Tanpa Sepak Bola, Indonesia Suram (3)

Perasaan murung pastilah dirasakan penggemar sepak bola tanah setelah Timnas dikalahkan Thailand 0-4. Kita kalah segalanya: teknik, skill, mental, endurance, dan kerja sama tim. Ada juga yang bersorak-sorai, tetapi sepertinya segelintir saja. Sorak-sorainya pun itu biasanya karena jengah dengan harapan Timnas menjadi kampiun atau ingin melihat sepak bola Indonesia secara realistis.

Beberapa teman mengirim pesan ke saya atas kekalahan tersebut, tetapi saya bertanya kembali, bukankah kita lebih terbiasa melihat kekalahan di babak final daripada sebaliknya. Kapan kita pernah merayakan dengan gembira kemenangan di final setelah Sea Games 1991. Nyaris juara yang selalu lebih datang lebih akrab: Final Sea Games 1997, Final AFF 2010, dan Final Sea Games 2011. Padahal dari ketiga final itu Timnas difavoritkan juara.

Pada gelaran AFF 2020 ini, Timnas Indonesia tiba di Singapura dengan status yang tidak diunggulkan. Datang dengan mayoritas pemain muda, Timnas Indonesia tidak diberi ekspektasi terlalu besar asalkan menampilkan permainan yang semakin meningkat di bawah rezim Shin Tae-yong.

Hal tersebut berhasil dilakukan, menjadi juara Grup B dengan mengatasi Vietnam dan Malayasia — dua tim yang sebenarnya lebih diunggulkan. Kemudian, tiba di final dengan kerangka tim yang baru saja dibentuk merupakan hal yang harus diapresiasi dengan positif, tanpa perlu menumpahkan rasa frustasi berlebihan untuk tim yang sebagian besar dari personilnya masih bisa bermain di AFF U-23 dan Sea Games tahun depan.

Asa itu yang harusnya kita jaga bersama-sama. Bahwa ada rasa kecewa dengan skor yang terpampang di layar kaca, tentu saja dapat dipahami. Enam kali masuk final Piala AFF harusnya tidak melulu menjadi runner up. Namun, kembali menjadi pemuncak kedua harus diterima dengan lapang dada. Melihat cara Thailand bermain di leg-1, berharap keajaiban pun sepertinya tidak ada dalam rumus pada perjumpaan kedua nanti.

Publik sepak bola Indonesia, yang sedari awal tidak meletakkan ekspektasi tinggi kepada tim ini, hanya meminta kepada Asnawi, Egy, Witan, Irianto, Kambuaya, Arhan, Rumakiek, Dewangga, dan yang lainnya untuk kembali bergembira di lapangan seperti pertandingan-pertandingan sebelumnya. Tunjukkan kembali daya juang, bermain tanpa rasa takut, dan rasa percaya diri yang tinggi.

Di bawah rezim Shin Tae-yong, Timnas ini memiliki masa depan yang cerah.

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya