Bila berbicara sepakbola, sulit dipungkiri walau tentu bisa diperdebatkan, bahwa tak ada fans semenderita pendukung Timnas Inggris. Bayangkan, sudah 55 tahun sejak terakhir kali meraih Trofi Juara Piala Dunia 1966, Inggris belum pernah lagi meraih trofi juara ; Piala Eropa juga Piala Dunia.
Jangankan meraih juara, masuk babak finalpun tak pernah. Seolah ada kutukan tak tertulis. Bahwa usai menjadi Juara Dunia 1966 lewat salah satu Gol Hantu Kontroversi George Hurst ke gawang Jerman di Stadion Wembley, Inggris seperti tersendat melaju jauh ke babak final sekalipun generasi emas timnasnya lahir silih berganti. Duh, tragis.
Mulai dari era Gary Lineker, David Platt, John Barnes di tahun 90-an. Lalu datang generasi Alan Shearer, David Beckham, Paul Scholes, Michael Owen di 2000-an dan berlanjut ke armada Harry Kane, Raheem Sterling, Kylie Walker di Piala Dunia 2018.
Slogan “Football Coming Home” dengan membawa pulang Tropi Juara ke pelukan Ratu Elizabeth hampir saja terwujud ketika Inggris lolos ke Semifinal Piala Dunia 2018 sebelum dihentikan aksi magis trengginas generasi emas kroasia ; Luka Modric, Mario Madzukic, Ivan Perisic dkk.
Anomali Inggris seolah menjadi tradisi di setiap turnamen. Hampir selalu digadang-gadang sebagai favorit juara namun selalu keok di fase grup juga Knock Out. Singkatnya, Inggris seperti kehilangan tuah dan dewi fortuna di setiap laga krusialnya. Terlebih bila sudah berhadapan dengan adu pinalty, hampir selalu kalah dengan tim-tim besar ; Italia, Portugal, Argentina dan Jerman, rival abadi mereka.
Tidak terhitung banyak pelatih anyar telah menukangi Inggris; Bobby Robson, Kevin Keegan, Tery Venables, Roy Hodgson, Sven Goran Erikson. Mereka satupun tak mampu mengobati kerinduan publik sepakbola negeri monarki modern tertua itu. Bahkan Fabio Capello ; pelatih italia yang menjadi garansi juara liga domestik dan liga Eropa, mereka rekrut untuk memberi aura dan konsep baru untuk Timnas mereka.
Berhasilkah ? Justru mereka terpuruk di Piala Dunia 2010 usai dilibas Tim Panzer Jerman 1-4 dengan gol Frank Lampard sebagai bumbu memori abadinya. Publik tentu bertanya, apa salah Timnas Inggris, sebegitu naasnya mereka?
Inggris adalah ibu kandung sepakbola itu sendiri, tempat lahir kompetisi turnamen modern tertua di dunia, FA Cup. Begitu klaim mereka. Sejak tahun 1992 English Premiere League bertransformasi menjadi entitas dan potret pergulatan sepakbola modern yang begitu glamor dan bertabur bintang.
Klub-klubnya adalah langganan peringkat atas dan juara Liga Champion ; MU, Chelsea, Liverpool. Puluhan pesebakbola bintang termahal dunia wara-wiri disana dengan nilai komersial kompetisi mencapai ratusan trilyunan rupiah pertahun. Dahsyat.
Naifnya, semua atribut wow dan mewah tesebut belum mampu memberikan efek kejut positif ke prestasi tubuh timnas mereka sendiri dalam setiap palagan pertempuran si kulit bundar. Sepakat para pengamat, masalah klasik dan fundamental Three Lions sebenarnya cuma satu; Mental.
Ya, mental juara ; sesuatu yang bersifat abstrak, imanen dan immateri. Tidak bisa diukur, tidak berstruktur namun sangat manjur menjadi vitamin dan energi tersembunyi bagi setiap pegulat kompetisi. Mau sebagus apapun skill, strategi dan taktik suatu tim, bila mental bermasalah maka dia akan kalah sebelum hasil skor pertandingan itu sendiri.
Era Southgate; Inggris Warna Baru
Ya, sempat dicemooh dan diragukan oleh publik Inggris yang medianya terkenal rewel, kritis dan sadis. Gareth Southgate yang hanya berbekal membesut Timnas Junior dan tanpa pernah mengarsiteki klub liga premir Inggris justru mampu membawa jauh Inggris ke babak final Piala Eropa 2020 tahun ini.
Hanya kebobolan 1 gol dan mampu melesakkan 10 gol sampai semifinal, menjadi bukti betapa menakutkan Inggris kali ini. Kokohnya pertahanan diimbangi dengan ganasnya lini depan. Belum lagi ramuan komposisi starting elevennya dengan kedalaman skuad cadangan yang hampir merata kualitasnya.
