Fachry dan Cak Nur

Kolom Fachry Ali Kofi Bang Fachry edisi kali ini membuat saya mengingat kembali pidato tunggal Cak Nur di Universitas Syiah Kuala dua dekade lalu. Saat itu, Cak Nur sedang dalam agenda safari politik Konvensi Presiden Partai Golkar. Itulah kali pertama, sekaligus terakhir saya menyaksikan Cak Nur di depan mata.

Namun, di atas itu semua, hal yang paling berkesan ketika saya mendapat kesempatan untuk bertanya — sekali lagi, terima kasih kepada Diyus Hanafi yang saat itu menjadi moderator yang memberikan kesempatan saya untuk berdialog langsung dengan Cak Nur — mengenai pluralitas dan slogan Islam Yes, Partai Islam No. Tidak ada yang lebih membahagiakan, kecuali, ketika Cak Nur mengawali jawaban atas pertanyaan saya itu, dengan ucapannya, “Ini pertanyaan yang penting sekali.” Setelahnya, Cak Nur menjawab panjang lebar selama setengah jam lebih.

Memikat!

Tidak ada kata lain selain itu. Apakah perasaan yang sama, atau bahkan lebih, yang dirasakan oleh Bang Fachry ketika menyaksikan kali pertama Cak Nur dalam perjumpaannya di forum HMI. Hal yang memikat itu barangkali, seperti tulisnya dalam pengantar buku Dialog Keterbukaan, yang membuatnya berdebat dengan ayahnya yang lebih cenderung kepada HM. Rasjidi, sedangkan dia membela pikiran Cak Nur. Perdebatan yang hanya bisa berhenti ketika ditengahi oleh ibunya.

Cak Nur, dalam batang tubuh tradisi intelektual Islam Indonesia, adalah sosok yang membawa kubu intelektual ini dapat sejajar dengan kaum priyayi dan kelompok sekular yang lebih awal terdidik secara modern. Posisi yang juga diisi oleh Harun Nasution secara lebih official dalam pengembangunan tradisi intelektual perguruan tinggi Islam. Namun, tanpa mengecilkan peran Harun Nasution, daya jelajah Cak Nur lebih luas dan artikulatif. Dia tidak hanya terlibat dalam perdebatan keras mengenai pemikiran sosial keagamaan, melainkan juga dalam penataan demokratisasi Indonesia.

Oleh karenanya, selain bersifat personal bagi saya, topik Kolom Fachry Ali kali ini menjelaskan secara lebih luas betapa posisi intelektual memiliki posisi terhormat di negeri ini ketika diwakili oleh sosok yang berintegritas dan pemilik kejernihan.

Baca Juga

Biografi Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri lahir sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai. Beliau mengenyam pendidikan pada Zawiyah Blang Pria. Kemudian hijrah ke Singkil dan mengajar pada lembaga pendidikan di sana. Tidak lama kemudian, melalui Barus, Hamzah Fansuri bertolak ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu. Kembali ke Aceh, Hamzah Fansuri menetap di Fansur yakni Ujong Pancu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Ragam Orientasi Bahasa Indonesia (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Karya ilmiah Sutan Takdir Alisjahbana seperti Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai  telah menunjukkan tentang bagaimana bahasa Indonesia sangat mampu menjadi sarana penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah yang membuktikan kompatibilitas tinggi bahasa Indonesia sebagai sarana penulisan ilmiah selanjutnya juga dapat dilihat dalam karya Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Tulisan ilmiah tentang agama juga ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana yakni Pemikiran Islam dalam Menghadapi Globalisasi dan Masa Depan Umat Manusia. Karena memang bahasa Indonesia yang dulunya dalam format bahasa Melayu telah digunakan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, dan lainnya, telah sangat baik menjadi sarana komunikasi literatur agama.

Penyebaran Modern Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Bahasa Melayu Pasai yang telah luas penyebarannya telah menjadi sarana komunikasi efektif dalam menyatukan masyarakat Nusantara. Penguasaan bahasa Melayu Pasai yang sangat luas juga menyebabkan terjadinya penyerapan berbagai kosakata lokal masing-masing. Sehingga membuat bahasa Melayu Pasai itu terus mengalami penyempurnaan sebagai bahasa persatuan.

Transformasi Bahasa Melayu Pasai (Asal Usul Bahasa Persatuan)

Dalam pengantar karyanya Mir’at Al-Tullab Abdurrauf Al-Singkili menegaskan:

“Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Seri Sulthanah Taj Al-‘Alam Safiat Al-Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat qadi pada pekerjaan hukmi daripada segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radhuallahu ‘anhu”  :