Teman saya, Muhammad Amin, menuliskan satu frasa lama yang menarik dalam bahasa Aceh, “U langet han troh, u bumo han jab.” Frasa itu dapat dimaknai sebagai sesuatu yang mengawang-awang, tanpa memiliki arah tujuan pasti. Amin menyampaikan hal tersebut sebagai responsnya terhadap kisruh pelayanan dari bank Syariah, yang kini menjadi satu-satunya skema perbankan di Aceh. Perihal itu merupakan terjemah dari adanya Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Namun, tidak hanya Amin, suara protes juga dilakukan secara masif di Aceh. Saya memperhatikan hal demikian dari banyaknya suara potes dari laman facebook. Mulai dari status singkat, memposting gambar ATM yang layarnya diumumkan kalau tidak bisa digunakan karena satu perkara, sampai perdebatan keras antara kelompok yang meyakini kalau skema perbankan Syariah di Aceh baik-baik saja dengan kelompok yang memberikan pandangan kritisnya.
Apa yang saya saksikan secara virtual ini agak mengejutkan, kalau diletakkan dalam konteks suara masyarakat terhadap pelaksanaan syariah Islam di Aceh atau Islamisme. Dibandingkan dengan isu pidana Islam (jinayah) yang tidak semasif ini, suara protes, satire dan marah terlihat jelas pada isu bank Syariah ini. Di saat yang sama, para pendukung bank Syariah juga masih menahan diri untuk tidak memberikan respons secara “ideologis,” walau satu dan dua akun facebook mulai menampilkam kejengahan atas suara keras protes tersebut. Namun, sejauh ini masih terlihat kondusif.
Gejala yang kita lihat sekarang di Aceh pada isu bank Syariah, yang bahkan sebenarnya sudah mulai muncul ke permukaan di awal tahun ini ketika bank-bank konvensional mulai keluar dari daerah ini, merupakan diskursus yang jamak di negeri-negeri yang melakukan formalisme hukum Islam. Selalu saja ada suara yang meyakini kalau formalisme hukum Islam adalah jalan terbaik bagi manusia — jelas saja ini merupakan suara paling banyak — yang berhadap-hadapan dengan gerakan yang selalu saja kritis dan memberi catatan terhadap pelaksanaan formalisme tersebut. Hal demikian juga terjadi seperti di Pakistan, Iran dan Arab Saudi.
Selain itu, suara kritis terhadap Islamisme di Aceh ini dapat diartikan juga kalau kita masih memiliki optimisme bahwa ruang publik masih dapat tumbuh dengan sehat, ketika diskursus itu dibuka secara demokratis dan deliberatif, tanpa harus mengajak aparatus syariah menertibkan suara-suara berbeda itu. Hal ini juga sejalan dengan karakter dasar pemberlakuan hukum Islam di Aceh yang sedari awal lahir dari prosedur demokrasi. Hal yang berbeda — lagi-lagi saya mengambil contoh dari negara Islam lainnya karena kesulitan mencari contoh provinsi Islam — dengan Pakistan, Arab Saudi dan Iran yang lebih berwarna formalisme dari atas.
Karakter dasar inilah yang sedianya harus dipertahankan melalui terbukanya percakapan di ruang publik tanpa harus melakukan penghakiman, bahwa mereka yang memiliki suara kritis dianggap tidak memiliki kadar keislaman yang baik. Kita pernah mengalami hal tersebut dalam konteks politik karena adanya pembelahan ideologi yang sangat sengit. Sampai-sampai, memilih partai Islam dianggap wujud dari keislaman yang lebih baik daripada mereka yang tidak memilih partai Islam. Harapannya kemudian adalah percakapan mengenai hubungan Syariah Islam di Aceh akan menyentuh hal-hal lain seperti politik, Hak Asasi Manusia, kesejahteraan, posisi perempuan, perlindungan anak , kebudayaan dan aspek kehidupan lainnya. Dengan demikian, tidak saja kita menawarkan satu contoh keberislaman yang mengesankan dari Aceh, melainkan juga kita melihat orang Aceh dapat tumbuh bersama warga dunia lainnya.
Ilustrasi: Hespress.com