Hari-hari ini, bahkan mungkin ke depannya, kita akan terus menyimak percakapan politik yang tidak berujung: tentang siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden negeri ini. Terlebih, percakapan menjadi panas tak terkira gara-gara ada rumor – yang mungkin perhari ini – akan menjadi faktual, yaitu berkenaan anak sulung Presiden Jokowi yang ditarik ke sana kemari untuk menjadi wakilnya Prabowo Subianto.
Gibran merupakan nama yang baru dalam blantika politik Indonesia. bahkan, kalau di ingat-ingat, ketika saya mulai memakai seragam putih abu-abu, Gibran baru menduduki kelas empat Sekolah Dasar. Sekarang, dia dirumorkan akan menjadi calon wakil presidennya Prabowo Subianto, orang yang ketika dia baru berumur setahun ditamatkan karir militernya.
Nasib orang tidak ada yang tahu. Nama yang dahulunya tidak pernah ada dalam kamus politik Indonesia, sekarang kedatangannya ditunggu dengan cemas harap. Lihat saja bagaimana kikuknya Yusril Ihza Mahendra dan Anis Matta ketika berdiri untuk menyambut dan menyalami Gibran pada momentum pengalihan dukungan Projo ke Prabowo. Padahal dua nama tersebut merupakan bintang politik Indonesia di awal fajar baru reformasi.
Tentu, kita akan mengatakan bahwa posisi istimewa Gibran itu karena dirinya merupakan anak Presiden. Tidak lebih, tidak kurang. Gibran didakwa karena hal demikian. Gibran, dari rumor hari-hari ini, datang bak topan badai yang merontokkan komposisi politik yang terbangun. Dia seperti mengulangi fenomena bapaknya, dalam hal mengobrak-abrik tatanan politik lama.
Namun, berbeda dengan tampilnya Jokowi, terutama sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, Gibran tidaklah datang sebagai figur — meminjam frasa Fachry Ali — pascaelite. Gibran, tentunya tanpa perlu berdebat panjang, merupakan elite itu sendiri.
Dalam konteks ini, Gibran tidak membawa hype politik, gegap gempita, dan antusiame, layaknya Jokowi di tahun 2014 lalu. Gibran, dapat dikatakan, merupakan ekspresi dari elite kebanyakan — hal yang dilawan oleh segenap elemen di tahun 2014 silam melalui figur Jokowi.
Kini, dunia politik berbalik arah. Jokowi yang dianggap wakil dari kebanyakan, kini dilawan segenap pihak – bahkan oleh para pendukung lamanya. Jokowi didakwa membangun dinasti; mengkhianati cita-cita luhur demokrasi; dan, abai terhadap fatsun politik.
Celakanya, dari keseluruhan kasak-kasuk itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan – begitu sabda agung yang selalu disampaikan setiap lima tahunan – hanya sebagai penonton belaka. Tidak lebih.
Rakyat sama sekali tidak terlibat dengan seluruh kekisruhan itu. Sejak awal tidak diikutsertakan untuk memilih siapa orang yang paling layak untuk menjadi pemimpinnya di masa hadapan. Sistem politik Indonesia per hari ini mengabaikan suara rakyat. Bahkan yang ada, rakyat diminta berbondong-bondong untuk memilih orang yang ditentukan segelintir orang di partai politik demi sebuah slogan “Untuk Indonesia Masa Depan,” tanpa pernah diberi kesempatan untuk menyatakan siapa yang rakyat hendaki.
Cacatnya demokrasi Indonesia dewasa ini disadari dengan baik oleh pemilik partai politik. Kesadaran yang dipelihara terus menerus, sambil melempar sentiment kepada rakyat yang masih kebingungan untuk menata hidupnya. Sentiment itu berbentuk banyak hal: identitas suku, histeria beragama, penentuan siapa yang jahat dan baik, dan narasi ketakutan.
Keseluruhan bangun politik kita hari ini menyebabkan kejenuhan yang susah untuk dibantah. Menjemukan. Politik Indonesia belakangan ini memang begitu menjemukan. Sampai-sampai analis politik kehilangan peranannya. Untuk apa kita mendengar ocehan analis politik kalau informasi yang dia dapat itu juga sama seperti yang tertera di media sosial dan kabar yang bergentayangan di depan mata kita.
Atas alasan itulah, orang seperti Panda Nababan selalu ditunggu komentarnya. Bukan karena analisis politiknya, melainkan kisah langka yang dia dapatkan atas dasar pengalaman masa lampau. Demikian juga bila satu saat para filsuf dari fakultas filsafat dan sekolah Tinggi filsafat turun gunung untuk memberi pikiran politik kepada publik, patut tentunya kita simak dengan saksama.
Karena politik Indonesia semakin menjemukan, sudah saatnya kita mengerjakan hobi masing-masing yang mungkin selama ini terabaikan karena keasyikan mengurusi perkara kaum elite itu. Kerjakanlah hobimu dengan sungguh-sungguh, sampai orang juga akan ikut serta sehingga ada keceriaan bersama. Abaikan kasak-kusuk itu, sama sekali.