Menjadi fans Persiraja sejak bergulirnya kompetisi kasta tertinggi nasional Liga Dunhill 1995/1996. Barangkali baru pada laga-laga awal pembuka kompetisi musim 2022/2023 ini saya melihat perjalanan bonden kebanggaan rakyat Aceh itu bagaikan permainan “Roller Coaster” yang mengaduk emosi dan energi. Penuh haru biru bagaikan lagu Deru Debunya Nike Ardilla.
Dihimpit berbagai problematika dan ketidakjelasan status kepesertaan jelang detik terakhir pendaftaran, akhirnya Bonden Kutaraja itu berhasil menjadi peserta resmi Liga 2 usai beralihnya kepemilikan dan manajemen dari Nazaruddin Dekgam Presiden Persiraja sebelumnya ke Zulfikar Syahbuddin Presiden baru lewat proses yang lumayan berliku dengan tenggat waktu yang sangat singkat. Hanya tiga minggu! jelang deadline kick off kompetisi sepakbola kasta kedua PSSI itu.
Presiden baru Persiraja Zulfikar Syahbuddin adalah seorang pengusaha juga sosok aktivis dakwah Kota Banda Aceh yang dikenal lewat sapaan akrab Ust Zul SBY tercatat juga sebagai penasehat Majelis Zikir Arafah yang dipimpin oleh Ustadz Zul Arafah di Kota Banda Aceh.
Banyak nada pesimis bermunculan dengan berbagai sangkaan dan rasa penasaran di kalangan publik bola bundar Aceh tentunya.
Apa mungkin dan apa mampu sosok ustadz yang hari-harinya berjuang di medan syiar agama namun sekarang berani menakhodai sebuah kub sepakbola?.
Terlebih Persiraja bukanlah sembarang klub untuk ukuran kita orang Aceh. Klub ini adalah barometer serta marwah sepakbola dan rakyat Aceh.
Bahkan bersama PSMS Medan berjibaku menjaga marwah tanah Sumatera di kompetisi sepakbola nasional sejak era perserikatan sampai liga profesional kini dan telah lama menancapkan hegemoninya dibandingkan Semen Padang, Sriwijaya FC dan PSPS Riau.
Persiraja tercatat pernah menjadi Juara Divisi Utama Perserikatan 1980 usai di laga final membenamkan Tim Mutiara Hitam Persipura Jayapura 3-1 tanggal 31 Agustus 1980 di Stadion Utama Gelora Senayan Jakarta lewat Brace Bustamam dan satu lesakan gol Rustam Syafari.
Di era 90-an klub ini juga pernah menjadi tim medioker yang kerap merepotkan tim-tim elite pulau Jawa semisal Persija Jakarta, Pelita Jaya, Persib Bandung, Persebaya dan Petrokimia Gresik.
Bahkan di awal musim 1998/1999 silih berganti dengan Persija Jakarta memuncaki klasemen wilayah Barat sebelum kompetisi terhenti akibat krisis moneter yang berujung pelengseran Soeharto dari singgasana Presiden.
Tercatat nama-nama berbakat lahir di periode magis itu ; Sang Dirigen Dahlan-Mustafa Jalil bersaudara, trio Bek tangguh Samsul Bahri-Tarmizi “Weh”-Ridwan Salam, Muslim “Ngoh” Sang Destroyer serta salah satu striker paling komplet yang pernah Tuhan hadirkan di bumi Sumatera dan Nusantara ; Irwansyah “Goal Getter” , tandemnya Pery Sandria di Timnas Indonesia era Pelatih Henk Wullems.
“Ragam Sinisme”
Di Medsos ragam kicauan dan nada kritis bermunculan sejak warna dan energi baru ditiupkan lewat konsep “manajemen langit” ala aktivis dakwah ke tubuh Persiraja.
Salah satunya pemain wajib pakai legging menutup aurat paha sampai kemudian lahir sematan “Persiraja Syariah”. Begitulah opini yang berkembang terlepas dari bagaimana kita memahaminya.
Berkejaran dengan waktu, klub hanya punya masa dua minggu untuk mempersiapkan team, manajemen, publikasi dan stadion dengan konsep manajemen Gotong Royong dan Open Management. Tidak ada SK pengurus maupun panitia secara tertulis, semua serba darurat sebagaimana penjelasan Ust. Umar Rafsanjani Manajer Klub di media sosial.
Presiden klub menampung siapapun yang ingin terlibat dalam momen-momen awal perjalanan kompetisi tanpa perlu melihat kompetensi dan keahlian lebih dalam. Karena yang diharapakan adalah keikhlasan berpartisipasi. Karena ya itu tadi, serba kepepet.
Yang diperlukan adalah kontribusi aktif dan aksi nyata baik dalam bentuk bantuan fisik, finansial maupun do’a. Begitu ungkap Manajer Persiraja Ust Amar Rafsanjani.
