Pernah satu era dulu, tepatnya sejak tahun 80-an dan puncaknya di tahun 90-an, radio menjadi medium pencipta kegirangan rasa dan keriangan sosial bagi masyarakat banyak. Kenapa bisa? Mungkin bagi anak millenial, statement ini terkesan rekayasa dan mengada-ada. Anggapan ini tentu sah-sah saja, karena mereka suatu kaum yang memang berjarak dengan radio dan segala pernak-pernik siaran bombastisnya yang melegenda itu.
Radio dan ragam program siarannya dulu adalah peneman ruang dan waktu yang magis bagi semua lapisan sosial anak negeri. Pagi hari, bertemankan kopi dan rokok serta masih sarungan, kaum tua pendiri subuh berjama’ah dalam perjalanan pulang ke rumah, singgah ke warung kopi adalah “sunat” bakda Subuh, bukan shalat sunat bakda subuh, karena syariat “melarang” itu.
Di warung-warung seantero negeri, tepat jam 7 pagi, di sela-sela kepulan asap rokok berjamaah, bertemankan kopi pahit tanpa gula, telinga para kaum sepuh ringkih namun punya daya dengar jernih itu “memelototi” frekuensi berita pagi resmi RRI (Radio resmi penguasa negeri).
Anda mau tahu muatan beritanya? Sama sekali bukan tentang pergulatan politik, riuhnya demo dan isu kudeta parpol apalagi dikursus platform oposisi demokrasi seperti saat ini. Menu berita pagi umumnya ditutup dengan informasi harga sembako harian; harga cabe, harga beras, harga sapi, harga telur dsb. Headlinenya; peresmian infrastruktur sana-sini oleh Presiden Soeharto. Maklum jargon orde baru masa itu adalah stabilitas nasional demi kemakmuran ekonomi.
Menyiarkan politik dan segala intriknya masa itu setabu membedah anatomi fisikal seksual bani adam di ruang publik dalam budaya timur.
Saat matahari menapak tinggi, kaum berdasi mulai menyetel frekuensi radio unggulan masing-masing. Sambil menyantap kue ringan dan secangkir teh manis, jiwa mereka berdansa dan raga mereka bergeliat, namun tidak bekeringat, mendengarkan lagu rentak riang penyemangat kerja pagi.
Diawali sapaan ikonik penyiarnya “Lagu ini khusus kami persembahkan buat mereka yang sedang bekerja di kantor-kantor, semoga bisa menghibur dan menambah semangat kerja”, maka diputarlah lagu-lagu dengan tempo tinggi dari pemilik suara melengking ; Ruth Sahanaya, Utha Likumahua, Ikang Fauzi, Richi Ricardo, Voodo, Power Slaves, Protonema, Kla-Project, Humania, Gigi, Slank dan Dewa19.
Bisa melafal semua bait lagu masa itu menjadi lambang kesuksesan tersendiri, malah bisa menjadi selebritinya kantor, prosesnya begitu alami walau tidak sampai harus masuk dapur rekaman. Masa itu, jangan mimpi jadi artis kalau suaranya belum direkam piringan hitam dapur rekaman studio apalagi mencapai levelnya Nicky Astria, Nike Ardilla, Nia Daniati, Nella Regar; legenda idola era keemasan pita suara Nusantara.
Di tempat pangkalan ojek dan pasar-pasar tradisional, lagu pagi di radio dari genre dangdut dan pop dangdut menjadi hidangan maut; Senam Paginya Rhoma Irama, Aku Bukan Pengemis Cintanya Johny Iskandar, lengkingan Manis-Manja Group, mendayunya Dayu AG sampai bait-bait keputus-asaan Meggy Z menjadi pengiring ragam tingkah kaum pasaran.
Sungguh komplementer, walau barang dagangan di pasar rakyatnya jauh dari jenis “tersier”.
Beranjak siang, aura maskulinitas dan kegarangan radio mulai sedikit mengundur dan lebih religi. Saatnya masuk ke fase relaksasi, maklum siang itu kan kata para Ulama waktu nyunnah Qailulah (tidur sesaat sebelum atau sesudah zuhur). Mendengar siaran murattal KH. Muammar ZA menjadi menu wajib 20 menit sebelum masuk shalat Zuhur, membahana di ratusan ribu menara masjid/langgar dari kota sampai pelosok desa. Para marbot masjid/mushalla mesti paham di frekuensi radio mana mereka mesti menyetel. Silap atau telat, bisa jadi aib dan mengundang omelan warga. Riang dalam keimanan. Indahnya masa-masa itu.
