Saya tidak menonton ketika Ribut Waidi mencetak gol ke gawang Raimi Jamil. Tendangan menyusur tanah dari Ribut Waidi itu membawa Indonesia mengalahkan Malaysia di final Sea Games Jakarta 1987. Kemenangan yang sekaligus membalas kekalahan di tempat yang sama, enam tahun lalu. Walaupun demikian, saya tidak merasa asing dengan nama-nama pemain yang menjadi anggota timnas kala itu. Alasannya sederhana, abang saya, Numairi, yang membawa saya berkelana ke dalam seluk beluk olahraga ini.
Dia, sedari remaja, mengenal dengan baik sepak bola, tidak hanya sebagai pemain, tetapi juga penggemar yang fanatik. Karena itu, memori masa kecil saya melihat potongan tabloid BOLA yang dibelinya, salah satunya adalah susunan pemain timnas Indonesia yang menjadi juara Sea Games: Ponirin Meka, Rully Nere, Ribut Waidi, Azhari Rangkuti, Ricky Yacob, Hery Kiswanto, dan Marzuki Nyakmad.
Satu kali, dia pulang dengan mata berbinar-binar, “Tadi, lihat langsung Azhari Rangkuti di Stadion Lampineung,”katanya dengan antusias. Saat itu, Azhari Rangkuti ikut dalam turnamen Piala Cakradonya bersama Persija Jakarta.
Selanjutnya, ingatan saya tentang timnas Indonesia tentu saja dua perasaan yang sangat berbeda jauh: gembira dan berduka. Gembira karena melihat Eddy Harto menahan tendangan penalti Suskok; berduka karena melihat tendangan penalti Uston Nawawi melambung di atas mistar gawang.
***
“Melihat timnas sampai ke kotak penalti Jepang adalah “sesuatu,”” kata Teuku Fadli melalui pesan WhatsAppnya. “Sesuatu” yang dimaksud olehnya tentu saja harus dibaca dengan kemampuan semiotika dan sejarah yang tinggi, tanpa dua hal itu, kemampuan pemain timnas untuk tiba ke kotak penalti Jepang tidak akan mampu dipahami.
Untuk memahami hal itu dengan baik maka pandangan kita haruslah terbang jauh ke belakang pada ayunan tangan Sobur.
Sobur adalah kiper Persib di final Divisi Utama Perserikatan 1985. Saat itu, Persib kalah dari PSMS Medan. Walaupun kalah, nama Sobur dielu-elukan oleh anak-anak Indonesia kala itu, salah satunya oleh Fadli. “Ayunan tangan Sobur saat adu tendangan penalti saat berkesan kala itu, “akunya.
Fadli, dan tentu saja Win Wan Nur, adalah dua orang yang datang dari zaman yang sama. Keduanya sudah melihat timnas Indonesia yang selalu saja menjadi korban pembantaian dan kisah-kisah kekalahan. Dua orang itu kini menjadi pihak terdepan membela perkembangan timnas Indonesia saat ini di bawah asuhan Shin Tae Yong.
Pembelaan yang wajar karena dua orang ini mewakili zaman yang pernah melihat timnas Indonesia sudah kalah terlebih dahulu sebelum tiba ke lapangan, bahkan oleh tim-tim di Asia Tenggara sekali pun. Bagi keduanya, kemenangan dan permainan menawan seperti mimpi yang tiada berkesudahan.
Sekarang, kita melihat bersama timnas bukan seperti masa lalu. Di depan mata kita, sebelas pemain timnas tampil percaya diri di hadapan tim-tim yang sudah terbiasa bertanding di Piala Dunia. Tanpa rasa takut.
Lihat saja statistik babak pertama pertandingan melawan Australia di babak 16 besar Piala Asia. Siapa yang pernah membayangkan ada lima tembakan ke gawang yang dilesakkan oleh Marcelino dan kawan-kawan. Hal yang dahulu untuk dibayangkan saja tampak sulit.
Jangan-jangan, perasaan seluruh warga Indonesia terhadap timnas hari ini seperti dahulu ketika era Ramang masih ada di atas lapangan. Era di mana sepak bola Indonesia masih ditatap dengan perasaan kagum oleh fan dan takut oleh lawannya.