Perpaduan senioritas kedewasaan Harry Kane, Raheem Sterling, Harry Maguire, Kylie Walker, Luke Shaw mampu dielaborasi penuh apik dengan kegigihan, stamina dan semangat pasukan mudanya ; Saka, Mount, Rice, Phillip, Stones, Pickford , Grealish.
Satu hal yang pasti, Inggris era Harry Kane kali ini adalah Inggris yang bermental baja. Terbukti saat ketinggalan satu gol melawan Denmark , mereka mampu bangkit dan unggul di babak normal dengan skor akhir 2-1 untuk menyegel satu slot final usai penantian setengah abad mereka. Selamat!.
Begitulah racikan fenomenal sang Manager Soutghate ; mantan pesebakbola antagonis penyebab kekalahan Inggris atas Jerman di Semifinal Piala Eropa 1996 di Wembley. Saat tendangan pinaltinya mampu dimentahkan oleh Andreas Koepke, kiper legendaris Jerman.
Naifnya Andreas Koepke adalah pelatih kiper Timnas Jerman yang disingkirkan Inggris 2-0 pada babak Perdelapanfinal EURO 2020. Balas dendam 25 tahun lalu pun terbayar. Begitu gumam Publik Inggris yang larut dalam euforia tak terkira usai menyingkirkan rival abadi paling menyusahkan mereka; Jerman.
Melawan Italia di Final ; Inggris mesti apa?
Satu hal yang pasti, jalan menuju Football is Coming Home kali ini sangatlah terjal. Karena lawan di final adalah Italia. Akan sedikit beda bila lawan yang dihadapi Inggris di final adalah Spanyol. Kenapa?
Lihatlah Italia era Mancini, benar-benar mematikan!, menakutkan dan mengasyikkan. Revolusi lebih tepatnya. Permainannya begitu padu, menggebu, penuh energi, transisi pemainnya cepat , aliran bolanya mengalir halus mulus. Zona marking ketat, pressing cepat. Gol bisa saja datang tiba-tiba dari semua lini; Insigne, Chiesa, Barella, Locatelli, Immobile, Pessina. Sekilat menyerang, secepat bertahan. Rasio golnya dahsyat ; 12 – 3.
Satu hal yang pasti, hanya Spanyol yang mampu memaksa Italia bermain imbang 1-1 sampai perpanjangan waktu. Karena ball possesion Spanyol mencapai 65% dengan total attempt dan shoot lebih banyak. Walau akhirnya takluk adu pinalti.
Artinya, untuk menang melawan Italia, kuncinya jangan biarkan mereka lama-lama memegang bola, itu saja. Satu lagi Inggris mesti menang babak normal. Kalau sampai perpanjangan waktu apalagi adu pinalti, chance juara ada di genggaman punggawa Negeri Vespa. Austria mereka benam 2-1 saat perpanjangan waktu, Spanyol diamuk adu pinalti. Itu saja!, saran saya untuk fans Inggris berharaplah skenario ini terwujud.
Wembley 2021; Runtuh atau Bergemuruh riuh!?
Atas nama kemanusiaan dan keibaan, tentu saya berharap Inggris juara Piala Eropa 2020 untuk mengobati luka sejarah dan penantian lama para fansnya. Terlebih fans millenial yang tumbuh dan berkembang biak dalam atmosfer liga Inggris seolah simetris dan linier antara dukungan klub dan timnas. Suporter Chelsea, MU, City, Liverpool, Arsenal hampir 100% mendukung timnas Inggris.
Bayangkan terpukulnya roh dan jiwa mereka bila kali ini Inggris kembali terkutuk takluk di etalase piramida tertinggi ; la grand finale. Belum lagi kemurungan nasional akan menyapu daratan britania. Bila itu terjadi, eskalasi dan polarisasi politik dan sosial internal negerinya bakal terus gaduh usai thriller referendum Brexit dari komunitas Uni Eropa.
Para pengamat melihat, atmosfer euforia lolosnya Inggris final kali ini telah mampu mempersatukan warga Inggris sebegitu kuatnya. Sepakbola telah menggugah kesadaran kesatuan nasional rakyat Inggris. Bendera Inggris bertebaran hampit di setiap penjuru kota dan desa. Seolah-olah Ruh Churchill memanggil mereka bersatu seperti era perang Dunia Kedua dulu untuk menghancurkan Agresor Nazi Hitler.
Namun, atas nama objektivitas saya hanya mampu memprediksi, di atas kertas kali ini Italia akan unggul bila Inggris tidak menaati skenario analisis kami di atas. Di atas lapangan, hanya jumlah Gol yang berbicara tentang siapa sang juara.
Fans Inggris, bersiaplah pesta pora atau teruslah nelangsa dalam dunia fatamorgana.
London has fallen?