Usai santap siang, saat kantuk menyergap dan hormon-hormon kortisol telah menjutai dalam sel-sel jaringan otot usai tekanan stres kerja dan penatnya menghafal ilmu eksak di sekolah. Radio seakan menjadi peredam suasana kebatinan yang melelahkan. Maka meluncurlah nada-nada syahdu penuh pilu nan sembilu yang mendayu-dayu, menenangkan jiwa dari mulut Endang S.Taurina, Ratih Purwasih, Dian Pisesha, Pance F. Pondaag, Dewi Yull, Broery Pesulima dan Legenda Gelas Kaca Nia Daniaty. Pilihan lagunya bagi mereka yang sedang diterpa sedih dan dipayung rindu, tentu makin menggoncangkan jiwa.
Selain itu, di beberapa stasiun radio lokal, potret siaran balada dan drama tersajikan begitu apik dan berseri. Anda yang saat ini berusia paling kurang 40 tahun pasti tau drama Saur Sepuh yang dilakoni Mantili dan lawan terberatnya; Nenek Sihir. Fiksinya begitu memukau, mampu mengaduk-aduk rasa dan memacu adrenalin para audien. Nahasnya, di setiap menit akhir seri, alurnya selalu klimaks dan memaksa kita untuk kembali mendegar esok harinya.
Jam siang sampai sore adalah prime timemya radio saat itu. Jangan tanya bejubelnya iklan produk, toko dan perusahaan pada jam itu. Radio dulu menjadi “Primadonanya dan Maradonanya Udara” di kalangan kaum pengiklan, sudahlah berbiaya murah juga menjangkau pelosok sudut bumi negeri. Masa itu, rata-rata kolong rumah warga pasti ada satu unit radio; mulai dari Radio Single, Walkman sampai Radio Tape.
Ketika malam menerpa, terlebih usai Isya, puncak sketsa keintiman sosial tahun 90-an terpotret nyata. Itulah saat-saat menunggu nama-nama Anda disebut melalui program Request lagu. Tidak serta merta, malah terkadang Anda mesti berjuang lelah menyusuri jalan berliku dengan tapak kaki menuju stasiun Radio sekadar mengisi lembaran request lagu.
Ada kolom nama, lalu judul lagu dan ditujukan kepada siapa serta pesannya apa. Bisa dipastikan, program ini adalah idolanya para jejaka dan jomblo masa itu dalam upayanya mengembuskan buhul-buhul perangkap romantis ke kaum hawa. Tahun 90-an adalah periode di mana popularitas itu langka dan menjadi modal sosial utama yang mampu menghunjam keangkuhan jiwa wanita yang malu-malu membuka ruang hatinya. Nah, jalan pintas populer itu ‘tayang nama’ di udara melalui radio.
Perlu diingat masa itu moda roda dua masih terbatas, telepon rumah hanya milik borjuis, apalagi handlhone dan smarpthone bagi sebagian belahan bumi khususnya Nusantara masih “terkunci” di alam azali.
Maka bayangkan ketika nama Anda disebutkan oleh radio dari ratusan lembaran request yang masuk dan didengar oleh ribuan telinga warga se-kabupaten, seolah Anda seleb pada spektrum menit itu walau sesaat. Moment itu akan abadi dalam kolase buku diari, terus diperbincangkan dan direkam memori kolektif Anda, teman Anda dan bahkan calon pujaan Anda. Hal yang sama juga berlaku bagi nama-nama yang dituju, serasa mendapatkan “hadiah virtual” dan memori keakraban sepanjang masa, girangnya tiada kepalang.
Begitulah, suatu masa radio pernah benar-benar pernah memfungsikan pendengaran kita. Dari aktivitas pendengaran, manusia mampu melatih ragam respons sensorik lainnya; merekam, melatih daya ingat, berpikir, menelaah sampai kemudian mampu menyimpulkan suatu fenomena dan memperdengarkannya kembali pada generasi pelanjut.
Bukankah ketika bayi lahir ke bumi, organ telinga lebih dulu berfungsi dari mata? Sampai Nabi meminta seorang ayah melantunkan azan dan iqamah pada telinganya si bayi.
Bukankah metoda pertama Allah menjaga kemurnian Alquran itu lewat hafalan para Sahabat dengan cara menyimak dan fokus mendengar suara lantunan suci Nabi? Bukankah memperbanyak mendengar bisa membuat seseorang bijaksana daripada banyak berbicara?
Radio; walau perannya mulai tergerus dengan hadirnya media visual video dalam fitur smartphone saat ini, seperti bait lagunya The Buggles (1979) “Video Killed the Radio Star”. Tetaplah berterima kasih pada Radio yang satu masa dulu pernah meriuhkan relasi sosial dan meriangkan energi komunal kita, terlebih bagi generasi 90-an; era puncak keintiman sosial terakhir warga bumi.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Pinterests