Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Hal ini disebabkan karena Indonesia berada tepat di garis lintang khatulistiwa di mana wilayah Indonesia memiliki iklim tropis yang sangat mendukung kesuburan tanah.
Data BPN pada tahun 2019 menyebut luas tanah sawah di Indonesia mencapai 7,46 juta hektar. Hal ini menandakan bahwasannya 70% masyarakat di Indonesia berprofesi sebagai petani.
Petani adalah orang yang berprofesi di bidang pertanian, yang melakukan pengelolaan terhadap tanah untuk menumbuhkan tanaman baik itu padi, jagung, kakao, sawit dan tanaman lainnya.
Padi merupakan sumber utama penghasilan petani di Desa Suka Jaya. Desa Suka Jaya adalah Desa yang berada di Kecamatan Lawe Sigala-gala, Kabupeten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
Saat ini para patani di Desa Suka Jaya sedang mengalami penurunan hasil pertanian di mana biasanya petani mendapatkan hasil panen mencapai 2000 kg padi dengan luas lahan sawah 25 x 100 m2 setiap panen, namun sekarang petani hanya mendapatkan 1500 kg padi dengan luas lahan sawah 25 x 100 m2. Sementara harga jual padi atau gabah juga mengalami penurunan di musim panen raya ini. “Hal ini kerap kali tejadi apabila musim panen tiba, para petani tidak mengetahui apakah itu hanya permainan para oknum tengkulak atau memang dari kebijakan pemerintahan pusat,” ujar Pak Firdaus yang diwawancarai pada tanggal 15 Maret 2021.
Di masa pandemi Covid 19 ini, seluruh masyarakat diminta agar tetap berdiam diri di rumah saja, menjaga kesehatan, menjaga kebersihan dan menjaga jarak. Namun hal ini tentunya tidak berlaku terhadap petani dikarenakan para petani harus tetap bekerja setiap harinya.
Para petani pergi ke sawah dari jam 08.00 WIB-18.00 WIB dan bekerja di bawah terik panasnya matahari, terkena lumpur, ditambah lagi membawa alat-alat pertanian yang cukup berat. Dan para petani pun tidak pernah lelah bekerja setiap harinya demi mendapatkan rupiah dan menjaga agar kebutuhan pangan tetap terjaga dan seimbang.
Harga jual dari hasil pertanian para petani yang biasanya harga penjualan padi kering yang siap giling kisaran Rp. 4.100,00 per kg di bulan Januari, sedangkan pada bulan Maret para petani menjual padi kering siap giling dengan harga Rp. 4000,00 per kg. Mirisnya harga beli mereka terhadap bibit, pupuk dan racun hama terbilang cukup mahal. Harga beli bibit di toko kisaran Rp.50.000 per saknya, dan para petani membutuhkan 2-3 sak bibit untuk setiap luas lahan sawah 25 x 100 m2. Harga pupuk yang dibeli para petani di toko kisaran Rp. 150.000 – Rp 300.000 per-sak nya di mana mereka membutuhkan satu sak pupuk yang digunakan untuk menyuburkan tanaman dan satu sak pupuk untuk memperbanyak bakal buah tanaman untuk setiap luas lahan sawah 25 x 100 m2. Sementara harga racun hama yang biasanya dibeli petani berkisar Rp. 50.000 – Rp.200.000.
Para petani manganggap bahwa harga jual dari hasil pertanian mereka tidak sesuai dengan harga beli barang pertanian di toko yang terbilang cukup mahal.
Di masa pandemi Covid 19 ini, pemerintah Aceh Tenggara seharusnya melakukan penyuluhan terhadap petani yang mengalami penurunan penghasilan yang drastis di musim panen raya ini, bukannya melakukan BIMTEK (Bimbingan dan Teknis) ke Lombok, provinsi NTB yang mengeluarkan dana yang cukup besar dengan anggaran dana mencapai Rp. 30.000.000 per desanya di mana setiap desanya mengutus dua orang perwakilannya dan ada 325 desa dari 16 kecamatan yang ada di Aceh Tenggara.
Dalam kondisi ini pemerintah daerah justru menyelenggarakan BIMTEK (Bimbingan dan Teknis) kepada sebanyak 650 orang. Sedangkan para petani sedang mengalami penurunan penghasilan.
Seharusnya Pemerintah Aceh Tenggara lebih mementingkan petaninya karena petani juga dapat membangkitkan perekonomian dalam pemerintahan.
Hal lain yang membuat para petani semakin resah adalah dengan adanya rencana pengimporan beras dari negara lain ke Indonesia yang merupakan salah satu bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada para petani lokal.
Walaupun ini hanya sebatas rencana pemerintah pusat, namun hal ini akan menjadi sasaran empuk bagi oknum tengkulak untuk memainkan harga jual.
Jika pemerintah memang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di masa pandemi Covid 19 ini, maka solusinya bukan dengan melakukan pengimporan beras karena saat ini para petani sedang mengalami panen raya.
Seharusnya pemerintah mengoptimalkan harga jual hasil pertanian agar dapat membangkitkan perekonomian yang selaras di masa pandemi Covid19 saat ini. Apabila pengimporan beras ini benar-benar terjadi, orang yang paling terkena dampaknya adalah petani. Harga jual padi atau gabah milik petani lokal akan semakin anjlok sedangkan saat ini petani lokal sedang panen raya.
Sudah seharusnya pemerintah lebih mengutamakan petani, baik pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten/kota di mana para petani juga dapat membangkitkan perekonomian Indonesia apabila mereka mendapatkan keistimewaan dari pemerintah.
Bayangkan saja apabila petani tidak ada, maka seluruh masyarakat mungkin akan merasakan kelaparan!
Editor: Khairil Miswar