Dia baru saja menyelesaikan tugas berat menulis disertasi tentang pergerakan intelektual di Aceh dalam kurun 2005 hingga 2015. Tugas itu semakin berat karena harus penelitiannya termuat dalam jurnal terindeks Scopus. Saya tidak peduli dengan artikelnya di Scopus itu. Itu urusan dia. Siapa pula yang mau membaca artikel ilmiah terindeks Scopus kecuali orang yang ingin artikelnya termuat pada jurnal terindeks Scopus. Itu pun kadang cuma baca abstraknya saja.
Bung Alkaf dibesarkan di tengah kota Banda Aceh. Tetapi keluarga besarnya berasal dari Piyeung, Montasik, Aceh Besar. Keluarga di Piyeung tidak jauh dari intelektualisme modern. Bahkan Alkaf juga merupakan keluarga besar modernis besar Aceh, A. Hasjmy.
Alkaf sangat terpesona dengan Daud Beureueh. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh kecenderungan ideologi modernis yang dianut. Kawan saya satu lagi, Khairil Miswar, juga terpesona dengan Daud Beureueh.
Saya pernah bertanya kepada salah satu di antara mereka, ”Kenapa terpesona dengan Daud Beureueh, dia kan pernah melakukan pemberontakan.”
Salah seorang di antara mereka menjawab, ”Bukan pemberontakan, tetapi koreksi.”
Saya merasa jawaban itu tidak memuaskan, tetapi tidak mau melanjutkan.
Saya mengenal Alkaf ketika dia belum mengenal saya. Periode 2005 hingga 2010, saya suka hadir pada setiap forum ilmiah, termasuk yang diselenggarakan The Aceh Institute. Lembaga itu suka membuat diskusi-diskusi yang bernas. Saya sangat tertarik menghadirinya. Makalah dibagikan kepada setiap peserta. Pemateri silih berganti. Bahkan ada intelektual dari luar negeri.
Menerima makalah dalam forum ilmiah The Aceh Institute, bagi saya seperti Messi menerima Trofi Piala Dunia FIFA: penuh haru, bangga, takjub, dan hampir enggak jadi.
Biasanya, moderator forum ilmiah The Aceh Institute adalah pemuda kurus dengan kacamata bulat. Dialah Muhammad Alkaf. Saya mengenal dia. Bung Alkaf tidak kenal saya. Saya menjadi semakin kenal dia karena salah seorang senior di PII mengatakan Alkaf adalah kader PII juga.
Pantas saja dia pintar, pikir saya.
Setelah saya meninggalkan Banda Aceh, tidak pernah lagi melihat Bung Alkaf, hingga saya kembali dari Jakarta dan mengajar pada IAIN Langsa. Saat melihat Bung Alkaf di IAIN Langsa, saya setengah percaya karena dua alasan. Pertama, masa intelektual Banda Aceh mau ngajar di sebuah daerah tingkat dua? Kedua, kalau itu Alkaf moderator forum ilmiah The Aceh Institute, seharusnya langsing.
Singkat cerita, kami ngopi bersama untuk pertama kali. Saya di lantai dua, Alkaf di lantai dasar.
Kali selanjutnya kami ngopi pada lantai dan meja yang sama.
Bung Alkaf kembali dikenal publik intelektual dengan esai-esainya tentang berbagai isu. Saya berkesempatan mengedit esai-esainya dan diterbitkan Bandar Publishing dengan judul Nasionalisme dari Pinggir. Itu adalah buku pertama Bung Alkaf. Mungkin juga itu adalah buku terakhirnya.
Katanya, dia punya banyak tulisan yang telah dikumpulkan dan dapat diterbitkan sebanyak empat buku. Itu diucapkan tiga tahun lalu, tapi hingga hari ini tidak satu pun yang terbit. Entah disertasinya juga tidak akan diterbitkan. Padahal tema penelitiannya itu sangat penting untuk mengisi khasanah intelektual.
Isi disertasinya tidak satu kalimat pun sempat saya baca. Namanya juga tidak diterbitkan. Alasannya tidak tahu. Mungkin juga takut orang lain ikut pintar. Mungkin juga karena Alkaf suka dengan buku-buku yang tidak diterbitkan.
Saya dapat menebak-nebak isi disertasi Bung Alkaf melalui diskusi-diskusi dengannya. Dia membagi periode intelektualisme di Aceh kepada tiga tahapan yakni 2005-2010, 2010-2015, dan 2015-2020. Fokusnya adalah pada kritik-kritik inteligensia Aceh atas formalisasi syariat Islam. Kaum intelektual tersebut disebut sebagai intelektual subaltern.
Terendus aroma James Scott dalam penelitian tersebut. Tetapi teori utama yang dipakai dalam penelitiannya itu adalah salah seorang peneliti yang tentang intelektual subaltern. Saya lupa namanya.
Sepertinya isi kajian disertasi Bung Alkaf sangat menarik.
Pada periode 2005-2010, intelektualisme di Aceh tumbuh subur. Hal ini sangat didukung oleh keterbukaan yang dialami Aceh saat itu. Banyak lembaga donor memberi perhatian pada organisasi-organisasi lokal, termasuk yang fokus pada intelektualisme. Seminar-seminar berkualitas di tempat-tempat mewah banyak dilakukan. Pencetakan jurnal dan majalah ada yang mensponsori. Kampus-kampus dapat banyak kerjasama dengan lembaga luar negeri. Buku-buku berkualitas, baik lokal maupun nasional, terbit pada masa itu.
Pada saat itu pula berbagai regulasi agama dimunculkan. Berbagai kritik dan masukan datang. Bahkan ada juga yang tidak setuju syariat Islam itu dijadikan hukum formal. Menurut pihak ini, syariat Islam itu merupakan amalan yang berbasis pada kesadaran individu. Dalam agama, tidak boleh ada pemaksaan.
Sementara pada periode 2010-2015, meskipun banyak regulasi syariat Islam yang disahkan, namun tampaknya gerakan intelektual melemah pada periode itu. Banyak dari inteligensia yang sibuk dengan urusan pribadi masing-masing, mulai dari melanjutkan studi hingga sibuk dengan kegiatan dalam dunia kerja masing-masing.
Adapun pada periode 2015-2020, gerakan intelektual kembali menggeliat. Banyak artikel yang dipublikasikan pada media elektronik. Buku-buku oleh para intelektual banyak dipublikasikan pada periode itu. Bahkan pada masa pandemi, banyak diskusi intelektual diselenggarakan via webinar.
Andai periode itu ditambahkan, misalnya 2020-2025, ada banyak keunikan yang muncul. Bahkan Bung Alkaf dapat menulis sebuah buku khusus untuk periode itu. Tetapi apakah dia akan menulis buku itu? Bila Bung Alkaf bersedia menerbitkan disertasinya saja, itu sudah syukur kali. Saya bersedia menjadi editor.