Enam tahun yang lalu, saya menulis esai tentang Aceh provinsi rasa negara. Di dalam esai itu, saya mengemukakan dua argumen mengapa perasaan demikian hadir dengan kuatnya. Pertama, karena pertautan orang aceh dengan masa lalunya. Kedua, karena perjumpaan orang Aceh dengan dunia luarnya.
Mengenai sejarah, hampir-hampir tidak ada orang di Aceh yang tidak hafal mengenai cerita kegemilangannya dari masa lalu. Di setiap tempat, tidak hanya di bangku universitas, orang Aceh mampu menceritakan dengan fasih setiap narasi masa silamnya. Tentu, hal-hal yang berkenaan dengan kejayaan daerah ini, seperti penyebaran Islam, ekspansi, raja yang kuat dan bijak, ulama yang luas ilmunya, perempuan yang dihormati, dan heroisme.
Kemudian, perjumpaan Aceh dengan dunia luarnya mencengangkan. Dunia luar yang diimajinasikan itu bukanlah bersifat provinsional, melainkan global. Oleh karena itu, hal itu menjawab mengapa orang Aceh selalu mempertautkan diri dengan entitas nasion di luarnya: Eropa, Melayu, Amerika, Cina, dan Arab. Hal ini semakin diperkuat dengan keyakinan kolektif bahwa orang Aceh merupakan perjumpaan dari silang budaya. Hal yang dapat dilihat dari akronim nama provinsi ini, ACEH: Arab, Cina, Eropa, (H)india. Terlebih, dari dua peristiwa besar terakhir, perdamaian di Helsinki dan rekonstruksi akibat bencana Tsunami, semakin membuat orang Aceh selalu berjumpa dengan dunia luarnya secara intens.
Bangunan kebudayaan seperti inilah yang dapat menjadi alasan mengapa provinsi ini selalu memiliki risiko untuk bergolak. Ketika Ayah Gani, menyampaikan pidato di hadapan Mr. Hardi, yang mewakili Soekarno, dalam penyelesaian konflik Darul Islam, dia juga menceritakan tentang kegemilangan Aceh di masa lalu. Kegemilangan yang menurutnya, juga menurut orang Aceh secara kolektif, tidaklah pantas membuat mereka diperlakukan secara tidak terhormat. Juga demikian pada Hasan Tiro, ketika kembali tiba di Aceh — setelah tiga tahun perdamaian disepakati — dia mengatakan kalau keputusannya untuk menginjak tanah kelahirannya karena panggilan sejarah.
Panggilan sejarah yang sangat kuat dalam diri orang Aceh itulah yang ikut menghitam putihkan gerak Aceh di masa depan. Begitu juga dengan diskursus dana Otsus yang kini kembali dibicarakan dengan luas di ruang publik. Dana Otsus Aceh tidaklah dilihat hanya sekadar tumpukan uang yang menjulang. Namun, dana otsus harus dipandang sebagai kompensasi dihentikannya dari perang politik dan militer.
Kita harus mengakui, kalau acapkali perdamaian yang disepakati di Aceh, maka acapkali pula hal tersebut selalu sulit beranjak dari ruang kompensasi daripada ke integrasi secara penuh. Ada banyak kendala untuk menuju ke tahap reintegrasi: mulai dari hak-hak korban konflik yang belum terpenuhi, terjemahan kebijakan dan wewenang yang belum sepenuhnya diberikan oleh Pemerintah Pusat, kemiskinan yang menjadi-jadi, dan rasa frustasi yang mulai mengintai.
Tidak berlebihan kalau disebut, keberlanjutan dana Otsus Aceh ini adalah jalan keluar dari sengkarut yang ada, serta untuk mematutkan diri sebagai provinsi rasa negara itu.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: pinterpolitik.com