Tidak disengaja, tetapi seperti menjadi ritual di akhir tahun; saya ngopi dengan Asmara Diah Saputra di Langsa, di warung kopi yang juga sama. Kalau di akhir tahun lalu bersama Misdarul Ihsan, tapi tidak di tahun 2020 ini. Kali ini, kami ngopi bersama T M Shadry, teman satu angkatan di IAIN Darussalam. Awalnya, saya hanya bersepakat ngopi dengan Asmara. Lalu, dia mengatakan, kalau Shadry sudah pindah tugas ke Langsa. Tidak lama, dia pun menelepon Shadry untuk mengajak minum kopi bersama. “Saya ngopi bersama Bung Alkaf di sini,” kata Asmara.
“Shadry akan ke sini. Kita tunggu saja. Mungkin masih ada beberapa pekerjaan kantor yang haru diselesaikan.”
Dengan Shadry, pertemanan kami unik. Saya lebih akrab dengan ayahnya, Dr. Safir Iskandar Wijaya. Ketika masih di Banda Aceh, saya menjadikan beliau sebagai salah satu dosen untuk bertukar pikiran. Orangnya telaten dan memiliki pengetahuan luas, terutama dalam teologi dan filsafat.
Baca juga: Dua Saja, Jangan Tiga
Dalam edisi ngopi penutup tahun 2020 itu, kami membicarakan topik yang lumayan berat: tentang dinamika politik-ekonomi di negeri. Tidak ada tentang film, musik dan sastra.
Namun, seperti perjumpaan dengan teman lama, selalu ada cerita dari masa lalu yang dihadirkan di meja kopi, termasuk tentang teman-teman lama yang jarang berjumpa, tetapi karena media sosial, kami selalu terhubung. Misalnya, kami mengingat Syukurdi dan warung kopinya di Besitang, yang tampak semakin semarak. Atau, seperti Shadry yang bertanya tentang kabar dari Teuku Muhammad Jafar. “Di Facebook saya sering lihat, kalian bertiga saling berbalas komentar,” kata Shadry.
Walau belakangan, Syukurdi semakin jarang menggunakan media sosial. Mungkin kesibukannya, hal yang tentunya bagus, membuatnya mulai jarang menggunakan waktunya di rimba raya Facebook itu. Jafar, yang saya lihat, masih memberikan waktunya di Facebook untuk menuliskan pikiran-pikiran tajamnya. Baik dalam kalimat singkat-menohok, atau dengan tulisan panjangnya yang selalu memiliki muatan transfromatif.
Setelah ngopi kami selesai, masing masing melanjutkan agendanya. Asmara akan bergerak ke timur. Katanya, nanti setelah dari Timur, dia akan langsung kembali Banda Aceh. “Namun, saya terlebih dahulu akan singgah di kampung halaman.” Tidak lama, Asmara menunjukkan kalau dia benar-benar berada di kampung halamannya, dengan memamerkan – di WA Storynya– beberapa kepiting yang terlihat lezat.
Sedangkan, saya dan Shadry berbincang ringan mengenai agenda yang bisa dikerjakan di waktu senggang. Seperti untuk memperhatikan cara hidup yang lebih sehat dengan rutin berolah raga. Dia mengajak saya untuk bersepeda dan jogging. Saya balas, mengapa tidak kembali ke tempat Gym, Shadry bersepakat akan hal itu, tinggal memastikan waktu yang tepat saja, di sela-sela pekerjaan yang semakin menumpuk.