Kelima dari kami – – ada dalam deskripsi di website ini – – tumbuh dari akar yang sama: kemoderenan. Namun, bukan dalam pengertian sebagai priyayi, kecuali Miswari, tetapi, dia selalu menolak gelar bawaan yang datang dari garis nasab itu. Baginya, hal itu tersebut tidak penting. Pun juga bagi kami. Lagipula, tidak hanya priyayi yang bisa hidup modern, terutama sejak awal abad ke-20.
Kemoderenan yang saya maksud adalah persentuhan kami, atau tepatnya perjumpaan kami secara genealogis, tentang hal-hal yang datang dari rahim modernisme, terutama modernisme Islam. Pelacakan itu dapat dilihat dari mana kami belajar pengetahuan Islam yang kesemuanya dari Darussalam, Aceh. Bahkan Mirza Ardi, yang tidak menyelesaikan studinya di IAIN Ar Raniry, karena khawatir jadi progresif, akhirnya benar-benar menjadi sangat modern dan progresif, bahkan melebihi kami yang belajar di IAIN.
Perjumpaan kami dengan kemodernan demikan, akhirnya menjadi titik temu untuk melakukan percakapan lebih jauh mengenai tanggung jawab intelektual. Yang saya maksud dengan tanggung jawab intelektual adalah mengenai satu sikap terhadap apa yang sedang terjadi di sekitar. Lalu, dengan pengalaman kemodernan itu memberi respons.
Kemudian, mengapa Normal Press. Apakah harusnya Normaal? Iya, harusnya Normaal kalau pengertiannya mengacu kepada satu Madrasah yang dibangun oleh PUSA akhir tahun 1930-an di Bireuen. Kami memang mengacu kepada nama madrasah yang berusia sangat singkat itu, yang kalau dihitung hanya berumur enam tahun.
Akan tetapi, Normaal Islam Institute, lebih dari sekadar madrasah dalam pengertian lembaga pendidikan yang mencetak ahli Islam. Lembaga itu, hemat saya, membangun manusia yang mampu membaca tanda-tanda zaman, dengan pengetahuan sebagai alat utamanya.
Jadi, kehadiran Normal Press tidak saja ikut merawat ingatan tersebut, tetapi ikut pula merawat ruang publik yang lebih sehat dengan mengedepankan nalar, logic dan pengetahuan sebagai cara kita berjumpa dan membuka percakapan di era ini.