Tentang Islamisme yang Kesekian Kalinya

Sepertinya, setiap orang pernah menjadi Islamis. Atau, pernah tertarik terhadap pandangan kesatuan Islam dan politik itu. Ada yang bertahan sampai akhir usianya, tetapi ada juga yang berbelok haluan, bahkan menjadi pengkritik keras ide-ide Islamisme itu. Asef Bayat menyebutnya sebagai fenomena post-islamisme.

Saya pernah akrab dengan aktivitas dan gagasan Islamisme. Beberapa teman dekat juga mengalami pengalaman serupa. Ketika saya hendak memahami tentang keterlibatan saya tersebut, seorang teman yang juga sudah berpisah jalan dengan gagasan Islamisme, mengatakan, “karena kita tumbuh di zaman itu. Kita anak zaman.”

Sebagai sebuah objek material, Islamisme adalah fenomena modern. Debat tentang ini panjang sekali. Sebab, pikiran mengenai hubungan Islam dan negara — sebagai gagasan utama Islamisme — tiba sebagai respons terhadap kolonialisme negara Eropa di negeri-negeri muslim. Sebagai seorang yang pernah akrab dengan aktivisme Islamis dan literatur Islamis, saya mencoba memahami tentang gerakan tersebut dengan lebih hati-hati. Sebab belakangan ini, saya melihat kalau Islamisme diberi kesimpulan bahwa itu merupakan populisme. Tidak lebih.

Awalnya, saya mencoba mempercayai postulat itu, tetapi sepertinya tidak adil. Apalagi kalau melihat agama dalam kacamata politik ekonomi. Kebingungan saya lalu diamini oleh Amin Muzakkir. Dia santri. Saya mengenalnya dari laman fesbuk. Tulisan-tulisannya belakangan ini, mencoba bertindak lebih adil kepada fenomena Islamisme yang semakin hari semakin kuat pula. Bebera esainya memberi krirtik tajam kepada negara dan pikiran sekular dalam melihat keberadaan di ruang publik di Indonesia.

Mohammad Said, yang juga seorang santri, memiliki pandangan kalau Islamisme dilihat dengan kacamata melulu dari negara sepertinya tidak akan menjelaskan apapun. Satu waktu, Said menulis tepatnya mereview satu buku klasik kuntowijoyo, muslim tanpa masjid. Said memberikan krtik terhadap Kunto sekaligus memahami, ketika Kunto melihat generasi muda Muslim Indonesia tumbuh sendiri dengan otonominya. Pertumbuhan demikian, dilihat oleh Kunto lihat sebagai kebangkitan Islam dalam kacamata positif. Tentu saja, Kunto alpa terhadap fenomena generasi muda saat itu yang bersentuhan ide-ide Islam trans-nasional, yang malah lebih memberikan warna terhadap Muslim perkotaan di masa-masa berikutnya.

Satu waktu, teman saya mengirim pesan, dia bertanya tentang kehadiran Masyumi reborn. Saya menjawabnya dengan fenomena hubungan patron dan klien di era post-truth, “Benar kalau di era sekarang, berpartai itu berbiaya besar, tetapi, ada hal menarik sejak era algoritma ini: otoritas pemimpin organisasi Muslim tidak lagi otomatis didengar oleh warganya, terutama organisasi basisnya santri perkotaan. Ditambah, sekarang umat dapat memilih ulama, bahkan memilih tafsir agama yang “dikehendaki.” Jawaban saya itu juga sekaligus memberi penjelasan mengenai pemimpin agama yang ditinggalkan umat ketika berbeda pilihan politik. Saya tidak mau terlalu cepat mengatakan Masyumi reborn itu akan hilang seperti yang terjadi dalam pengalaman elektoral di masa lalu. Sebab, kini ekspresi kanan Islam semakin artikulatif. Lagipula, ekspresi Islam politik tidak hanya tentang Masyumi Reborn, tetapi juga PKS yang semakin solid, bahkan di level yang lebih kecil, muncul partai lokal — Partai Islam Aceh — yang berterus terang mengenai pandangan politik Islamismenya tersebut.

Ilustrasi: Graphitepublication

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya