Melihat Filsafat Secara Proporsional

Setelah membaca artikel Miswari berjudul “Menuju Hidup Proporsional”, saya berniat untuk membeli buku Filsafat Terakhir.

Saya setuju dengan argumentasi penulis artikel itu untuk melihat filsafat dalam berbagai tradisi secara proporsional, di mana kita bisa mempelajari semua tradisi pemikiran yang ada, sembari melihat relevansi dan signifikansinya dalam konteks kehidupan hari ini. Setiap tradisi filsafat adalah perbendaharaan khazanah keilmuan dunia yang telah tersedia bagi kita untuk dipelajari.

Saya hanya ingin menanggapi satu hal, perihal argumentasi dari penulis: “Perdebatan mereka, selain untuk perdebatan murni filsafat dan diskursus akademik, pada sisi tertentu, tidak terlalu signifikan.”

In certain respect, yes. In many respect, not. Gagasan-gagasan filosofis sebagaimana awalnya bertujuan untuk menemukan kebenaran, mengenal dan memahami realitas sebagaimana adanya. Namun dalam fase tertentu dalam sejarah, kerja-kerja filsafat (sebagaimana yang diilustrasikan penulis bahwa pernah dipraktikkan oleh golongan sofis) bertitik-tolak dari agenda untuk menguasai dan mendominasi. Lari dari tujuan asal.

Kemudian kerja-kerja keilmuan, dalam konteks ini filsafat, memperoyeksikan tatanan ideal tertentu yang digagas dan direalisasikan melalui dominasi dan hegemoni berdasarkan kepentingan tertentu. Tidak bisa kita nafikan bahwa, benturan-benturan entitas kebudayaan (atau kelompok masyarakat dalam suatu kebudayaan), menggunakan filsafat sebagai alat untuk mendominasi dengan merekayasa sebuah tatanan.

Kita memang mengandaikan kerja-kerja keilmuan yang murni. Namun filsafat dan ilmu pengetahuan telah dibawa sedemikian jauh dalam kepentingan manusia atau yang kita kenal dalam istilah agenda.

Perkembangan filsafat sejak era pencerahan tentu tidak bisa kita nafikan tanpa agenda politik sama sekali. Salah satu penyebab mengapa timbulnya abad pencerahan tidak terlepas dari bangkitnya Islam sebagai sebuah peradaban dan sebuah entitas politik yang mengancam peadaban Barat. Peradaban Islam melakukan kerja-kerja filsafat dengan mempelajari karya-karya asing, di antaranya filsafat Yunani untuk diterjemahkan dan dipelajari. Filsafat Yunani diadaptasi oleh filosof Muslim dalam karya-karya mereka. Karya-karya pemikir Muslim yang mengkaji karya Yunani seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, kemudian karya keilmuan ulama Islam lain seperti karya Al Ghazali dan Ibnu Khaldun di kemudian hari dipelajari juga di Barat, baik dalam tradisi Skolastik gereja maupun filsuf pencerahan setelahnya yang berlawanan dari tradisi keilmuan gereja. Sebagai upaya untuk “mengejar ketertinggalan”, Barat sendiri menganggap era pencerahan ada setelah sebelumnya hidup dalam the dark age atau era kegelapan.

Motivasi dalam peradaban Barat dalam pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari rivalitas atau konfrontasi dengan dunia Islam yang terjadi dalam perang Salib hingga runtuhnya Konstantinopel. Setelah Barat menjajah negara-negara di Afrika dan Timur Asia atau yang menandai masuknya era kolonialisme, agenda kolonial menjadi suatu tujuan untuk mempelajari filsafat dunia Timur. Yaitu untuk tetap mendominasi.

Dalam perkembangan filsafat sosial, selain untuk memahami manusia sebagai entitas sosial, filsafat sosial juga memiliki agenda untuk merekayasa tatanan sosial yang ideal. Rekayasa sosial di wilayah jajahan tentu berdasar atas pandangan bias Barat sebagai penjajah. Di wilayah kolonial, rekayasa sosial ini diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk melanggengkan kuasanya atas wilayah jajahan.

Yang ingin disimpulkan dalam tulisan ini bahwa, kerja-kerja filsafat yang murni, yang hanya bertujuan untuk ilmu, tidak selalu berjalan sedemikian rupa. Filsafat dan ilmu pengetahuan menjadi alat kuasa untuk mendominasi. Ilmu pengetahuan dijadikan alat yang bekerja untuk kuasa dan kekuasaan dan bukan sebaliknya, mengandaikan atau merealisasikan bagaimana kuasa dan kekuasaan yang ideal (seperti ide The King of Philosopher, Plato misalnya).

Kita tentu mengandaikan konsepsi ideal tentang bagaimana berfilsafat yang murni untuk memahami realitas melalui pencurahan daya akal budi dalam menginterpretasi, namun sejarah telah membawa filsafat ke jalur yang lain dan dengan maksud, tujuan dan kepentingan yang lain. Kata Habermas, we can’t get rid of interest.

Editor: Khairil Miswar

Ilustrasi: britannica.com

Baca Juga

“Pulitek” Orang Aceh: Politik Keterusterangan

Pengalaman-pengalaman serupa tentulah dapat kita temukan di berbagai kesempatan, bahwa dalam relasi sosialnya, terutama dalam dunia politik, keterusterangan merupakan tipikal dari orang Aceh.

Kisah Persahabatan di Balik Meja Kerja

Waktu terus berjalan, tetapi persahabatan dan kenangan di balik meja kerja itu tetap hidup dalam hati mereka. Meskipun jalan hidup membawa mereka ke berbagai arah, ikatan yang telah terbentuk selama bertahun-tahun tidak akan pernah hilang.

BUKAN DI TANGAN MPR

Malah, sekarang, kita lebih mengkhawatirkan kapasitas partai politik, yang lebih mengejar hasil instan elektoral dengan mengajukan pelawak sebagai calon wakil walikota.

MEKKAH YANG DEKAT

Mekkah adalah tanah impian. Semua muslim mendambakan menginjakkan kaki di sana. Dari Mekkah, tempat di mana sakralitas ibadah haji dilakukan, cerita mengenai hubungan muslim dengan Tuhan dan masyarakatnya bermula.

Menyoal Frasa Wali Keramat dalam Cerpen Ada Sepeda di Depan Mimbar

Namun, pada poin kedua, di sini, imajinasi Khairil Miswar sama sekali bertolakbelakang dengan imajinasi saya. Gambaran imajinatif sosok Teungku Malem yang dianggap wali keramat, namun dia menghasut Tauke Madi untuk tidak lagi memperkerjakan orang yang tidak salat, bukan main anehnya