Publik mulai gerah mengetahui Panpel melepas harga tiket laga kandang pada level tertinggi sepanjang sejarah di Dimurthala Stadium ; rentang ekonomis Rp 50 ribu s.d VIP Rp 200 ribu.
“Harga tiket Liga 1. Main di Liga 2. Kualitas pemain Liga 3”. Begitu teriak netizen bumi Serambi Mekkah. Cibiran menggema di hampir semua linimasa populer nanggroe, terlebih bertepatan dengan momen harga BBM meroket tinggi usai “disesuaikan” oleh Pemerintah.
“Nestapa Laga Pembuka”
Dan, laga perdana pun segera dihelat tepat Senin 05 September 2022 malam harinya di stadion legendaris Dimurthala Lampienung Banda Aceh.
Animo bola mania Aceh membuncah, tak peduli harga karcis melambung tinggi. Suporter dari seantero Aceh berdatangan walau harus merogoh kocek lebih dalam mengisi BBM kendaraannya, demi apa?
Demi sebuah tujuan mulia ; membela marwah Aceh pada laga bertajuk “Derby Sumatera”, rivalitas klasik dua bonden perserikatan yang punya nama besar, tradisi dan sejarah kuat di pentas sepakbola nasional.
Tak ketinggalan ratusan suporter tim tamu PSMS “Smeck Hooligans” menempuh jalan darat dan bersama Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi ikut hadir mendukung tim kebanggaan provinsi tetangga itu.
Tak pelak, puluhan ribu bola mania berjubel memenuhi setiap sudut stadion. Dari bangku duduk sampai pinggiran pagar besi pembatas lapangan. Dahaga dua tahun absen menyaksikan kompetisi resmi usai pandemi covid-19 menyerang negeri seakan segera usai.
Namun, di tengah atmosfer stadion yang menggelegar. Rentetan kemalaganpun hadir satu persatu tanpa pernah diprediksi sama sekali sebelumnya. Kejadian yang kemudian menjadi asupan media lokal dan nasional serta mencoreng nama besar Persiraja.
Jelang lima menit laga dimulai, empat lampu utama stadion padam. Awalnya semua bisa paham dan berceloteh, paling sebentar lagi juga hidup kembali.
Apa lacur, sudah sejam waktu berlalu. Lampupun masih enggan bersinar terang. Penonton hanya bisa pasrah sambil kompak menyalakan lampu smartphone pribadi. Stadion bagaikan sedang menghelat konser musik.
Nestapa burukpun muncul berentetan. Gubernur Edi Rahmayadi dan Tim tamu PSMS mulai meninggalkan stadion dikawal aparat keamanan.
Rasa kecewa penonton memuncak, oknum massa mulai beringas masuk ke lapangan. Terjadi aksi pembakaran, dimulai dari papan sponsor pinggir lapangan, lanjut ke jaring gawang dan bench tim official.
Api berkobar hebat membakar sarana lapangan berkelindan dengan amukan oknum massa yang kalap mata.
Sumpah serapah menggema, melampiaskan amarah tak terkendali. Harga tiket yang mahal, menempuh perjalanan jauh dan dahaga menatap laga di depan mata namun pupus seketika membuat seisi stadion larut dalam keonaran yang tak terkira.
Api muncul di beberapa sudut lapangan. Membumbung tinggi melepaskan asap yang memerihkan kornea mata. Bukan asap warna-warni seperti di stadion Eropa tapi asap karbondioksida yang berbahaya.
Di tengah kobaran api, stadion Dimurthala pun menjerit disiksa keberingasan oknum penonton yang tak terkendali. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah keberadaanya, kata Muhammad Alkaf esais muda fans fanatik Persiraja sejak era 90-an.
Publik Acehpun berduka. Imbas kejadian itu, Komdis PSSI menyatakan tim tuan rumah kalah WO dengan skor 0-3. Seperti kata pepatah, sudah jatuh ketimpa tangga.
Jangan bayangkan reaksi publik setelahnya. Hari-hari penghakiman pun dimulai. Ketidakpercayaan terhadap manajemen baru menyeruak. Sinisme memuncak, banyak yang menohok dengan kalimat nyinyir.
“Bak ustadz neuyu jak uroeh bola, cok kaloen peu hasee” (Sama ustadz disuruh kelola sepakbola, lihat gimana hasilnya). Kira-kira kalimat serupa itulah bersileweran di grup-grup whatsapp dan medsos publik Aceh.
Esok harinya, Kapolda Aceh bahkan turun tangan melakukan inspeksi penyebab kerusuhan. Ancaman hukuman pun menanti bagi panitia dan oknum penonton akibat ketidakprofesionalan penyelenggaraan pertandingan dan rusaknya fasilitas publik. Duh, kemalangan yang bertubi-tubi kini menggelayuti Persiraja.
