Dua Saja, Jangan Tiga

Kalau diingat-ingat, salah satu dari kesekian kejengkelan kepada rezim Suharto adalah jabatan presiden yang tidak berbatas. Karena tidak ada penegasan, Suharto dengan canggih, mengakali bunyi pasal di UUD 1945 tentang presiden yang dapat dipilih kembali. Hasilnya, Suharto menjadi presiden berulang kali. Sampai-sampai ada joke yang mengatakan kalau anak-anak Indonesia memiliki cita-cita tertinggi saat itu menjadi Wakil Presiden.

Oleh karenanya, ketika Suharto dijatuhkan oleh gelombang kemarahan yang menahun, salah satu hal utama dilakukan adalah membatasi masa jabatan Presiden. Pembatasan itu dibangun dari kaidah bahwa kekuasaan yang terlalu lama akan menyebabkan korup, otoriter dan anti-demokrasi.

Pembatasan masa jabatan itu, lalu secara teknis menjadi dua kali saja, tidak lebih. Dua kali masa jabatan, dengan berkaca pada praktik demokrasi yang lebih matang seperti di Amerika Serikat, dibayangkan demokrasi Indonesia juga membaik – – setelah berdekade di bawah rezim otoritarian.

Pembatasan periode jabatan presiden itu, sejak awal mula amandemen menunjukkan gejala yang menggembirakan. Secara prosedural, kita menyaksikan pergantian posisi Presiden dilakukan dengan pertimbangan untuk menjaga demokrasi sebagai hadiah dari reformasi Indonesia. Sehingga apabila dahulu, dalam jangka waktu 32 tahun Indonesia hanya memiliki satu Presiden, kini dalam dua dekade, kita memiliki empat Presiden; dengan komposisi tiga dari sipil, satu dari kalangan militer.

Oleh karena itu, wacana yang diapungkan
tentang masa jabatan tiga periode harus ditolak. Ditolak karena bertentangan dengan cita-cita bersama ketika reformasi digerakkan dan dimenangkan. Politisi yang duduk di Senayan pun harus mafhum, bahwa mereka tidak akan berada di sana, kalau bukan dari gelombang reformasi, yang akhirnya mengubah landscap politik Indonesia. Mereka yang dahulunya berada di garis opisisi, kini menjadi pemerintah. Kelompok yang sebelumnya berteriak di jalan, kini sudah menjadi pihak yang mengambil kebijakan. Kesemuanya itu, sekali lagi, hanya mungkin terjadi karena reformasi.

Maka dari itu, sudah sepatutnya, reformasi dijaga dengan segenap jiwa, karena didapatkannya pun tidak dengan biaya murah, bahkan berdarah-darah.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya