Pertanyaan penting yang sudah mendapat jawaban adalah mengapa pamor olahraga tinju semakin tergerus oleh seni olahraga beladiri campuran (MMA), jawabannya adalah karena oleh satu hal: drama. Ketika tinju kehilangan hal itu, MAA malah semakin mendapatkan perkara demikian.
Selalu ada cerita dari MMA, terutama melalui promotor UFC.
Pada pertandingan UFC 274, drama berlanjut ketika sabuk kelas ringan Charles Oliveira dicabut karena gagal memenuhi batas berat maksimal dalam sesi timbang berat badan resmi. Belum lagi cerita panjang mengenai konflik panas Khabib vs Mc Gregor. Atau panas dinginnya kelas welter karena kehadiran Khamzat yang selalu melakukan trash talk. Belum lagi cerita tentang jengkelnya juara kelas berat UFC, Francis Ngannou kepada Dana White — bos besar UFC.
Dahulu, drama demikian selalu meyelimuti tinju. Coba tonton dua film penting tentan Muhammad Ali: When We Were Kings dan Thrilla in Manila.
Film When We Were Kings berkisah mengenai pertandingan akbar di Kinshasa Zeire antara George Foreman vs Muhammad Ali. Foreman sedang berasa pada fase hype di kelas berat. Ali sebaliknya. Dia tidak diunggulkan. Sedangkan Foreman menjatdikan Frazier seperti sansak hidup.
Namun, tinju adalah drama. Pada pertandingan, yang dipromotori oleh Don King, Ali menang dengan KO. Don King berjasa pada pertandingan itu. Dia sengaja membawa pertarungan itu ke negeri asal mereka di benua Afrika sehingga aspek dramanya muncul dengan kuat. Salah satunya dengan lahirnya satu frasa dari pendukung Ali di sana, “Ali, bomaye. Ali bomaye!” Kalau saja pertarungan itu dilakukan di New York, pastilah drama demi drama tidak akan terjadi.
Sedangkan film Thrilla in Manila merupakan film dokumenter trilogi pertarungan Muhammad Ali vs Joe Frazier. Skor keduanya 1-1. Diperlukan pertandingan ketiga untuk menentukan siapa yang lebih baik dari keduanya. Ali memenangkan pertandingan itu dengan TKO di ronde 14. Pelatih Frazier, Eddie Futch, menghentikan pertandingan itu karena anak didiknya itu sudah tidak dapat lagi menggunakan kedua matanya. Frazier bertanding hanya menggunakan instingnya sebagai petarung. Di sudut Ali, dia sudah meminta kepada pelatihnya, Angelo Dundee, untuk menghentikan pertandingan. Dia sudah kelelahan. Namun, beberapa detik sebelum Dundee hendak mengabarkan itu kepada Carlos Padilla Jr, wasit yang memimpin pertandingan itu, Futch sudah terlebih dahulu memintas pertarungan dihentikan.
Itulah yang disebut dengan drama. Apakah kita masih melihat hal demikian pada olahraga tinju akhir-akhir ini. Terutama ketika Canelo — sebelum dikalahkan Bivol — sangat dominan dan merusak para jagoan di berbagai kelas. Apalagi setelah Tyson Furry memutuskan pensiun, sepertinya popularitas tinju akan semakin tenggelam di hadapan MMA.
Jangan-jangan, yang dibutuhkan dunia tinju adalah promotor yang nyentrik seperti Don King dahulu, bukan Eddie Hearns yang terlalu lurus. Kalau tidak, drama akan semakin menjauh dari ring, lalu sepenuhnya milik octagon.