Ketika ada oknum penceramah yang berbicara lantang sambil memaki-maki di atas minbar atau di forum-forum keagamaan lainnya, seringkali muncul ungkapan bahwa pemceramah itu adalah titisan Umar atau Ali, dua sahabat Nabi sekaligus khalifah lurus yang pernah memegang kendali pemerintahan Islam di masa-masa awal.
Ungkapan demikian menjelaskan kepada kita semua bahwa legitimasi itu penting untuk mengesahkan segala sikap dan tindakan kita. Dalam kehidupan beragama, legitimasi itu biasanya akan dirujuk ke kitab suci atau pun sosok-sosok teladan yang dikagumi.
Frasa “titisan Umar” atau “seperti Ali” adalah salah satu bentuk legitimasi yang kerap digunakan dan bahkan dikampanyelan oleh beberapa gelintir oknum Muslim dalam rangka mengesahkan wacana atau pun sikap keagamaan yang ia lontarkan ke publik.
Hal ini dapat dengan mudah kita temukan dalam keseharian, baik di desa, kota, lapangan terbuka dan bahkan di masjid yang semestinya menghadirkan ketenangan tapi kerap “disusupi” oleh sikap-sikap berlebihan yang kemudian secara tergesa-gesa dikaitkan dengan sosok Umar atau Ali agar apa yang ia lakukan menjadi legitimate.
Padahal, sosok Umar dan Ali bukanlah sosok keras dalam pengertian absolut. Faktanya, keduanya juga memiliki sikap-sikap lainnya yang kompleks yang terkadang alpa ditiru oleh mereka yang selama ini hanya terjebak atau tepatnya menjebakkan diri dalam satu aspek parsial sembari menafikan kebaikan lainnya dari dua teladan suci itu.
Sebagai contoh, sikap kesederhanaan Umar dan Ali yang jauh dari kemewahan justru sangat jarang dirujuk dan dijadikan legitimasi untuk kemudian diterapkan dalam keseharian. Lantas kenapa hal-hal semacam ini yang terdapat pada sosok yang sama justru menjadi tidak menarik bagi mereka yang ketika menghadiri ceramah misalnya dikawal dengan segenap protokoler dan hamparan karpet merah?
Jawaban paling rumit yang bisa diajukan adalah bahwa sikap itu mungkin tidak pernah menemukan wujudnya dalam kehidupan mereka yang meskipun terkesan religius tapi juga ambisius.
Artinya apa? Artinya kita memang suka menjebak diri dalam “cocoklogi” dengan cara mencocokkan perilaku bawaan kita dengan sosok-sosok teladan sebagai bentuk legitimasi. Dan ketika kehidupan kita minus dari sikap itu, kita pun merasa tidak perlu mencari legitimasi dari keteladanan sosok-sosok tadi. Dalam kondisi ini kita akan beralih kepada sosok lain yang cocok dengan perilaku kita dan lantas mengaku bahwa kita adalah titisan mereka.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Ibarat kertas yang ditempeli beragam warna; putih, hijau, kuning, kelabu. Itulah kita.
Kita adalah penjelmaan diri kita sendiri yang mengadopsi sikap keras dari Umar sembari menyalin sikap culas dari Snouck Hurgronje dan menyambar sikap agresif dari Benyamin Netanyahu.
Jika begitu, masih pantaskah kita mengaku titisan Umar dan Ali?
Cari cermin besar dan berkacalah!