Peutron Aneuk atau Turun Tanah adalah tradisi masyarakat Aceh dari zaman dahulu sampai dengan sekarang yang menjadi bagian dari rangkaian upacara menyambut kelahiran anak.
Tradisi ini secara umum dimaknai sebagai kebiasaan masyarakat membawa anak turun ke tanah yang dilakukan setelah tradisi Peucicap (mencicipi rasa manisan madu lebah dan sari pati dari buah-buahan) yang dilakukan dengan menggunakan jari tangan tokoh desa yang dicelupkan ke dalam gelas yang diberi sari buah dan kemudian dicelupkan ke dalam mulut si bayi.
Peutron Aneuk ini adalah upacara memperkenalkan seorang anak bayi yang baru lahir sekitar 44 hari untuk pertama kalinya kepada sanak saudara (famili) maupun masyarakat luar. Pelaksanaan tradisi ini biasanya diiringi dengan (Peuayon) mengayunkan sambil mengadakan acara berjanzi (marhaban) dengan lantunan shalawat dan doa-doa serta pujian kepada Allah SWT dan sekaligus pemberian nama.
Anak yang telah mencapai umur 44 hari diturunkan ke halaman rumah oleh seseorang yang terpandang seperti tokoh desa dan tokoh agama yang baik perangai maupun budi pekertinya. Orangtua bayi berharap agar si anak kelak mengikuti jejak tokoh tersebut. Orang yang menggendong anak memakai pakaian yang bagus-bagus yang menjadi ciri khas dari tokoh tersebut.
Bayi diturunkan dengan dipayungi ija batek (kain gendong berukir batik) dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugilho tanoh). Di atas kepala si anak dibelah buah kelapa dengan alas kain putih yang dipegang empat orang dengan tujuan agar si bayi tidak takut terhadap suara petir, agar bayi tidak mudah terkejut dengan semua suara yang dia dengar, dan agar kelak si bayi menjadi pemberani.
Waktu pelaksanaan tradisi Peutron Aneuk pada masyarakat Aceh tidaklah selalu sama. Masyarakat Kota Langsa melaksanakannya pada hari ke-44 kelahiran bayi, sedangkan Masyarakat Gayo biasanya melakukan ritual ini ketika sang bayi berumur 7 hari yang bersamaan dengan upacara cukur rambut, pemberian nama dan akikah. Ada juga yang melaksanakannya pada hari ke 40 kelahiran bayi.
Adapun oleh masyarakat Anuek Jamee (tersebar di wilayah Tapak Tuan dan sekitarnya) upacara ini dilakukan ketika sang bayi telah berusia 44 hari yang dibarengi dengan cukur rambut, pemberian nama, kadang-kadang pula disertai dengan upacara hadiah.
Begitu pula di Tamiang dan masyarakat Aceh lainnya. namun perbedaan ini tidak pernah menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Aceh.
Pada Masa Sultan Iskandar Muda (Raja dari kerajaan Aceh Darussalam) bahkan Peutron Aneuk dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun, lebih-lebih jika bayi itu anak pertama di mana biasanya upacaranya lebih besar dikarenakan anak pertama biasanya akan menjadi pewaris keluarga kecil orangtua bayi tersebut.
Berbagai upacara adat dan budaya yang terdapat pada suku bangsa Aceh, pelaksanaanya selalu dipengaruhi atau diiringi dengan nilai-nilai agama Islam.
Demikian pula halnya dengan upacara Peutron Aneuk pada suku bangsa Aceh, ini sangat kental dengan unsur agama Islam seperti pembacaan doa-doa serta shalawat kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
Agama Islam di Aceh bagaikan urat nadi di leher manusia, tidak bisa dilepaskan dari kehidupan bermasyarakat. Hal ini dibuktikan dengan agama Islam yang membuat masyarakat Aceh agak fanatik dalam beragama namun tidak dengan adat dan budaya.
Agama Islam yang dianut menjadikan masyarakat Aceh bersifat fanatik namun membenarkan terus berlangsungnya tradisi-tradisi setempat dengan selalu berpedoman kepada ajaran-ajaran Islam.
Meskipun tradisi-tradisi tersebut masih selalu dilaksanakan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya sudah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta perubahan masyarakat dari dahulu sampai sekarang.
Seperti halnya di Desa saya Aluebeurawe, Kecamatan Langsa Kota, tradisi peutron aneuk masih dilakukan.
“Peutron aneuk adalah bentuk rasa syukur saya kepada Allah karena Allah telah memberi saya keturunan, dan untuk memperkenalkan anak saya kepada lingkungan dan masyarakat gampong, lagian acara peutron aneuk ini sudah merupakan tradisi dari zaman nenek moyang kita dulu,” kata Intan Mutia, yang pada saat itu sedang mengadakan acara peutron aneuk di gampong saya.
Ini bukan hanya sekadar tradisi, melainkan juga tentang sikap sosial masyarakat di mana masyarakat saling membantu dalam pelaksaan peutron aneuk sehingga berjalan lancar.
Hubungan antara budaya dan individu membangkitkan kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri mereka dengan keadaan. Sistem sosial yang dibangun adalah sifat silaturrahmi yang kuat antar masyarakat dengan menghidangkan suatu hidangan makanan yang memiliki makna kebersamaan.
Sistem sosial yang dibangun dalam masyarakat gampong memiliki hubungan timbal balik yang sangat kuat. Misalnya ada keluarga yang tidak saling membantu terhadap masyarakat desanya, maka hal itu akan berdampak balik pada keluarga tersebut jika keluarga tersebut mengadakan suatu acara. Saat dia mengadakan acara, masyarakat tidak akan berkunjung ke acaranya. Makanya dalam bermasyarakat kita perlu bersosial agar hubungan kita antar sesama masyarakat berjalan baik dan saling membantu.
Dampak sosial lain yang timbul adalah adanya interaksi antara masyarakat dengan keluarga yang membuat acara peutron aneuk. Hal ini memunculkan hubungan yang lebih kuat antara masyarakat dengan si bayi dan keluarga. Ketika si bayi beranjak dewasa ia pun akan dihormati oleh masyarakat selayaknya masyarakat juga menghormati keluarga si bayi.
Editor: Khairil Miswar