Timur Tengah, seperti juga Barat, adalah konsep yang berkaitan dengan sejarah, agama, ideologi, perjuangan, dan harapan. Terutama untuk kita di Indonesia, Timur Tengah merupakan satu “kawasan” yang sangat dihormati karena ianya datang dengan membawa satu hal yang sakral: agama. Itu juga yang menjadi alasan mengapa sesuatu yang berbau Timur Tengah, walaupun bukan agama, dihormati sedemikian rupa, bahkan dalam taraf tertentu, berlebihan.
Apakah sejak dahulu kita memperlakukan Timur Tengah sedemikian hormat tanpa syarat. Atau hal tersebut merupakan hal baru.
Untuk menjawab itu, kita perlu kembali ke masa-masa awal bangsa ini tumbuh melalui sosok Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka.
Karim Amrullah juga dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Peranannya di Sumatra Barat dalam melakukan pembaharuan Islam di Indonesia sangatlah besar. Dapatlah disebut, Karim Amrullah, seperti juga Daud Beureueh di Aceh, dan Ahmad Dahlan di Yogyakarta, sebagai tiga pendekar pembaharuan Islam di Nusantara.
Dalam memoarnya yang ditulis oleh Hamka, Karim Amrullah menunjukkan otonomi seorang terpelajar Indonesia di hadapan “sakralitas” Timur Tengah yang bernama Syeikh Basyid. Seorang ulama di Mesir, yang menurut Karim Amrullah, “Syeikh Basyid itu datang ke dalam kongres, datang dengan penuh kemegahan, jubahnya hampir menyapu jalan, semua orang berdiri dari majelisnya memberi hormat dan banyak yang mencium tangannya.”
Saat itu, Karim Amrullah bersama delegasi lainnya dari Indonesia mengikuti Komite Khalifah. Satu komite yang dibentuk pasca keruntuhan Dinasti Ottoman di Turki. Yang membuat jengkel Karim Amrullah terhadap Syeikh Basyid adalah sikapnya yang jumawa. Syeikh Basyid bukannya berpidato tentang eksistensi khalifah, melainkan tentang hukum-hukum fiqh. “… Seakan-akan orang yang hadir semua dipandangnya ‘anak-anak mengaji’ yang baru mengaji permulaan,” kata Karim Amrullah.
Puncak dari kejengkelan Karim Amrullah membuatnya menginterupsi Syeikh Basyid. “Saya minta berbicara, Tuan Ketua.”
Karim Amrullah mengkritik secara terbuka sikap Syeikh Basyid itu. Kritik yang membuat hadirin di kongres itu tercengang. “Semua mata melongo kepada saya. Jubah-jubah, serban, tarbus, melongo ke belakang. Saya terpaksa tegak di atas kursi, sebab kursi besar dan saya kecil badannya, padahal utusan itu besar-besar badannya,” tukas Karim Amrullah.
Hamka mengenang kisah dari ayahnya itu. Hamka menambahkan efek keterkejutan para ulama Mesir kala itu pada tindakan Karim Amrullah karena ulama dari tanah Sumatra itu hadir dengan berpakaian “Effendi.” Karim Amrullah saat itu memakai dasi, jas, dan tarbus. Khas ulama muda atau intelektual yang mengapresiasi kemoderenan. Di saat yang sama, pada saat kongres itu berlangsung, Mesir sedang mengalami ketegangan dengan munculnya intelektual progresif yang ditentang oleh ulama konservatif.
Karim Amrullah adalah salah satu contoh dari ulama di Nusantara yang memandang dirinya secara utuh. Kealiman membuat dirinya berdiri tegak di hadapan pemegang sosok yang merasa paling paham agama karena kedudukannya di pusat Islam, sedangkan Karim ada di pinggiran Islam.
Indonesia, sebagai bagian dari Asia Tenggara, memang tidak dilihat sebagai representasi Islam, betapa pun secara kuantitas angka muslimnya tinggi. “Indonesia,” kata Cak Nur, “adalah negara muslim yang tidak terarabkan.” Karena keadaan itulah, secara psikologis, eskpresi muslim di Indonesia dipandang tidaklah murni mewakili Islam.
Posisi yang tentunya dilematis sehingga membuat Azyumardi Azra harus melakukan konstruksi sejarah dan kebudayaan untuk menyatakan bahwa Islam di Asia Tenggara, dalam hal ini Indonesia, bukanlah Islam pinggiran.
Seperti Timur Tengah, Islam di Indonesia haruslah diakui sebagai pemilik Islam yang absah juga, yang tidak ada bedanya dengan tempat awal mula dan berkembangnya Islam di Timur Tengah. Inspirasi yang tentunya harus terus dikembangkan, seperti yang Karim Amrullah lakukan di hadapan Syeikh Basyid di abad lalu.
Foto: Republika
Editor: KM