Safir Iskandar Wijaya menghampiri Ali Hasjmy. Dengan sikap takzim, dia memegang tangan Hasjmy yang sudah sepuh. Melihat Safir mendampinginya, Hasjmy menceritakan kenangannya,
“Ayahmu dan pasukannyalah yang menjaga proyek pembangun kampus Darussalam.” Safir mendengar cerita itu mengangguk dengan dalam. “Ayahmu” yang dimaksud oleh Ali Hasjmy itu adalah Teuku Ubit.
Teuku Ubit merupakan intelegensia Aceh generasi awal. Dia merupakan siswa di Normal Islam School yang didirikan oleh Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Sekolah yang didirikan, seperti kata Nur el Ibrahimy, untuk melanjutkan agenda pembaharuan Islamnya Teungku Daud Beureueh.
Sebagai siswa Normal School, Teuku Ubit merupakan pembelajar yang telaten serta berani. Sikap beraninya itu dilukiskan dalam satu Peristiwa Subuh menjelang kejatuhan Belanda dan kedatang Jepang di Indonesia.
Saat itu, PUSA menjadi kelompok terdepan untuk menyambut kedatangan Jepang. Bagi organisasi keulamaan itu, kedatangan Jepang yang sudah di depan mata berimplikasi pada kejatuhan rezim kolonial Belanda yang telah meluluh lantakkan tidak hanya struktur sosial orang Aceh, bahkan telah ikut juga merobohkan rasa percaya diri orang Aceh.
Untuk mengembalikan itu semua, perlu ada tindakan revolusioner sebagai simbol mengusir Belanda dari tanah Aceh.
Dalam memoar Ali Hasjmy, gerakan revolusioner itu dilakukan pada satu subuh di Kota Seulimeum. Dipilihnya kota itu karena tempat bercokol pejabat tinggi Belanda di Aceh, Controleur Tiggelman. Penyerangan rumah Controleur Tiggelman yang berlangsung heroik itu dipimpin oleh Ketua Perguruan Tinggi Islam Keunalo, Teungku Abdul Wahab Seulimeum. Seperti yang dikenang oleh Hasjmy, sebelum penyerangan dilakukan, di hadapan para pemuda dan siswa madrasah, dibacakanlah Hikayat Perang Sabi oleh veteran Perang Aceh. Hikayat yang tentu saja menggelorakan setiap pemuda dan siswa yang berada di situ, salah satunya Teuku Ubit.
Dengan menggengam pedang panjang, dia mendatangi rumah dinas Controleur Tiggelman itu. Dibuatlah siasat agar pejabat kolonial itu turun dari rumahnya, setelah siasat itu berhasil, tanpa menunggu lama, Teuku Ubit melayangkan pedang itu ke tubuh Tiggelman yang tinggi besar itu.
Peristiwa subuh buta diingat dengan lekat oleh Ramli Gani. Dia merupakan anak tertua dari Ayah Gani. Teuku Ubit, kata Ramli Gani, setelah melayangkan pedang ke tubuh Tiggelman, mendapatkan tendangan tepat ke badannya yang jauh lebih kecil dari pejabat kolonial itu. Tendangan yang membuatnya jatuh terpelanting. Setelah peristiwa subuh itu, aparat kolonial mencari dalang dan pelaku sampai berminggu-minggu.
Setelah kedatangan Jepang, proklamasi kemerdekaan, revolusi nasional yang mengubah struktur sosial lama, Teuku Ubit tumbuh sebagai pemuda yang cakap. Sifat kecendekiawanannya yang dipupuk sejak bersekolah Normal Islam School dipadukan dengan kedisiplinannya sebagai anggota militer Republik Indonesia. Dari keseluruhan kisah Teuku Ubit itulah Safir Iskandar Wijaya hadir.
Safir bukan tipikal intelektual publik seperti koleganya, Fuad Mardhatillah. Namun, perkuliahannya begitu menyita perhatian para mahasiswanya. Subhan M. Isa, salah satu mahasiswanya di UIN Ar-Raniry, mengingat Safir sebagai akademisi yang rasional:
“Saya melihat beliau sosok seorang guru yang ideal. Beliau juga seorang yang sangat rasional dalam melihat persoalan-persoalan dalam kehidupan, serta mampu melakukan kontekstual atas teks sehingga perkuliahan yang disampaikan selalu memiliki sisi baru dalam kehidupan dan dari aspek aktualisasi nilai agama. Hal ini tentu saja sangat menginspirasi pemikiran mahasiswa dalam membangun narasi dan diskusi yang berkaitan dengan agama dan peradaban.”
Safir belajar teologi dan filsafat di UIN Jakarta kepada Harun Nasution. Tipikal Harun yang mengutamakan kehebatan rasionalitas begitu memukau Safir. Di bawah bimbingan Harun Nasution, dia menulis disertasi mengenai kalam dan filsafat Fakhr al Din Al Razi.
Bagi dosen generasi kedua UIN Ar-Raniry, Harun Nasution memiliki peran besar dalam mendorong kemajuan berpikir. Tarmizi, salah satu ahli hadis di kampus tersebut, mengingat cara mengajar Harun Nasution yang artikulatif ketika menjelaskan sejarah pertumbuhan ilmu kalam. Harun Nasution memiliki jasa untuk menempatkan bahwa ragam mazhab kalam itu lahir dari sengketa politik dan tumbuh lingkup kesejarahan. Dengan tesis demikian, kalam bukanlah sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit sehingga tidak diletakkan sebagai dogma yang kaku.
Kepada Harun Nasution itulah sarjana dari UIN Ar Raniry, seperti Safir Iskandar Wijaya, Rusjdi Ali Muhammad, Daniel Djuned, Arbiah Lubis, dan A. Karim Syeikh, datang untuk belajar. Angkatan ini menjadi akademisi penting di UIN Ar-Raniry dalam beberapa dekade. Arbiyah Lubis menjadikan sejarah sebagai bacaan kritis. Salah satunya, ketika dia meluruskan pandangan mengenai arti futuhat yang banyak dipahami sebagai penaklukan, padahal – dengan mengutip Nurcholish Madjid, arti futuhat itu adalah pembebasan. Pemaknaan demikian tentulah memberi implikasi yang tidak sederhana dalam memahami gerak sejarah dan peradaban Islam. Dapat dipastikan, dari Harun Nasution, beberapa kali Arbiyah Lubis menyebut namanya dalam perkuliahan, mendapatkan inspirasinya.
Begitu juga dengan Safir. Penguasaannya yang baik terhadap kitab-kitab klasik Islam telah membuatnya menampilkan wawasan Islam yang luas. Ada semangat pembaharuan dalam dirinya yang tumbuh dalam ingatan besar tentang PUSA sekaligus tradisi intelektual kritis dari tangan Harun Nasution di UIN Jakarta. Dari dua modal kultural itulah Safir diingat namanya sebagai intelektual progresif Islam Indonesia. Safir adalah puzzle yang tidak terpisahkan dari peta besar pembaharuan Islam di Indonesia. Kita, di Aceh, bangga akan hal itu.