Tulisan ini tidak bertujuan mendukung atau menolak Qanun Lembaga Keuangan Syariah (kita sebut saja: LKS 1.0). Bagi warga Aceh kelas prekariat seperti saya, persoalan dengan perbankan di Aceh adalah terlalu mendominasinya satu institusi keuangan yang bernama Bank Syariah Indonesia (BSI). Sehingga ketika sistem BSI bermasalah, maka kalang-kabutlah seluruh warga, kecuali para elite yang di dalam dompet dan telepon genggamnya ada banyak pilihan bank. Jika pun nantinya bank konvensional kembali, Aceh akan tetap didominasi oleh satu bank, masalah yang sama bisa kembali terjadi. Jadi solusi yang saya tawarkan adalah perbanyak pilihan Bank dan ATM di Aceh, terserah itu syariah atau konvensional.
Yang ingin saya gugat adalah klaim para pengusung Qanun LKS 1.0 bahwa sistem yang mereka bawa adalah anti kapitalisme, sehingga perlu didukung. Argumentasi saya ialah sistem ekonomi syariah ala Aceh kurang lebih sama kapitalismenya dengan sistem ekonomi konvensional, kecuali jika teoretikus ekonomi syariah di Aceh memiliki definisi tersendiri dalam memahami kapitalisme. Maka saya atau mereka hidup di planet yang berbeda.
Salah satu pengkritik kapitalisme yang paling keras adalah Karl Marx. Bagi Marx, hakikat kapitalisme adalah relasi sosial yang timpang antara pemilik kapital (pemodal) dan para pekerja yang menguras tenaga untuk si pemodal. Sehingga yang muncul kemudian adalah eksploitasi. Kapitalisme dikritik karena sistemnya eksploitatif.
Dari penjelasan amat sederhana ini, pertanyaannya kemudian apakah implementasi LKS di Aceh mampu menghilangkan eksploitasi para pemodal kepada para pekerjanya? Atau sama sekali tidak peduli dan melanggengkan kapitalisme di Aceh?
Untuk menjawab pertanyaan di atas. Mari kita lihat situasi pekerja di sekeliling kota Banda Aceh. Karena Banda Aceh terkenal dengan pelbagai warung kopi, coba tanyakan kondisi para pekerja di café-café yang ada di Banda Aceh, baik itu kasir, pelayan, atau barista. Standar upah minimum di Banda Aceh adalah 3,5 juta, namun “bisa mendapat gaji 2 juta saja di café itu hebat sekali”, kata seorang pelayan warung kopi yang digaji 1,5 juta perbulan. Gaji serendah itu bisa dimaklumi jika ia bekerja di warung kopi yang sepi pelanggan dan pemiliknya bukan golongan tajir. Namun, pekerja café yang saya wawancarai ini bekerja di warung kopi yang memiliki banyak cabang dan bosnya sendiri adalah orang kaya.
Ada juga sebuah café yang ramai pengunjung dengan interior yang mewah. Café ini dimiliki oleh politisi yang kaya raya. Baristanya hanya digaji delapan ratus ribu per bulan. Saat kampanye, pemilik café ini tentu saja berkoar-koar membela orang miskin, padahal di saat yang sama dia mengeksploitasi pekerjanya sendiri. Dengan membayar gaji pegawai sebegitu rendah, si pemodal bisa membuka unit usaha baru seperti bisnis hotel, travel, dan sebagainya. Sementara si pekerja terperangkap di kehidupannya yang miskin dan tak layak.
“Kenapa tetap bekerja di sini?” tanya saya. Sambil menatap kosong, pelayan café itu menjawab, “Saya tak punya pilihan. Seandainya tetap tinggal di kampung, saya akan jadi penjual sabu-sabu.”
Kami terdiam sebentar. Saya yakin para bandar sabu di Aceh pun menyimpan uangnya di ‘Bank Syariah’ yang dibangga-banggakan pengusung Qanun LKS 1.0.
Yang saya ceritakan di atas adalah fakta lapangan dan kerasnya kehidupan di Aceh yang tidak mampu diselesaikan oleh sistem syariat di Aceh. Belum lagi persoalan eksploitasi manusia di tambang-tambang illegal di Aceh. Para pekerja bekerja bagaikan budak, sampai ada yang mengeluarkan darah dari hidung dan telinganya. Mereka terpaksa bekerja begini demi menyambung hidup. Jika qanun LKS 1.0 luput membahas tentang kondisi pekerja yang layak sesuai etika Islam, bagaimana mungkin ia mengklaim anti kapitalisme?
Perdebatan qanun LKS di Aceh (sayangnya) masih di level apakah kita akan masuk neraka atau tidak jika tidak menabung di bank syariah. Bukan pada tataran apakah dengan sistem tersebut mampu menuntaskan eksploitasi manusia dan menciptakan kehidupan ekonomi yang makmur dan setara. Debat kita bagaikan debat apakah sah shalat tanpa lafal niat, bukan mempersoalkan kenapa berkali-kali shalat tapi kita masih korupsi, ghibah, dan saling fitnah.
Memakai istilah Bung Karno, etos ekonomi Islam kita masih di tataran ‘debu Islam’, belum menyentuh ‘api Islam’, yakni pembebasan manusia dari eksploitasi ekonomi.
Dengan demikian, revisi Qanun LKS 1.0 harus naik derajatnya menjadi LKS 2.0 yang mengadopsi nilai-nilai solidaritas sosial. Qanun LKS 2.0 harus mengangkat derajat dan harkat para pekerja dengan kehidupan yang lebih layak. Dan yang lebih penting, qanun ini memajaki para elite politisi dan birokrat dan membagikannya kepada fakir miskin yang tumpah ruah di provinsi bersyariat ini.
Editor: Khairil Miswar