Tulisan ini tidak romantik. Sama sekali tidak. Ceritanya, kemarin sore, saya berada di ruang kerja doktoral Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Di kampus ini, bagi para mahasiswa Pascasarjana diberikan ruang kerja khusus untuk menulis dan membaca. Tujuannya pasti supaya mereka fokus untuk mengerjakan kewajibannya itu.
Di ruangan tersebut, kemarin sore, saya tidak sendiri. Ada satu orang teman saya, mahasiswa asal Bangladesh. Dia mahasiswa yang rajin. Hampir saban hari dia terus berada di ruangan kerja itu untuk menulis disertasi dan artikel. Di ruangan ini, kadang-kadang, walaupun dilengkapi dengan pendingin, jendela dibuka. Sirkulasi udara dirasa penting di masa pandemi yang semakin landai ini. Dari dalam ruangan, saya melihat keluar, cuaca semakin gelap; langit semakin pekat dikarenakan mendung yang rutin hadir di setiap sore.
Tidak lama, hujan pun turun. Deras. Ada yang mengatakan, Yogyakarta itu akan memiliki wajah mengagumkan ketika hujan turun. Saya membenarkan itu. Lalu, sambil berdiri dan menghampiri jendela yang terbuka, saya bertanya dengan nada retorik kepada mahasiswa asal Bangladesh itu, “Mengapa orang Indonesia enggan meninggalkan negeri ini?” Sambil mengangkat bahu sebagai cara dia menunjukkan ketidaktahuannya, saya kemudian menjawab, “Karena negeri ini terlalu indah untuk diabaikan.” Teman saya itu setuju.
Sepuluh tahun yang lalu, di UGM, saya bersama teman-teman dari University of Sapen menghadiri pagelaran dan ceramah kebudayaan Emha Ainun Nadjib. Cak Nun, bukan Cak Nur, — seperti biasa dia disapa—mengatakan apa pun keadaan negara ini, rakyatnya terus saja gembira.
Cak Nun benar.
Di negeri ini, bergembira, entah itu bernyanyi dan berjoget, adalah cara mereka untuk hidup. Kalau pernah melihat penampilan grup band pelestari Koes Plus – yang biasanya tumbuh subur di wilayah-wilayah kota menengah di pulau Jawa – kita akan menyaksikan kegembiraan itu. Mereka yang hadir, tidak sungkan-sungkan untuk maju ke depan panggung untuk menari. Wajah mereka riang. Seakan-akan, beban hidup lepas begitu saja ketika badan ikut bergoyang yang diiringi lagu-lagu riang Koes Plus.
Negeri ini sepertinya diciptakan oleh Tuhan dengan maksud itu: warganya diminta terus bahagia dan gembira. Kita bisa saja melihat daftar indeks apa pun, dari lembaga mana pun, yang terus saja menyebut beberapa dari indikator bahwa Indonesia semakin tidak baik-baik saja. Tetapi, tidak ada yang membantah kalau negeri ini terlalu berat untuk diabaikan.
Malam minggu kemarin, saya mengunjungi satu café di Alun-alun Utara Yogyakarta yang sedang naik daun: Padepokan Lawas. Di café itu, pada malam-malam tertentu – terlebih sabtu malam – ada pertunjukan musik akustik. Pemainnya anak-anak muda yang memiliki suara jernih. Malam itu ramai sekali. Café sesak sekali sampai ke halamannya. Ada satu penyanyi perempuan. Dia bernyanyi dengan energik. Penonton ikut bersahut-sahutan menyambung lirik yang dibawakannya. Tidak ada yang bermuram durja. Semuanya bergembira.