, memuji, bahkan mengapresiasi. Indah sekali. Inikah demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. Demokrasi yang mengajarkan kesopanan yang lebih muda ke yang lebih tua. Demokrasi yang memberi petunjuk betapa capres yang lebih tua menyayangi yang muda. Apakah debat terakhir calon presiden itu merupakan ucapan welas asih sesama calon presiden. Mungkin saja, tidak ada yang tahu.
Yang hanya kita tahu sebagai orang yang ingin melihat keseruan para elite politik negeri ini saling gontok-gontokan di meja debat akhirnya gagal terwujud. Kita sebagai rakyat kebanyakan kehilangan kesenangan yang jarang kita temui selama ini. Yang sering kita lihat adalah rakyat yang kehilangan masa depanlah yang sering menyabung hidupnya demi untuk tetap bernyawa keesokan harinya.
Lalu, apa yang bisa kita pahami dari indahnya persahabatan debat capres terakhir itu. Pertama, debat terakhir merupakan kesempatan bagi semua capres untuk meraih simpati publik. Ada asumsi bahwa pemilih di Indonesia lebih mencintai calon presiden yang sopan, lemah lembut, tersakiti, dan korban bully, daripada capres yang lugas, ceplas-ceplos, apa adanya, dan tidak basa-basi. Pemilih Indonesia, diasumsikan, datang dari warga negara yang ramah, suka menolong, sering menangisi orang yang dizalimi, dan suka berdoa. Karena berada dalam situasi masyarakat demikianlah, para capres berlomba-lomba menjadi anak saleh, berlomba-lomba menjadi capres yang dianggap mewakili karakter khas masyarakat Indonesia yang cinta damai.
Kedua, semua capres tentu mengetahui bahwa persepsi publik akan tercipta bukan dari siaran langsung perdebatan (yang membosankan itu), melainkan dalam potongan-potongan video yang disebar di media sosial, terutama TikTok dan Instagram. Kedua media sosial itu tempat pemilih pemula. Kedua media sosial itu diyakini tempat para pemilih yang tidak terlalu memperdulikan gagasan. Diasumsikan, TikTok dan Instagram merupakan ruang di mana gimmick dan manipulasi kebenaran bisa tumbuh subur.
Dua alasan inilah yang membuat debat terakhir berlangsung tanpa hiruk pikuk. Sebagai rakyat kebanyakan, tentulah kita kehilangan parodi dari elite.