Politik Tanpa Antusiasme

Seorang politisi, yang sedang duduk di gedung megah yang terletak di jalan Daud Beureuh, mengajak segenap elemen – termasuk masyarakat – bersatu padu mempertahankan UU-PA, dari ancaman dan penggerusan. Ajakan itu tampaknya sangat heroik, sebelum kita membaca lebih detail, bahwa ajakan itu dalam perkara pelaksanaan Pilkada Aceh. Pilkada di Aceh sepertinya akan bergeser dari jadwal semula: dari tahun 2022 ke tahun 2024.

Ajakan untuk melakukan perlawanan kolektif, seperti yang digemakan oleh politisi tersebut, tentu bukanlah barang baru bagi masyarakat Aceh. Sebab dalam tarikan garis sejarah, perlawanan kolektif selalu melekat: mulai dari angkat senjata, pembangkangan sipil sampai tuntutan pemisahan diri secara demokratis.

Namun, ajakan dari seorang politisi, tentu saja berbeda dengan gema perlawanan yang diserukan oleh ulama, intelegensia, mahasiswa dan suara moral lainnya. Selalu saja, diakui atau pun tidak, aroma politik tidak dapat ditutupi, ketika politisi menyerukan untuk melakukan ini itu. Walaupun, ajakan dari politisi itu dengan argumen moral mengenai harkat martabat UU-PA sebagai basis hukum Otonomi Khusus Aceh.

Sepinya perhatian publik itu karena persepsi yang terbangun – entah ini disadari oleh politisi tersebut — sederhana saja, bahwa UUPA bukan sekadar pilkada. UUPA juga berbicara tentang hajat hidup orang banyak lainnya; yang celakanya, terbangun persepsi telah terabaikan.

UUPA, sebagai turunan dari komitemen politik MoU Helsinki, dianggap tidak memberikan hasil yang mengembirakan, terutama mengenai kesejahteraan. Persepsi demikian, tentu saja tanggung jawabnya diarahkan kepada politisi, baik yang duduk di gedung jalan Daud Beureuh maupun di jalan Nyak Arif. Mereka itulah yang terpilih dari proses elektoral, yang sedang berpolemik itu.

Event elektoral Indonesia, dalam perkembangan terakhir, kini tidak lagi disambut dengan antusias. Mungkin kita akan mengatakan bahwa pandemic Covi-19 sebagai isu muktakhir yang menyebabkan rendahnya antusias tersebut. Namun, ada hal lain lagi yang menyebabkan antusiasme itu menurun, adalah mengenai terbangunnya persepsi, bahwa proses elektoral malah tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kebebasan sipil.

Tentu saja, persepsi itu bisa diperdebatkan. Namun, apabila kita menjadikan hasil dari penelusuran lembaga survey, sebagai basis argumen, persepsi demikian ditunjukkan dengan penurunan angka antusiasme, dalam hal ini terhadap pelaksanaan Pilkada tahun 2020, di angka yang mengejutkan.

Politik tanpa antusiame ini, disebabkan oleh akrobat kaum elite baik di level pusat maupun di daerah, seperti: perjumpaan dengan kaum oligarki, politik dinasti dan kepastian hukum. Politik tanpa antusiasme itu yang menjadikan seruan dari politisi untuk membela UU-PA tidak mendapatkan sambutan yang meriah. Bahkan tidak hanya itu, masyarakat kini, meminjam frasa dari James T. Scott, kemudian meresponsnya dengan perlawanan melalui dua hal: public dan hidden transcript.

Masyarakat Aceh lalu melakukan perlawanan baik terbuka atau melalui simbol-simbol pembangkangan terhadap seruan politisi tersebut. Pembangkangan itu, dengan cara tidak mempedulikan dan menjadikannya isu di ruang publik mereka. Perlawanan yang malah menjelaskan hal yan lebih penting, bahwa politik elektoral – dalam hal ini Pilkada di Aceh – merupakan kepentingan elite belaka.

Dengan dan tanpa Pilkada, tidak muncul keyakinan bahwa hidup masyarakat akan lebih baik lagi. Apabila hal ini terus berlanjut, yaitu hilangnya orientasi politik yang berkualitas karena hilangnya antusiasme, maka hal ini akan ikut mewarnai narasi hubungan Aceh-Jakarta di kemudian hari.

Ilustrasi: hipwallpaper.com

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya