Setelah menonton wawancara Shin Tae-yong dengan televisi Korea Selatan, saya menangkap, jangan-jangan, Shing Tae-yong akan membuat batasan umur pemain Timnas Indonesia senior tidak lebih dari 25 tahun. Kalaupun, Shin Tae-yong membatasi umur pemain Timnas senior di bawah 25 tahun — walau hal itu hampir-hampir tidak terjadi — amatlah bagus. Saya mendukung. Sebab, usia demikian dalam masyarakat Indonesia sudah disibukkan dengan hal-hal di luar urusan sepak bola: bayar token listrik, biaya sekolah anak, bayar rumah KPR, gotong royong, reunian, rapat rutin di mushalla kompleks, dan seabrek urusan khas masyarakat komunal.
Dalam wawancaranya itu pula, dia mengatakan kalau Timnas Indonesia pernah menjadi tim dengan usia rata-rata pemain paling tua di Asia Tenggara. Shin Tae-yong pun kemudian membuat Timnas Indonesia dihuni oleh pemain muda dengan rata-rata umur 21,5 tahun.
Pelatih asal Korea Selatan itu percaya kalau kerangka Timnas Indonesia harus dibangun dengan pemain muda supaya lebih kuat di masa depan. Langkah Shin Tae Yong itu sangatlah tepat. Entah dia pernah membaca — atau mendengar — kalau para penggemar Timnas Indonesia sering bertanya sekaligus mengeluh, mengapa Timnas Indonesia selalu bermain bagus dan menawan ketika di kelompok umur, tetapi selalu jeblok ketika berada di Timnas senior.
Kita masih ingat betapa Tim Primavera sangat menjanjikan selama mereka ditempa di Italia. Sampai-sampai kita melihat kalau kerangka tim besutan Danurwindo itu akan membawa sepak bola Indonesia terbang ke langit. Hasilnya? Jauh dari impian. Paling akhir tentu saja Timnas U-19 era Evan Dimas. Tim yang pernah mengharu-birukan jagat sepak bola tanah air dengan menjuarai Piala AFF U-19 dan lolos ke Piala Asia. Lolos ke turnamen besar itu pun tidak main-main: mengalahkan Korea Selatan di GBK! Kini? Hanya menyisakan Evan Dimas yang malah lebih sering jadi pelapisnya Erianto sepanjang AFF 2020 lalu.
Selalu saja kita berhadapan dengan situasi demikian, bermain apik di waktu muda, menjadi payah di waktu beranjak usia. Lalu, orang-orang akan mengatakan kalau pembinaan sepak bola kita belum menyentuh sistem modern. Benar kalau Indonesia dianugerahi talenta hebat, tetapi talenta dan bakat saja tidaklah cukup kalau bukan tumbuh dalam kultur sepak bola modern yang meniscayakan pembinaan secara rapi. Indonesia — kata para pakar — belumlah berada tahap itu.
Selanjutnya, gagalnya pembinaan pemain karena kita memiliki persoalan dalam pengelolaan sistem kompetisi. Liga sepak bola Indonesia yang amburadul. Mungkin salah satu paling ambyar sedunia: jadwal liga yang tidak beraturan, sponsor yang segan hadir, tawuran antar pemain, kekerasan antar penonton, dan pengaturan skor. Ditambah, sepak bola kita juga dibekap oleh rendahnya etos.
Salah seorang pemain asing pernah mengatakan kalau impian pemain sepak bola Indonesia tidaklah tinggi. Asal sudah bisa memenuhi kehidupannya, maka hal tersebut sudahlah cukup. Itulah kenapa kita angkat salut kepada Asnawi karena dia lebih memilih bermain di liga Korea walau nilai kontraknya lebih rendah dari PSM Makassar. Asnawi memilih untuk melampaui batas kemampuannya dengan bermain di liga yang lebih kompetitif.