“Bangkit dan Menang”
Tak berdiam diri. Manajemen segara mengambil langkah taktis dan strategis.
Dengan gentleman Presiden Persiraja seorang diri melayani inspeksi Bapak Kapolda Aceh dan aparat keamanan dalam memberikan informasi detil peristiwa malam hari itu.
Lontaran maaf pun segera disampaikannya pada publik Aceh sembari berharap dukungan nyata dan doa demi perbaikan penyelengaraan laga selanjutnya.
Dengan jitu Presiden Persiraja meluluhkan amarah bola mania Aceh lewat kalimat magis berbalut humanis “Tiket gratis di laga versus PSKC Cimahi”. Publik bersorak, kepercayaanpun mulai bersemai kembali. Banyak yang kegirangan sambil berucap “Bereh pak Presiden klub, nyan kakupateh, lantak laju” (Mantap pak Presiden klub, kami akui, melaju terus).
Mengantisipasi kejadian yang sama, laga pun diubah ke sore hari. Panitia juga meminta 250 orang aparat keamanan untuk mengawal laga “penebus dosa”.
Sabtu sorepun tiba, kita tentu tau yang namanya tontonan gratis pasti “manis” dan “taktis” menarik massa. Laga baru dimulai jam 16.30 WIB usai shalat ashar. Namun, jam 3 sore sepertiga stadion sudah terisi!. Bak buet pree, soe yang han tem. (Acara gratis, siapa yang nggak mau).
Saya sendiri usai dari Masjid Oman bergegas menuju stadion namun akhirnya gagal usai mendengar informasi sahabat Rahman Sekondel Satgas Pertandingan bahwa stadion sudah sangat penuh dan sesak.
Pilihan terakhir, hanya bisa menonton lewat Live medsos sambil menyeruput kopi di Warkop SMEA Kupi Lampineung tidak jauh dari stadion, bersama sahabat Daniel Fasarela seorang ASN Aceh Besar fans Persiraja sejak bangku sekolah SMP.
Sayup terdengar riuhan penonton namun laga berakhir tuan rumah takluk 0-1 di babak pertama, kemenangan prematur buat tim tamu PSKC Cimahi.
Laga kedua berjalan, kamipun terus memelototi smartphone masing-masing sambil mengusap mata. Maklumlah, terkadang siaran macet apa karena sinyal kami yang lemah atau jaringan Live akun pemilik medsos yang bermasalah di dalam stadion, malah terdengar nyelutuk “habis paket tuh”. Alamak!.
Dari IG, kami beralih ke facebook sesekali ke Tiktok tinggal lihat yang mana kualitas jaringan dan gambar yang jernih. Oh, nikmatnya hidup ya Tuhan.
Goooooalll!. Gemuruh suara dalam stadion ikut memekakkan telinga kami. Tanda Persiraja menyamakan kedudukan.
Jarum jam di warkop itu menunjukkan jam 18.20 WIB. Kami pun menutup layar. Sahabat Daniel pulang karena jadwal jemput anaknya yang ngaji di masjid terdekat telah tiba usai ditelpon istrinya. Suami siaga!.
Seketika beranjak pulang, kembali suara gemuruh menggema. Wah, alamat Persiraja menang nih, celetuk batinku. Rupanya benar, kelak di malam hari sambil rebahan lewat HP melihat rekaman pertandingan nampak jelas skrimit di kotak pinalti lawan.
Berawal dari umpan lambung bek Persiraja, bola jatuh di area kotak pinalti PSKC Cimahi. Terjadi rebutan, Fahrizal Dillah striker gaek Persiraja berhasil merebut bola dari bek lawan, kirim thru pass ke Wingback degil lincah Rizky Tangse.
Meliuk-liuk dia melewati lawan, menyusuri garis batas lapangan lalu mengirim umpan tarik cantik yang sekali sambar berbuah gol dari kaki Martunis BA, punggawa alumni Al-farlaky FC milik anggota DPRA Iskandar Al-Farlaky.
Goal injury time usai kerjasama tiki-taka yang begitu menawan dan ciamik hasil open play ala permainan Klub Legendaris Eropa.
Prosesi gol ini mengingatkanku akan gol demi gol anak-anak Bavaria Bayern Munchen ketika meluluhlantakkan Barcelona 8-2 di Semifinal Liga Chamlion 2020/2021. Serupa walau tak sama. Hehe.
Akhir kata, selamat Persirajaku. Teruslah melaju, lantak laju dalam mengawal marwah Aceh – Sumatera di blantika kompetisi sepakbola nasional bersama Sang Presiden Baru Ust Zulfikar SBY dan Ust Umar Rafsanjani, sang Manajer.
Dan untuk bola mania Aceh, cukuplah kejadian huru-hara kemarin itu jadi yang pertama dan terakhir kali di tanah indatu kita.
Persiraja Berjaya dan Bermartabat.
*Junaidi Surya, Pengamat Sepakbola