Aceh telah dikenal sebagai masyarakat berkarakter Islam. Banyak kajian sejarah yang menyebut bahwa Aceh adalah daerah pertapakan pertama agama Islam di Indonesia, yang kemudian berkembang ke wilayah lainnya di Nusantara dan Asia Tenggara. Meskipun belum ada yang bisa memastikan kapan persisnya Islam masuk ke Aceh, namun kerajaan Islam pertama di Indonesia ada di nanggroe ini, yaitu kerajaan Peureulak dan Samudera Pasai.
Hingga kini, Aceh dikenal dengan julukan Serambi Makkah. Syariat Islam dan Aceh sering diibaratkan dua sisi mata uang yang menyatu dan tidak mungkin dipisahkan.
Sejarah tentang masyarakat Aceh sering dikaitkan dengan sejarah perkembangan Islam di Aceh. Perang dan konflik panjang Aceh merupakan cerita tentang perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Perang dengan kolonialisme Belanda dan Jepang merupakan perang melawan “kafir” yang ingin menguasai Aceh dan menghilangkan khazanah keislaman yang sudah dijalankan sejak zaman kerajaan Aceh dibangun.
Konflik panjang dengan pemerintah Republik Indonesia juga dimulai dengan kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak memberikan izin untuk menjalankan syariat Islam di Aceh. Meskipu banyak pro dan kontra di internal masyarakat Aceh sendiri terhadap konflik, tetapi masyarakat Aceh punya satu pandangan tentang pelaksanaan syariat Islam.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah dilaksanakan masyarakat Aceh jauh sebelum syariat Islam itu diformalkan dalam aturan pemerintah.
Elaborasi nilai-nilai Islam ke dalam adat dan budaya Aceh telah menjadikan masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang religius. Pada saat syariat Islam digagas sebagai sebuah dasar bagi pemerintah untuk mengatur kehidupan Aceh, hal itu disambut hangat oleh masyarakat luas.
Pada penerapannya, syariat Islam memang tidak terlepas dari unsur politis. Formalisasi syariat Islam yang terkandung dalam keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah pusat, menjadi salah satu cara untuk meredam konflik di Aceh. Upaya ini merupakan salah satu bentuk langkah kongkret dari kebijakan politik pemerintah pusat, meskipun oleh masyarakat hal itu tetap disambut dengan antusias.
Antusiasme masyarakat dalam menyikapi formalisasi syariat Islam sebagai produk hukum atau produk politik yang berfungsi mengatur kehidupan sosial masyarakat Aceh terlihat jelas pada awal mula penerapan syariat Islam sebelum Tsunami.
Tetapi, seiring perkembangan dan keterbukaan masyarakat Aceh dengan dunia internasional pasca tsunami, banyak hal-hal yang mulai berkurang dalam pelaksanaan syariat Islam, terutama dalam hal konsistensi penerapannya oleh pihak pemerintah daerah. Ditambah lagi dengan dinamika politik yang terjadi pasca tsunami di mana GAM memiliki keleluasaan dan kekuasaan di pemerintahan sehingga semakin memudarkan penerapan syariat Islam.
Editor: Khairil Miswar