Tidak sulit memahami mengapa, pada akhirnya, Teuku Taufiqulhadi, Ketua Partai Nasdem Aceh, meminta maaf dan mencabut pernyataannya mengenai perlunya bank konvensional dihadirkan kembali ke Aceh. Pernyataannya menimbulkan polemik. Ramai yang mengecam, tetapi tidak kurang yang ikut membela, serta turut serta dalam percakapan itu, seperti yang dilakukan oleh Khairil Miswar melalui esainya di Serambi Indonesia, Sakralisasi Qanun-Qanun Syariat.
Dalam bacaan sederhana, sikap Taufiqulhadi untuk meminta maaf dan mencabut pernyataan tersebut dapat dilihat demi menyelamatkan kapal politiknya dari batu karang besar yang dapat merobek-robek elektabilitas yang sedang terbangun. Bukankah sebelumnya, Taufiqulhadi telah membuat Partai Nasdem Aceh mendapat tepuk tangan meriah di provinsi ini setelah mendorong Anies Baswedan menjadi calon presiden. Upaya yang berhasil. Sampai-sampai, dalam pidato resminya sebagai calon presiden, Anies mengutip frasa dari Aceh, Jadda wa Jaddi. Frasa yang secara simbolik menjelaskan kedekatan secara psikologis antara Anies Baswedan dengan Aceh.
Hal itu, tentu saja, menjadi modal elektoral bagi Partai Nasdem setelah pada Pemilu sebelumnya babak belur dihantam isu politik identitas. Modal yang harusnya terus dijaga sampai penghelatan Pemilu diadakan. Namun, Taufiqulhadi, secara politik, mengganggu pesta yang akan berlangsung. Saya bisa menebak-nebak, bagaimana suasana kebatinan fungsionaris Partai Nasdem dalam dua hari terakhir ini, sampai kemudian Taufiqulhadi menyampaikan permintaan maafnya.
Namun, yang hendak saya kejar dalam esai ini bukanlah mengenai permintaan maaf yang sebenarnya sudah bisa diterka cepat atau lambat akan dilakukan, melainkan tentang sebuah pertanyaan mengapa Taufiqulhadi memutuskan untuk mengucapkan hal di atas: meminta bank konvensional kembali ke Aceh. Tentulah, bagi seorang wartawan cum intelektual publik, tidak mungkin Taufiqulhadi mengabaikan kenyataan sosiologis bahwa setelah tahun 2010, Aceh mengalami pengerasan identitas Islam. Kalau pun hal tersebut terlewatkan olehnya, kita patut memeriksa penyebabnya.
Secara pribadi, saya tidak mengenal Taufiqulhadi, kecuali membaca namanya kali pertama pada sampul buku yang ditulisnya, Ironi Satu Kota Tiga Tuhan: Deskripsi Jurnalistik di Yerussalem. Buku ini, pertama kali diterbitkan oleh Paramadina di tahun 2000. Lalu, dicetak ulang oleh Krumbok Publishing di tahun 2017. Melalui buku itu, kita dapat memahami kalau Taufiqulhadi merupakan orang yang memiliki perhatian besar pada isu-isu global. Hal yang sangat mungkin terjadi, mengingat pergaulan luasnya sejak muda berada di episentrum intelektual dan politik di Jakartasetelah bergabung dengan koran Media Indonesia.
Dalam tulisannya mengenai Surya Paloh beberapa hari yang lalu, “Surya Paloh itu Bukan Seperti Rakit Batang Pisang” memberi beberapa informasi bahwa kritisisme, jejaring, dan wawasannya telah terbangun sejak Taufiqulhadi meniti karier sebagai jurnalis di media itu, “…Meski pun demikian, Bang Surya meminta saya untuk tidak bertugas lagi di desk perburuhan tapi ia minta saya untuk bergabung di desk diplomatik dan internasional. Ia membesarkan hati saya, desk diplomatik itu akan membukakan wawasan saya lebih lebar. Sejak itu, saya menjadi wartawan perang yang juga sangat saya nikmati.”
Akan tetapi, persoalannya ternyata muncul dari situ, ketika kita membaca ulang pernyataannya mengenai keberadaan ulang bank konvensional di Aceh, bahwa Tauiqulhadi tidak melakukan pembacaan secara ekstensif tentang Aceh yang terus berubah. Bisa jadi, dengan melepaskan variable bahwa Tafiqulhadi pernah menjadi caleg PPP pada Pemilu 2009, Taufiqulhadi masih membayangkan Aceh yang sama ketika dia menyeberang ke Jember. Sejak itu, Taufiqulhadi tidak pernah “kembali” ke Aceh, baik secara intelektual maupun sosial.
Apa yang dialami oleh Taufiqulhadi adalah ketercerabutannya dari tanah asal. Pengalaman baru yang membentuknya telah membuatnya berjarak dengan Aceh sehingga Taufiqulhadi, seperti tanpa beban, mengucapkan tentang pentingnya bank konvensional kembali ke Aceh guna adanya perbaikan ekonomi. Hemat saya, Taufiqulhadi, yang telah berjarak, mengabaikan hal-hal penting yang terjadi dalam dua dekade terakhir di Aceh: menguatnya identitas etnik dan agama. Pengabaian itu lalu membuatnya mendapat hantaman yang menarik endapan kesadarannya sebagai orang Aceh. “”Baik sebagai pribadi, sebagai putra Aceh, maupun selaku Ketua DPW Partai Nasdem Aceh, kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-sebesarnya kepada segenap masyarakat,” tulisnya dalam pernyataan permintaan maaf.
Namun, secara sosiologis, polemik yang didorong tanpa sengaja oleh Taufiqulhadi itu menjelaskan satu hal penting, selain pengerasan identitas di atas, bahwa partai politik memiliki tanggung jawab untuk membuka percakapan di ruang publik secara sehat. Betapa pun beratnya.