Jafar hari ini berulang tahun yang kesekian. Ulang tahunnya tahun ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, selalu saja mengingatkan saya pada perjumpaan awal mula dengannya.
Setelah saya menyampaikan beberapa pandangan dalam debat Capres Mahasiswa IAIN Ar-Raniry, saya didatangi sekaligus disalami oleh mahasiswa yang saya tidak kenal. Itu kali pertama saya berjumpa dengannya, “Nama saya, Jafar,” dia mengenalkan dirinya.
Dia mengakui terkesan dengan beberapa pikiran yang saya sampaikan dari atas mimbar pidato. Selama ini, menurut ceritanya yang berkesan itu, dia memiliki minat yang sama dengan apa yang diceritakan tersebut.
Saya tidak mempedulikan hasil Pilpres Mahasiswa itu. Sejak awal memang demikian niatnya. Yang saya hendaki sejak pertama kali menyanggupi untuk tampil di muka publik guna mencari orang yang ikut menyambut gagasan berkemajuan tersebut. Jafar adalah orangnya.
Beberapa hari berikutnya, dia mengajak saya ke kontrakannya yang berada di lingkungan tinggal mahasiswa Darussalam. Tempat tinggalnya sederhana, terbuat dari kayu. Dia tinggal di lantai dua. Kamar kecilnya dipenuhi buku-buku serius: filsafat, teologi, sastra, politik dan kajian Islam kritis. Hampir tidak saya temukan buku teks perkuliahannya di prodi Jinayah dan Siyasah itu.
Setelah beberapa kali diskusi serius, kami lalu membentuk satu kelompok studi, Komunitas Islam Pencerahan. Kelompok studi tersebut kami niatkan untuk mendorong diskursus dengan cara deliberatif. Tentu saja, frasa deliberatif belum kami kenal waktu itu. Tetapi kami berkeyakinan sejak awal, bahkan sampai sekarang, gagasan apa pun harus dibicarakan secara terbuka tanpa dibayangi rasa takut. Pikiran harus dimuliakan.
Kelompok studi mengadakan beberapa kali diskusi. Namun, pekerjaan itu tidak berlangsung lama, karena situasi politik di Aceh semakin panas. Dua kelompok bertikai seperti tidak akan berhenti. Senjata api terus menyalak. Kegiatan kami itu pun berhenti.
Saya mulai kehilangan kontak dengan Jafar.
Belakangan saya mendapat kabar, kalau dia ikut masuk ke hutan, bergabung dengan kelompok gerilyawan. Saat itu, Aceh sedang berada di bawah status darurat militer. Bergabungnya Jafar yang dengan kelompok gerilyawan tidak mengherankan, sebab selain aktif mendorong pikiran kritis, dia juga terlibat dalam organisasi pergerakan mahasiswa yang sering mengangkat tangan kiri ketika meneriakkan yel-yel perjuangan.
Setelah perang berakhir, kami berjumpa kembali dalam satu diskusi yang diadakan oleh Aceh Institute di Café Rodya. Begitu acara berakhir, dia mendatangi saya – seperti perjumpaan awal mula di IAIN. Dia terlihat sangat kurus. Saya tidak tahu di mana dia bekerja saat itu. Namun, setelah perjumpaan di café tersebut, kami mulai aktif lagi mengadakan komunikasi.
Beberapa tahunnya setelahnya, saya dan Jafar serta beberapa nama-nama yang lebih muda: Asrizal Luhtfi, Mirza Ardi, Haris Munzani, Zuhri dan Ridha membentuk kelompok kajian, kami menamakannya Kelompok Studi Darussalam. Kelompok studi ini tidak berumur panjang, tetapi cukup mengharu-birukan jagat pewacanaan di Aceh.
Jafar, hemat saya, adalah pemikir yang berbakat. Saya berharap dia menghabiskan hidupnya di dunia wacana. Sebagai seorang pemikir, dia juga seperti sudah putus urat takutnya. Pikiran yang disampaikan secara lugas, tanpa perlu menimbang risiko yang akan dihadapi di kemudian hari. Baginya, hal itu adalah tanggung jawab dari jalan intelektualnya yang sudah dipilihnya sejak lama.