STYOut?

Saya mencoba memahami keresahan yang berujung kemarahan dari Fadli. Tentu saja, apa yang disuarakannya itu merupakan bentuk keinginan agar sepak bola Indonesia terus membaik dalam pengertian sesungguhnya, bukan melulu artIfisial. Fadli, yang awalnya memberi dukungan kepada keputusan STY untuk memutus satu generasi, kini bereaksi terhadap pelatih yang membawa Korsel memulangkan Jerman empat tahun lalu di Rusia.

Apa yang Fadli inginkan mengenai kemajuan sepak bola merupakan keinginan kita semua, termasuk saya. Apalagi, dalam konteks tim nasional, kita sudah jengah untuk selalu menjadi penonton ketika negara lain mengangkat tropi.

Saya, acapkali melihat timnas tertunduk lesu di babak final, selalu melayangkan ingatan ketika abang saya, Numairi Muchtar, menjadi orang yang paling antusias menyaksikan adu tendangan penalti di babak final Sea Games 1991. Tidak cukup dari TVRI, dia mengambil radio untuk mendengarkan siaran RRI yang melaporkan beberapa detik lebih cepat, guna mengetahui apakah Eddy Harto berhasil menahan tendangan penalti pemain Thailand atau tidak.

Setelah final di Manila itu, kita hanya menyaksikan final demi final di mana timnas Indonesia menjadi tim yang nyaris juara. Nyaris tentu saja tidak sama sekali. Nyaris juara turnamen berarti tidak juara. Pelatih datang silih berganti, tetapi tetap saja sepak bola kita di ajang turnamen, baik di wilayah ASEAN maupun Asia, menjadi pencundang.

Sampai kemudian Shin Tae Yong datang.

Awalnya, STY di bawah bayang-bayang Luis Milla. Pelatih asal Spanyol ini berhasil membuat pendukung sepak bola Indonesia mengharu-biru. Timnas Indonesia disulap menjadi kesebelasan yang memikat. Di bawah kendalinya, Timnas berubah menjadi kesatuan yang enak dilihat. Bukan hanya karena keindahan sepak bola yang dipertontonkan, melainkan juga mentalitas yang dipupuknya. Luis Milla memang tidak berhasil membawa Timnas menjadi pemuncak pertama. Namun, hal itu tidak menjadi masalah bagi para pendukung. Dia diberi waktu lebih lama. Namun, keinginan itu tidak terwujdu karena kemudian federasi memutus kontraknya.

Pendukung timnas pun patah hati. Kualitas Timnas Indonesia pun terjun bebas. Lalu, Shin Tae Yong datang menyelamatkan dan memperbaiki kualitas timnas.

Apakah STY berhasil? Apakah dia lebih baik dari Luis Milla?

Melihat pencapaian Timnas sejauh ini, kita harus mengakui — kecuali Anatoli Polosin dan Bertje Matulapelwa, STY memberikan masa depan yang lebih cerah. Dua turnamen penting berhasil diikuti. Beberapa pertandingan persehabatan resmi FIFA dilalui dengan baik. Timnas juga mulai kembali dihormati di kawasan ASEAN.

Lalu, mengapa Fadli menunjukkan kemarahan begitu rupa dalam tulisannya itu. Apakah Fadli memang menangkap usulan 14 pemain naturalisasi itu sebagai permintaan utuh dari STY. Bagaimana kalau kita mencoba menerka kalau hal merupakan tawaran tinggi dari STY untuk memilih pemain yang benar-benar terbaik.

Saya, tentu saja, dapat memahami mengapa Fadli melakukan kritik sedemikian hebat karena STY melakukan bukan untuk Timnas Senior, melainkan untuk Timnas U-20, yang seharusnya menjadi ajang pembinaan untuk kerangka Timnas Indonesia secara jangka panjang. STY, yang diharapkan oleh Fadli, melakukan hal itu, baik dengan kemampuannya maupun pengalamannya. Dalam benak Fadli, saya mencoba membaca lebih seksama, apa yang dilakukan oleh STY — dengan proyek naturalisasinya — adalah untuk mengejar prestasi kuantitatif. Hal yang tentu saja akan menjadi bom waktu bagi sepak bola Indonesia selepas STY menunaikan tugasnya.

Namun, seperti yang kita ketahui bersama –Fadli pastilah lebih memahami dengan baik — apa yang bisa kita harapkan dari proyek kualitatif STY untuk Timnas di saat kita memilik federasi yang buruk. Bukankah sepanjang hidupnya Fadli melakukan kritik keras terhadap ulah federasi itu. STY, hemat saya, walaupun datang dari negara yang lebih tertata, pastilah dapat membaca kalau federasi sepak bola di Indonesia susah untuk diajak bicara. Oleh karenanya, dia melakukan jalan pintas, seperti memotong stau generasi dan mendorong proyek naturalisasi.

Kemarahan Fadli tersebut saya kira patut disampaikan karena berfungsi sebagai pengingat. STY tidak boleh tidak tersentuh, kira-kira Fadli hendak mengatakan itu. Jangan jadikan STY seperti sosok yang imun dari kritikan. Hal tersebut tidak baik untuk sepak bola Indonesia. Itu pesan dari Fadli. Saya memahami sekali. Namun, lagi-lagi, STY sedang berada di sebuah negara yang penduduknya mencintai sepak bola satu tingkat di bawah agama; STY juga sedang berada di sebuah negara yang dihuni oleh pemain-pemain berbakat; sekaligus, STY sedang menghadapi federasi yang sedemikian akut.

Atas situasi itulah, STY melakukan pembelokan dan lompatan yang bisa saja tidak populis. Akan tetapi, kita seperti dihadapkan pada sebuah pilihan: jalan STY inilah yang mungkin akan mengeluarkan kita dari labirin kegagalan. Mungkin, lagi dan lagi, kita memberi harus memberi kesempatan kepadanya. Mana tahu, iya, mana tahu, kali ini sepak bola Indonesia akan menemukan sejarahnya.

Baca Juga

Maharaja

“Bila sedang berada di puncak gunung, buatlah suara-suara yang merdu. Karena semua teriakan akan kembali padamu.” (Jalaluddin Rumi) Saya baru saja menonton film Maharaja yang

Sekuler

Beberapa hari lalu ada kuliah umum. Pembicaranya adalah seorang guru besar. Banyak wawasan baru yang didapatkan dari menyimak kuliah umum itu. Di antaranya adalah mengenai

Kamis Kedua Terakhir (Bagian Pertama)

  Saat duduk di teras depan rumahnya, Apa Cantoi mengenang hari lebaran yang telah lewat beberapa hari lalu. Dia ingin sekali kembali pada hari-hari yang

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.