Babe Sabeni mengajak keluarganya berkunjung ke tanah leluhurnya. Tempat, seperti ujarnya di depan istri dan anak-anaknya, dia dilahirkan dan tumbuh. Dengan oplet tuanya, mereka tiba di tempat itu, tapi bukan sebuah perkampungan yang ada dalam endapan pikiran Babe Sabeni, melainkan sebuah stadion besar yang menjulang tinggi besar. Dia tetap mengajak keluarganya untuk memasuki stadion itu, lalu menggelar tikar di depan gawang dari pertandingan yang sedang dimainkan. Tidak lama, datang seorang pelatih untuk menegur dan meminta mereka pergi meninggalkan lapangan yang sedang digunakan untuk berlatih. Sambil menggerutu, Babe Sabeni mengatakan, “Latihan mulu, menang kagak!”
Potongan adegan itu berasal dari sinetron yang telah menjadi klasik, Si Doel Anak Sekolahan. Ucapan Babe Sabeni, yang diperankan oleh Benjamin Sueb, begitu melegenda karena selalu muncul acapkali Timnas menderita kekalahan, seperti yang terjadi pada final AFF 2020 di Leg-1. Ucapan yang mendapatkan daya tonjoknya karena skor yang terpampang begitu mencolok, 0-4, sampai-sampai membuat Shin Tae-yong harus mengatakan dia ingin Timnas keluar dari turnamen tersebut dengan kepala tegak. Dia seperti hendak mengatakan perjalanan Timnas yang diisi oleh mayoritas pemain muda itu sudah berakhir.
Apa yang diucapkan oleh Babe Sabeni adalah ungkapan rasa frustasi dan eskpektasi dalam satu tarikan nafas. Ada paradoks. Tetapi begitulah sepak bola tumbuh dalam nadi negara ini. Semua tahu, bahwa di balik kesenangan — bahkan kegilaan — dan bakat yang dimiliki warga negara ini terhadap sepak bola, kita memiliki pengelolaan sepak bola yang buruk: mafia, judi, federasi yang tidak cakap, kekerasan antar suporter, liga yang amburadul, dan sederetan ketimpangan lainnya. Namun, tetap saja, ketika Timnas bertanding, espektasi bahwa Timnas akan melambung tinggi menjadi juara tidak dapat dibendung, akan tetapi, selalu saja, hal itu berbalik dengan cepat. Eskpektasi berubah menjadi kekecewaan.
“Mencintai Timnas adalah sengaja memilih patah hati berkali-kali,” tulis teman saya di IG Storynya beberapa jam setelah Asnawi dan kawan-kawannya dibekuk Thailand. “Kekalahan itu tidak membuat saya sakit hati. Namun, kalah dengan skor 0-4, membuat saya kehilangan selera makan dan susah tidur. Waktu teringat kalah pertandingan semalam, membuat saya kehilangan semangat untuk hidup,” begitu pesan Whats’App dari seorang teman.
Salah satu akun Youtube Sunendra Jaya mengupload kompilasi video reaksi fans Indonesia setelah kalah telak dari Thailand. Ada yang mengamuk sampai membanting televisinya. Ada juga seorang fans perempuan menangis pilu seperti tidak menerima hasil akhir demikian. Di tempat lain ada yang mematikan televisi sebelum pertandingan selesai. Namun, ada juga seorang fans yang menunjuk dadanya seraya berkata apa pun hasilnya dia tetap berada bersama dengan Timnas sambil mengarahkan rasa hormat ke patung burung Garuda.
Menyelesaikan turnamen dengan kepala tegak, seperti kata Shin Tae-yong, sepertinya menjadi harga mati. Asnawi, Witan, Egy, Kambuaya, Irianto, dan deretan pemain lainnya harus kembali kepada cara mereka bermain bola seperti laga-laga sebelumnya. Tidak hanya penting untuk mereka dan tim kepelatihan dalam mengembalikan rasa percaya diri, tetapi juga untuk para penggemar yang selalu tidak pernah pergi meninggalkan Timnas, apa pun hasilnya.
Terlebih, perasaan yang pernah hadir untuk era Luis Milla sebelum dibunuh oleh federasi, dukungan penuh dari segenap elemen sepak bola Indonesia untuk rezim Shin Tae-yong supaya tetap bersama Timnas, guna membangun kerangka tim yang lebih solid di masa mendatang.
Harapan yang sudah semestinya diamini. Mengingat hanya melalui sepak bola, kita bisa kembali hadir sebagai satu bangsa, tanpa sekat dan tanpa jarak.